Tulisan dikirimkan pada Rabu (18/09/19).
SERPONG, ULTIMAGZ.com – Michel Foucault, seorang filsuf postmodern dalam bukunya berjudul yang berjudul Discipline and Punish mengutarakan sebuah teori kekuasaan (power). Menurutnya, kekuasaan adalah kumpulan relasi yang koersif dan berada pada ruang lingkup strategis, bukan sekadar ekonomi dan manipulasi ideologi seperti Marx atau Weber.
Ruang lingkup ini menghubungkan kekuasaan dengan hukum dan kedaulatan (sovereignty). Hal ini menjadi menarik ketika melihat apa yang terjadi pada akun Instagram Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara (BEM UMN) yang kini komentarnya telah dinonaktifkan.
Salah satu unggahan BEM UMN pada Selasa (17/09/19) sempat dihujani komentar lantaran mahasiswa menilai BEM UMN bersikap apatis terhadap isu pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Menilik konsep kekuasaan dalam masyarakat modern seharusnya tak terdiri dari sovereign power saja, melainkan ada pula disciplinary power. Sovereign power merupakan kekuatan yang muncul akibat pemaksaan dan provokasi, sedangkan disciplinary power merupakan cara penyampaian gagasan tanpa memaksa, melainkan dengan alternatif yang positif.
Itu sebabnya, demonstrasi damai di Hong Kong dan Yellow Vest Protest di negara-negara Eropa saat ini kerap membuat seseorang merinding takjub. Sayangnya, hal yang sama tak terjadi dengan apa yang dilakukan mahasiswa UMN di laman Instagram BEM.
Sebagai mahasiswa yang dianggap mempunyai intelektualitas lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat sipil, sudah seharusnya mahasiswa memperjuangkan hak-hak rakyat dengan intelek. Perjuangan dapat dilakukan dengan mempopulerkan pesan melalui karya, aksi demonstrasi seperti Kamisan, atau bahkan mengemukakan gagasan melalui tulisan ilmiah seperti yang dilakukan indoprogress.com.
Namun ada beberapa hal yang mengganjal, yaitu egoisme dan apatisme mahasiswa terhadap sistem yang ada. Egoisme terlihat ketika mahasiswa cenderung mementingkan kepentingan sendiri dengan berpendapat tanpa mengenal otoritas di atasnya dan tak tahu kemana harus membawa aspirasi mereka. Tak heran, kolom komentar yang banyak provokasi itu hanya omong kosong dan aspirasi yang disampaikan langsung ke Dewan Keluarga Besar Mahasiswa (DKBM) tak sampai sepuluh orang.
Soal diskusi terbuka dan sebagainya seperti angin lalu yang datang sesaat lalu menghilang, karena secara resmi hanya sedikit yang berani menyampaikan.
Power itu bersifat omnipresent dan imanen, bukan hanya mengkritik tanpa aksi. Power itu menjadi powerful dan bukan powerless karena setiap persona dapat memaknainya dan mengubah dari dirinya sendiri.
Apabila belum bisa menyatakan aksi yang efektif, bagaimana seseorang akan menggerakkan sesuatu yang lebih besar? Rasanya omong kosong pula membicarakan apatisme BEM jika para komentator tak tahu tempat yang tepat untuk menyampaikan gagasan.
Alih-alih menumpahkan aspirasi dengan tepat, banyak mahasiswa malah menggunakan konten media partner BEM untuk beraspirasi, acuh terhadap mekanisme. Dengan begitu muncul pertanyaan baru, siapa sesungguhnya yang apatis?
Dalam sejarah aksi demokratis, mahasiswa tidak ada yang apatis pada diri sendiri dan institusi. Semua menghormati ordo. Itu sebabnya, aksi kian efektif dan aspirasi tersampaikan.
Mengganjal sekali ketika diam pada persoalan hak-hak buruh, perampasan tanah rakyat di Jogja, hingga Bansos PKH-RASTRA, tetapi berkoar-koar soal RKHUP yang sudah dirancang sejak tahun lalu. Sudah termakankah kalian dengan kuasa oligarki dan plutokrasi?
“Representative Intellectuals”
Insinuasi atau tuduhan politik seharusnya dimaknai dengan riil. Sebagai seorang intelek, berargumenlah dengan ekspresi emansipasi, bukan emosi. Apabila ingin menjadi kaum intelektual yang memperjuangkan hak-hak masyarakat, gunakanlah kekuatan hegemoni dan dengan rendah hati mengikuti ordo, bukan justru berperilaku paradoks.
Mahasiswa seharusnya bersatu, bukan akhirnya terjadi binaritas akibat perdebatan yang mementingkan ego masing-masing. Ketika semua bergabung, kata-kata akan menjadi lebih kuat. Sudah saatnya gerakan hegemoni menghancurkan polarisasi, proksi, dan binaritas yang ada, bukan justru menilai apatis pihak yang tak sependapat.
Menjadi seorang intelektual harus selalu bersikap reflektif. Perbedaan dalam diskursus pasti selalu ada, tetapi maknailah dengan persatuan tiap partikularitas. Hilangkanlah batasan demarkasi, serta bersikap rendah hati dan terbuka.
Hiper-Realitas Lembaga Kampus
Mengkritik mahasiswa UMN tidak melepas kemungkinan kritik terhadap lembaga kampus yang ada, terutama BEM dan DKBM. BEM sudah seharusnya mempraktikkan komunikasi krisis pada kejadian seperti kemarin. Segala sesuatu harus dipertimbangkan dengan matang tetapi krisis tidak dapat diatasi dengan uluran waktu.
Cukup kecewa dengan siaran pers yang diterbitkan BEM terkait sikap organisasi kemahasiswaan ini. Memang, kebijakan tidak dapat memuaskan semua orang, tetapi kalian juga bukan seorang designated survivor dari kebobrokan mahasiswa.
(Baca juga: BEM UMN Sebut Tidak Miliki Orientasi Khusus terhadap Kontroversi RKUHP)
Urusan politik sudah seharusnya menjadi concern setiap mahasiswa. Menentukan perilaku mungkin belum saatnya, tetapi dapat dimulai dengan pendidikan politik fundamental.
Hal ini sudah dilakukan oleh BEM Universitas Pelita Harapan (UPH). Mereka memberikan pendidikan politik melalui BEM tetapi mereka juga tidak memperbolehkan kegiatan politik atas nama kampus.
Kampus sendiri sudah sering mengajak mahasiswa untuk melek politik dan proaktif, tetapi inilah yang terjadi apabila mahasiswa mulai melek politik tapi tidak diberikan landasan yang kuat mengenai politik.
Terakhir, DKBM UMN seharusnya menjadi saluran aspirasi mahasiswa. Mungkin sudah saatnya untuk memberikan awareness keberadaan, fungsi, serta kinerja lembaga ini. Bekerjalah dengan dinamis, kontekstual, dan pada tempatnya.
Kami sebagai mahasiswa tidak mengetahui apa saja yang sudah kalian kerjakan. Sudah saatnya kalian bersikap lebih aktif kepada masyarakat. Ingatlah bahwa BEM dan DKBM adalah perwakilan mahasiswa, seluruh mahasiswa tanpa terkecuali. Jangan terjebak pada dunia hiper-realitas di mana realitas itu sendiri menjadi semakin pudar, terlampaui imajinasi yang mengawang.
Salam mahasiswa!
Penulis: Nathanael Pribady, Teknik Informatika 2016
Editor: Ivan Jonathan
Foto: redbubble.com