SERPONG, ULTIMAGZ.com – Meghan Markle yang telah resmi menikah dengan Pangeran Harry pada Sabtu (19/05/18). Namun, dalam prosesi pemberkatan pernikahan mereka, Meghan melanggar aturan yang telah mengakar sebagai tradisi pernikahan di Kerajaan Inggris.
Dalam tradisi Kerajaan Inggis, Meghan harus menyebut kata obey dalam janji pernikahannya, yang berarti mematuhi sang suami kelak. Akan tetapi Meghan tidak menggunakan kata obey sesuai dengan tradisi. Ketika prosesi pemberkatan, Meghan hanya berjanji untuk mencintai dan menemani dalam untung dan malang, sehat dan sakit, miskin dan kaya, bukan patuh kepada Prince Harry.
“Pelanggaran” seperti ini juga dilakukan oleh ibu mertua dan kakak iparnya di pernikahannya masing-masing. Saat menikahi Pangeran Charles pada 1981, Lady Diana Spencer juga sempat dikecam mertuanya lantaran melanggar tradisi yang sudah ada.
Keduanya melakukan ini sebagai bentuk perjuangan hak perempuan. Sebab, dalam perjanjian pernikahan tersebut hanya pihak perempuan yang berjanji akan mematuhi sang suami, namun tidak sebaliknya.
Kondisi zaman saat mengubah perspektif kasta jenis kelamin yang selama ini mengakar pada pemikiran sejumlah golongan. Dalam sebuah rumah tangga, bukan hanya istri yang perlu menghargai suaminya, melainkan suami juga perlu melakukan hal serupa.
Dilansir dari people.com, Meghan dikabarkan mengikuti jejak Lady Diana karena ia sendiri merupakan seorang feminis. Sebagai ssalah satu anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Meghan aktif terlibat memperjuangkan kesetaraan jenis kelamin di dunia.
Langkah Meghan yang menghilangkan kata obey dalam janji sucinya memang melanggar tradisi turun temurun, tetapi sudah sepatutnya perempuan sadar bahwa mereka tidak boleh selalu dituntun mematuhi, akan tetapi bisa teguh dengan pendiriannya sebagai implementasi dari hak asasi mereka.
Sebuah tradisi memang seharusnya dijaga, akan tetapi harus disesuaikan dengan keadaan masa kini. Perempuan memiliki hak yang setara dengan pria, bukan hanya berkewajiban mengurus rumah dan anak. Sama halnya dengan laki-laki, perempuan juga dapat memiliki kesempatan bekerja yang adil.
Pria pun sudah seharusnya lebih menghargai pendapat dan pendirian perempuan, tidak egois menuntut segala perintahnya untuk diikuti. Seorang suami tetap perlu menyeimbangkan pekerjaannya dengan keadaan rumah tangganya, bukan melimpahkan pada istri.
Sebaliknya, istri juga tak boleh menggunakan kebebasannya secara sembarangan. Artinya, walau tidak patuh tetapi tetap mendengarkan nasihat suami dan mempertimbangkannya matang-matang.
Bukan hanya pada tradisi Kerajaan Inggris, banyak tradisi dari berbagai belahan dunia mengharuskan perempuan mematuhi laki-laki. Seperti di Indonesia yang tradisi kebudayaannya didominasi patriarki, yakni sistem sosial yang menempatkan laki-laki memiliki kuasa paling atas.
Penulis : Theresia Amadea, Jurnalistik 2017
Editor : Ivan Jonathan
Foto : varety.com
Sumber: people.com