SERPONG, ULTIMAGZ.com – Kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen telah menjadi salah satu isu fiskal paling kontroversial dalam beberapa tahun terakhir.
Menanggapi pro dan kontra masyarakat, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Panjaitan menyatakan kemungkinan Presiden Prabowo Subianto akan menunda kenaikan PPN pada awal 2025 mendatang.
Baca juga: Teknologi: Tombak Bermata Dua Bagi Dunia Literasi
“Ya, hampir pasti diundur,” tuturnya pada saat diwawancarai di Jakarta, Rabu (27/11/24), dilansir dari tempo.co.
Sebagai gantinya, Luhut mengatakan pemerintah akan memberikan subsidi listrik bagi masyarakat tidak mampu demi menjaga stabilitas perekonomian mereka.
“PPN 12 persen sebelum itu jadi, harus diberikan dulu stimulus kepada masyarakat yang ekonominya susah,” terangnya.
Meskipun penerapannya ditunda, potensi dampaknya terhadap masyarakat, terutama generasi muda, tetap harus menjadi perhatian serius.
Apa itu PPN, Kenaikan, dan Penundaannya
Mengutip cimbniaga.co.id, PPN adalah pajak yang dikenakan di setiap transaksi jual beli barang atau Jasa Kena Pajak (JKP).
Objek PPN adalah semua jenis barang dan jasa kecuali beberapa kategori yang termasuk dalam kebutuhan pokok dan fundamental.
Barang Kena Pajak (BKP) meliputi baik yang berwujud maupun tidak berwujud, dan yang bergerak (pakaian, elektronik, dll) dan tidak bergerak (tanah dan bangunan), kecuali beberapa bahan pangan pokok seperti beras, gabah, jagung, kedelai, telur, daging, dan sayuran.
Sementara itu, jasa yang tidak dikenai PPN antara lain adalah jasa pelayanan kesehatan medis, pendidikan, keuangan, pelayanan sosial, keagamaan, kesenian dan hiburan, pengiriman surat dengan perangko, asuransi, dan penyiaran yang nonkomersial, dilansir dari cimbniaga.co.id.
Sejak 1 April 2022 hingga saat ini, tarif PPN untuk seluruh BKP dan JKP adalah 11 persen, dan direncanakan akan naik menjadi 12 persen pada Januari 2025. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HP) yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 29 Oktober 2021, dilansir dari detik.com.
Kenaikan tarif PPN ini adalah upaya pemerintah dalam mereformasi perpajakan dan menaikkan penerimaan perpajakan Indonesia.
Melansir tempo.co, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto mengemukakan bahwa kenaikan PPN diperlukan untuk meningkatkan penerimaan negara pascapandemi COVID-19, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, dan menyesuaikan standar PPN internasional.
Dana tambahan ini diharapkan dapat digunakan untuk program-program strategis yang mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Meski demikian, ancaman implementasi kebijakan ini tetap nyata, terutama bagi generasi muda yang berada pada tahap awal perjalanan hidup mereka.
Menuai Kritik dari Ekonom: Indonesia Masih Belum Siap!
Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen mendapat kritik dari berbagai kalangan, mulai dari pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pengusaha konstruksi lokal, ekonom, sampai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Jarak kenaikan yang terlalu mepet membuat banyak masyarakat menilai kebijakan ini akan menambah beban masyarakat yang masih memulihkan ekonominya pascapandemi Covid-19.
Terutama dalam situasi yang mana inflasi dalam negeri masih tinggi dan daya beli belum sepenuhnya pulih, kenaikan PPN berpotensi memperburuk kesenjangan ekonomi.
Melihat hal ini, Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar berpendapat bahwa Indonesia masih belum siap untuk kebijakan PPN 12 persen.
Pendapatnya ini didasarkan pada pendapatan per kapita yang rendah, struktur ekonomi yang belum stabil, dan kepatuhan pajak yang rendah.
“Mereka negara yang PPN-nya tinggi, artinya bayar pajak, mahal setiap beli barang, itu biasanya pendapatan per kapitanya tinggi. Nah kalau kita sisir satu-satu pendapatan per kapita kita tinggi enggak? Enggak. Kita masih berada di ambang bawah untuk negara berkembang maju,” ujar Media dilansir dari finance.detik.com.
Dasar-dasar itu lah yang membuatnya beranggapan bahwa tidak masuk akal bagi pemerintah untuk menaikkan tarif PPN setinggi negara lain.
“Jadi menaikkan PPN atas dasar luar rule-nya ini juga enggak masuk akal. Ada negara yang PPN-nya tinggi, seperti Kanada, misalkan, karena tingkat kepatuhan pajaknya tinggi,” tambahnya.
Hal ini pun selaras dengan pernyataan Ekonom Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) Kumara Adji Kusuma dalam pernyataannya di situs Umsida pada Mei 2024 lalu.
Menurutnya, di samping manfaatnya sebagai pendongkrak dana program-program fiskal, kenaikan PPN juga membawa serangkaian dampak negatif karena dapat menaikkan biaya hidup, inflasi, dan pengurangan daya beli.
Kenaikan PPN juga akan mendorong usaha kecil dan menengah menaikkan harga untuk menutupi tambahan tarif PPN, yang pada akhirnya akan membebani masyarakat dengan pendapatan rendah.
“Di sisi positif, memang kenaikan PPN bisa menjadi sumber pendapatan tambahan bagi pemerintah yang dapat digunakan untuk mendukung program-program fiskal seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan,” tutur Kumara, dilansir dari detik.com
“Namun, efektivitas penggunaan dana tambahan ini harus dipertimbangkan dengan cermat agar tidak menimbulkan dampak negatif yang lebih besar bagi masyarakat,” lanjutnya.
Lantas, apakah tujuan fiskal ini sebanding dengan dampaknya terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat?
Dampak Potensial bagi Generasi Muda: Kelas Menengah Semakin Tergencet
Sebagai kelas ekonomi yang sering dianggap “masih mampu”, kebutuhan kelas menengah sering luput dari perhatian pemerintah yang cenderung memperhatikan kebutuhan langsung rakyat miskin.
Berikut ini adalah beberapa dampak kenaikan PPN yang akan langsung dirasakan oleh kelas menengah.
1. Mahasiswa: biaya hidup dan pendidikan semakin berat
Meskipun layanan pendidikan bukan termasuk JKP, kenaikan PPN secara langsung akan meningkatkan harga barang dan jasa, termasuk kebutuhan pendidikan seperti gadget dan layanan internet yang sangat dibutuhkan untuk kegiatan riset dan kolaborasi selama berkuliah.
David Parry (2011) menyebutkan bahwa perkembangan literasi modern sangat dipengaruhi oleh teknologi mobile web dan perangkat mobile seperti ponsel pintar dan tablet.
“Masa depan yang akan diwarisi oleh para siswa kita adalah masa depan yang akan dimediasi dan disatukan oleh mobile web” ujarnya dalam Digital Literacies: Research and Resources in Language Teaching (2013).
Mahasiswa yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah dan menengah akan merasakan dampak paling signifikan. Biaya hidup yang meningkat dapat menghambat akses pendidikan dan memperlebar kesenjangan sosial.
2. Fresh graduate & pelaku UMKM: daya beli yang melemah
Bagi fresh graduate yang baru memasuki dunia kerja, kenaikan PPN bisa menjadi penghalang untuk mencapai kemandirian finansial.
Dengan gaji awal yang sering kali pas-pasan, mereka akan kesulitan menabung atau memenuhi kebutuhan dasar lainnya, seperti transportasi dan tempat tinggal.
Hal ini akan membuat mereka semakin mengencangkan ikat pinggang dan hanya terfokus pada pemenuhan kebutuhan primer saja, seperti yang dikatakan oleh Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira.
Bhima menjelaskan bahwa PPN yang tinggi dapat melemahkan konsumsi rumah tangga ataugaya hidup generasi milenial hingga Z akibat harga barang dan jasa yang tidak ramah di kantong.
“Di tengah kenaikan pajak, dia akan langsung bilang ‘no, saya enggak mau beli’ atau bisa disebut loud budgeting. Saya enggak bisa nongkrong, saya enggak mau keluar rumah, saya mau hemat. Jadi loud budgeting dan frugal living hampir sama,” tuturnya saat diwawancarai Kompas pada Rabu (20/11/24), dilansir dari money.kompas.com.
Daya beli yang lemah itu akan memengaruhi perputaran modal pelaku UMKM. Ditambah dengan biaya produksi yang akan semakin besar akibat kenaikan pajak, akan semakin sulit bagi mereka untuk bertahan di tengah persaingan dengan pabrik yang bisa mengakali modal dengan produksi massal.
3. Potensi ketimpangan ekonomi yang memburuk
Generasi muda dari kelas ekonomi menengah ke bawah akan menghadapi kesulitan yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berasal dari keluarga menengah ke atas.
Populasi kelas menengah semakin turun setiap tahunnya. Melansir kompas.com, jumlah kelas menengah pada 2024 turun menjadi 47 juta jiwa, yang mana 10 persen lebih rendah sejak 2019 yang mencapai 57 juta.
Padahal, kelas menengah berperan penting dalam perputaran ekonomi nasional, sebagaimana yang disebutkan oleh Ekonom Senior sekaligus mantan Wakil Menteri Keuangan periode 2010–2014 Anny Ratnawati.
Dalam program Tax Time di CNBC Indonesia pada Senin (25/11/24), Anny menyebutkan bahwa kelas menengah berkontribusi 70 persen pada perputaran konsumsi rumah tangga.
Data ini menjadikan mereka sebagai penyokong perekonomian Indonesia dengan menyumbang lebih dari 50 persen, dilansir dari cnbcindonesia.com.
Hal ini menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kelas masyarakat menengah yang dapat memperburuk ketimpangan ekonomi antar generasi.
Adapun tanda perhatian pemerintah untuk kelas menengah ke bawah, yaitu program KPR Subsidi dinilai salah sasaran oleh Anny.
“Pertanyaannya adalah, kelas menengah ini kan sekarang sebagian kena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), sebagian tidak bekerja. Mereka butuh lapangan kerja. Kemudian kalau diberikan insentif perumahan, muncul pertanyaan bagaimana mereka bisa membayar kredit sementara pekerjaan saja tidak punya,” tuturnya.
Lalu, Bagaimana Cara Pemerintah Menanggulangi Kejatuhan Ekonomi Rakyatnya?
Menteri Koordinasi (Menko) Bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar membagikan rencana pemerintah dalam mempertimbangkan pemberian bantuan sosial (bansos) untuk kelas menengah demi mengurangi dampak negatif kenaikan PPN terhadap perekonomian mereka.
“Ya, sampai hari ini kategori kelas menengah dan rentan miskin itu harus diwaspadai. Nah, soal jenis dan polanya misalnya, keringanan-keringanan yang harus diberikan. On-going process,” tutur Muhaimin di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (26/11/24), dilansir dari money.kompas.com.
Melihat respons dari Muhaimin dan Luhut saat membicarakan pemberian bansos yang beriringan dengan penundaan kenaikan PPN, sepertinya pemerintah akan tetap teguh pendirian untuk menaikkan PPN, meskipun menerima banyak protes dan kritik dari rakyat.
Perlu diingat-ingat kembali bahwa kenaikan PPN 12 persen berisiko menjadi ancaman bagi generasi muda karena ekonomi Indonesia yang belum stabil dapat mengancam kesejahteraan hidup di masa depan.
Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk membatalkan kenaikan PPN, bukan hanya menunda penerapannya dengan selipan “stimulus” demi menunjang keberhasilan rencana kenaikan PPN semata.
Baca juga: Kata Anak Muda di Pemilu Pertama Mereka
Terlebih, jika stimulusnya berbentuk pemberian bansos kepada kelas menengah dapat menimbulkan pertanyaan baru.
Apakah bantuan itu akan tepat sasaran? Apakah bantuan itu dapat meningkatkan taraf hidup atau justru mempertahankan posisi masyarakat yang serba tergencet?
Maka dari itu, penerapan kebijakan-kebijakan besar termasuk peningkatan PPN perlu mempertimbangkan kenyamanan setiap lapisan masyarakat.
Penulis: Happy Mutiara Ramadhan (Komunikasi Strategis, 2022)
Editor: Jessie Valencia
Foto: Getty Images/Khanchit Khirisutchalual
Sumber: tempo.co, cimbniaga.co.id, detik.com, money.kompas.com, kompas.com, finance.detik.com, sikapiuangmu.ojk.com, ekonomi.bisnis.com, cnbcindonesia.com.
Dudeney, G., Hockly, N., & Pegrum, M. (2013). Digital Literacies: Research and Resources in Language Teaching. Routledge.
I discovered your blog site on google and check a few of your early posts. Continue to keep up the very good operate. I just additional up your RSS feed to my MSN News Reader. Seeking forward to reading more from you later on!…