JAKARTA, ULTIMAGZ.com – “Mereka akan mencuri semua yang ada di alam semesta ini, bahkan hati nurani,” kata Nyai Salma dengan tegas kepada para pencuri yang sedang berpesta.
Kehadiran Nyai (Happy Salma) sontak mengagetkan para pencuri dengan membuka identitas yang sesungguhnya sebagai Pencuri Agung. Nyai yang berparas cantik dan berpembawaan halus dengan gagah menangkap para pencuri, termasuk Inayah Wahid, yang menyaru sebagai Pencuri Agung yang hendak mencuri ajimat selendang sakti Wewe Gombel milik Nyai.
Begitulah akhir dari lakon berjudul “Pesta Para Pencuri” yang merupakan produksi ke-24 Indonesia Kita, 21-22 Juli 2017 di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
Jalan cerita
Kejadian bermula saat Nyonya Nyai Salma marah besar karena ada yang mencuri barang wasiat miliknya yang paling berharga. Situasi memang sudah tidak nyaman lagi lantaran banyak pencuri yang berkeliaran dan lihai menyamar.
Alih-alih meminta bantuan dari dua penjaga keamanan yang diperankan Susilo Nugroho dan Marwoto, Nyai Salma malah mencurigai keduannya lantaran dianggap sengaja mengondisikan situasi yang kisruh ini. Kecurigaannya tersebut ternyata benar bahwa kedua penjaga bekerja sama dengan para pencuri, yaitu Cak Lontong, Akbar, dan Trio GAM (Gareng, Wisben, Joned) untuk melakukan pencurian besar-besaran.
Para pencuri ini lantas bersekutu dan ingin menghadap Sang Pencuri Agung di tempat yang angker. Sampai akhirnya mereka menyadari bahwa diam-diam mereka tengah dicuri oleh seorang Pencuri Agung yang selama ini namanya menjadi legenda dalam dunia pencuri, tetapi mereka sama sekali tak mengenalinnya.
“Judul lakon “Pesta Para Pencuri” ini sepertinya agak netral. Kalau pesta para maling itu kasar. Di dalam dunia kriminal juga memiliki kasta, dari pencopet, maling, sampai koruptor. Kalau kita pakai koruptor, nanti menyindir hewan paling rakus lagi, yaitu DPR,” tutur salah satu tim kreatif Indonesia Kita Butet Kertaredjasa.
Menegaskan pernyataan Butet, penulis naskah “Pesta Para Pencuri”, Agus Noor menjelaskan, lakon digarap di tengah beragamnya persoalan yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Maka itu, melalui pentas seni, ia mencoba merawat semangat masyarakat menjaga Indonesia.
Lakon yang dibalut dengan gaya jenaka ini memiliki arti tersirat yang dimainkan dengan apik oleh para pemain. Alur cerita dikombinasikan dengan peristiwa yang aktual, yaitu mengenai Panitia Khusus (Pansus) hak angket KPK yang dinilai “mengganggu” kerja komisi antirasuah dan perilaku koruptor saat ini.
Contohnya saja ketika Inayah berkumpul dengan para pencuri. Kala itu ia berkata “Pencuri bersatu karena KPK. Lalu muncul partai pencuri untuk melindungi para pencuri. Kemudian mereka membuat pansus hak angkot untuk melindungi para pencuri.”
Selain itu, kritikan satir terhadap para koruptor dan anggota pansus hak angket KPK ini juga terdapat kala Nyai Salma menangkap para pencuri yang sedang berpesta.
“Mereka akan mencuri semua yang ada di alam semesta ini, bahkan hati nurani,” ucapnya.
Kemudian, Cak Lontong menimpal pernyataan Nyai dengan bertanya, “Memangnya ada yang masih punya hati nurani Nyai?”
Sementara itu, lakon ini juga berhubungan dengan tulisan Agus Noor yang dimuat di halaman opini Harian Kompas (15 Juli 2017). Tulisan yang berjudul “Koruptor Kita Tercinta” tersebut sarat dengan perilaku koruptor seperti para pencuri di lakon ini. Ia menulis bahwa masyarakat keliru kalau koruptor itu hanya mementingkan diri sendiri. Ia juga mementingkan partai politiknya, rekan-rekan sejawat, juga kroni-kroninya. Itulah sebabnya korupsi berlangsung secara merata dan dilakukan berjamaah. Anggap saja hal itu semangat gotong royong yang diimplementasikan dalam korupsi.
Dalam cerita, penjaga keamanan yang bekerja sama dengan komplotan pencuri, serupa dengan opini Agus Noor. Baginya, banyak yang menganggap koruptor musuh bersama yang harus dipenjarakan. Namun, menurutnya pikiran itu keliru. Pasalnya, apa jadinnya kalau semua koruptor dipenjarakan? Negara ini bisa lumpuh sebab semua pejabat dan aparat masuk penjara. Bahkan, penjara pun tak bisa berjalan dengan baik karena semua sipirnya akan masuk penjara.
Penulis : Christoforus Ristianto
Fotografer: Roberdy Giobriandi