SERPONG, ULTIMAGZ.com – Pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi, mengarahkan, dan membantu anggota kelompoknya. Seorang pemimpin berkewajiban membawa kelompoknya memenuhi tujuan bersama. Hingga kini, masih banyak yang menobatkan jabatan pemimpin kepada kaum laki-laki dibanding perempuan. Melihat hal tersebut, apakah hak perempuan untuk menjadi pemimpin masih sekadar mimpi di zaman modern ini?
Persoalan kepemimpinan seringkali dihadapkan pada persoalan gender , seperti karateristik perempuan dan laki-laki yang berbeda. Laki-laki cenderung maskulin dan memakai logika berpikir. Sedangkan, perempuan memiliki karakter feminim, dengan kecenderungan memakai perasaannya. Mengutip dari seorang aktivis gerakan sosial Indonesia Mansour Faqih, sifat yang dikonstruksi secara sosial dan kultural tersebut seolah sudah melekat pada setiap laki-laki maupun perempuan.
Pada 8 Maret kemarin, seluruh dunia memperingati Hari Perempuan Internasional. Hari tersebut adalah untuk memperingati keberhasilan perempuan di berbagai bidang, seperti ekonomi, politik, hingga sosial. Tak hanya itu, peringatan ini juga merupakan refleksi dari meninggalnya 140 perempuan korban kebakaran pabrik di Triangle Shirtwaist tahun 1911.
Hari itu seolah mengingatkan kita akan nasib kaum perempuan saat ini. Peristiwa historis seolah banyak menunjukkan bahwa perempuan kurang memberi pengaruh pada perkembangan dunia, entah karena tak memiliki keinginan, takut bersuara, atau yang kerap dikatakan “memang kodratnya”. Padahal, konsep dasar dari seorang pemimpin adalah kemampuannya dalam memberi pengaruh.
Berdasarkan teori genetik, dikatakan bahwa, “leaders are born, not made.” Teori ini seolah menunjukkan bahwa seseorang yang bisa menjadi pemimpin adalah mereka yang mempunyai bakat dan talenta sejak lahir. Berlawanan dengan itu, teori sosial mengatakan bahwa, “leaders are made, not born.” Penganut dari teori ini mempercayai bahwa setiap orang mempunyai bakat dan talenta untuk menjadi pemimpin. Dengan adanya latihan serta determinasi tinggi, maka bakat tersebut akan berkembang dan terealisasikan.
Jika karakter gender sudah menjadi cap dalam masyarakat, masihkah ada kesempatan bagi kaum perempuan untuk menjadi pemimpin?
Hal ini harus dimulai dari kesadaran masyarakatnya sendiri. Masyarakat harus mampu membuka kesempatan bagi kaum perempuan untuk memimpin. Bukan dengan belas kasihan, tetapi dengan pandangan objektif atas karya dan kemampuannya.
Kaum laki-laki belajar menghargai, kaum perempuan memberi bukti. Dengan begitu, kesetaraan gender dalam hal kepemimpinan akan tercipta demi keselarasan hak bersama.
Penulis: Agustina Selviana
Editor: Alif Gusti Mahardika
Foto: fastcompany.com