SERPONG, ULTIMAGZ.com – Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menerapkan sistem 3 in 1 di beberapa jalan protokol di Jakarta. Artinya, setiap pengendara roda empat yang ingin melintasi jalan pada jam tertentu, harus berpenumpang minimal tiga orang. Dengan peraturan tersebut, muncullah peluang bagi masyarakat untuk menjadi joki 3 in 1, yang membantu pengendara mobil dengan mengisi kekurangan penumpang.
Sistem 3 in 1 didasari oleh Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta, No. 4104/2003 tertanggal 23 Desember 2003. Dalam putusan tersebut, sejumlah jalan protokol dan dalam waktu tertentu, mewajibkan pengendara roda empat untuk mengisi satu kendaraan dengan minimal tiga penumpang. Tujuannya adalah efisiensi dalam transportasi.
Namun pada 28 Maret 2016, seperti dilansir dari Kompas.com, gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dikabarkan akan mengkaji sistem 3 in 1, dan kemungkinan akan menghapusnya. Hal ini bukanlah tanpa alasan.
Terdapat banyak kasus eksploitasi anak di bawah umur, yang seharusnya menuntut ilmu dan bersenang-senang, malah dipaksa ikut men-joki. Hampir beberapa joki yang bekerja di jalan turut menggendong anak kecil, bahkan balita.
Tak berhenti di situ, beberapa anak diberi obat oleh joki tertentu agar tidak rewel saat berada di mobil yang ditumpanginya. “Sebenarnya enggak perlu ada 3 in 1 juga. Kalau orang pada bawa-bawa bayi begitu, dikasih obat bayinya biar enggak mengganggu yang membawa mobil. Ini kan, enggak benar kalau begitu,” ujar Ahok, dikutip dari Kompas.com.
Meski fenomena eksploitasi tersebut seolah pahit, tak dipungkiri para joki 3 in 1 pun merasakan hal yang pahit pula. Mengingat standar pendidikan yang sangat penting dalam mencari pekerjaan, mereka yang sebagian besar berpendidikan rendah tak punya pekerjaan layak. Terlepas dari kualitas sumber daya manusianya, lapangan pekerjaan di Jakarta sendiri tidak sebanding dengan jumlah pengangguran yang ada.
Contohnya saja, seperti yang dituliskan postkotanews.com mengenai Syamsul (38), korban pemecatan yang ditangkap men-joki di kawasan Panglima Polim. Kendati masih harus memenuhi kebutuhan hidup keluarga, bekerja sebagai joki pun Syamsul jalankan demi setidaknya makan setiap hari.
Meski masih sebatas wacana, hal ini berujung pada pertanyaan, haruskah sistem 3 in 1 ditiadakan? Jika tidak, pemerintah perlu mengkaji ulang sistem dan aturan terkait joki tersebut. Jika ditiadakan, maka fenomena eksploitasi anak kemungkinan akan berkurang. Ya, hanya berkurang, bukan hilang.
Tak bisa menjadi joki, pilihan terdekat adalah menjadi pengemis. Dan hal tersebut tidak menutup kemungkinan jika anak kembali dijadikan alat untuk bekerja. Selama belum ada perbaikan dari segi pengawasan dan penertiban daerah, maka sulit untuk menjamin tingkat eksploitasi anak dapat berkurang.
Berkaca dari hal tersebut, fenomena ini seolah memberikan cerminan akan perlunya peningkatan pendidikan masyarakat ibu kota. Tanpa pendidikan, masyarakat akan sulit untuk memiliki kemampuan dan kualifikasi untuk bekerja yang baik.
Tak usah muluk-muluk hingga ke bahasan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dulu. Cukup memiliki etos kerja dan keahlian di satu bidang. Harapannya, sekali mendayung dua pulau terlampaui, semakin banyak pekerja berkualitas sekaligus mampu membuka lapangan pekerjaan baru. Dengan begitu, masyarakat ibu kota semakin mampu untuk memajukan negeri lewat karya, sehingga tak perlu lagi menjadi joki untuk mengais rejeki.
Penulis: Agustina Selviana
Editor: Alif Gusti Mahardika
Foto: detik.com (Johni Hutapea)