• About Us
  • Privacy Policy
  • Redaksi
  • Advertise & Media Partner
  • Kode Etik
Tuesday, September 16, 2025
No Result
View All Result
ULTIMAGZ
  • Beranda
  • Info Kampus
    • Berita Kampus
    • Indepth
  • Hiburan
    • Film
    • Literatur
    • Musik
    • Mode
    • Jalan-jalan
    • Olahraga
  • Review
  • IPTEK
  • Lifestyle
  • Event
  • Opini
  • Special
    • FOKUS
    • PDF
  • Artikel Series
  • Ultimagz Foto
  • Beranda
  • Info Kampus
    • Berita Kampus
    • Indepth
  • Hiburan
    • Film
    • Literatur
    • Musik
    • Mode
    • Jalan-jalan
    • Olahraga
  • Review
  • IPTEK
  • Lifestyle
  • Event
  • Opini
  • Special
    • FOKUS
    • PDF
  • Artikel Series
  • Ultimagz Foto
No Result
View All Result
ULTIMAGZ
No Result
View All Result
Home Opini

Aksi Massa dan Perubahan Dinamika Demokrasi Indonesia

Reza Farwan by Reza Farwan
September 11, 2025
in Opini, Politik
Reading Time: 6 mins read
Demonstran menghadapi kepolisian di Jakarta pada Senin (25/8/2025). (tirto.id)

Demonstran menghadapi kepolisian di Jakarta pada Senin (25/8/2025). (tirto.id)

0
SHARES
49
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

SERPONG, ULTIMAGZ.com – Dalam beberapa waktu terakhir, aksi massa kembali mengemuka di Indonesia. Hal ini dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat atas kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Dari perlawanan masyarakat Pati terhadap kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) pada Rabu (13/08/25), hingga aksi protes di berbagai daerah yang menyoroti kenaikan gaji DPR yang dimulai pada Senin (25/08/25) dan masih berlanjut hingga September ini. 

Dalam konteks demokrasi, aksi unjuk rasa menjadi penanda adanya ketidakselarasan antara rakyat dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Ketika kebijakan dinilai tidak adil dan merugikan masyarakat, unjuk rasa menjadi jalan untuk menyampaikan aspirasi mereka dalam upaya membuka ruang diskusi. Aksi di Pati maupun gelombang protes terhadap DPR menunjukkan bahwa ketidakpuasan publik tidak lagi bersifat, tetapi sudah berkembang menjadi keresahan nasional yang berpotensi mengubah arah dinamika demokrasi Indonesia.  

Baca juga: Antara Rakyat, Pemerintah, dan Aparat: Saat Aspirasi Berujung Represi

Gelombang Aksi dari Berbagai Daerah

Rentetan aksi massa belakangan ini menyebar ke berbagai wilayah Indonesia dengan pelantik api masalah yang berbeda-beda. Namun, akar dari masalah tersebut menuju pada keresahan yang sama, yaitu ketidakadilan kebijakan pemerintah.

Gelombang demonstrasi ini menunjukkan bahwa suara rakyat tidak lagi dibatasi pada ruang lokal, tetapi menjelma menjadi keresahan nasional.

Di Pati, Jawa Tengah, masyarakat turun ke jalan dalam upaya menolak kenaikan PBB-P2 yang naik hingga 250 persen. Kebijakan ini tidak hanya menimbulkan keresahan ekonomi di tengah masyarakat, tetapi juga hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap Bupati Pati, Henggar Budi Sudewo, dan mengecamnya untuk mundur. Situasi semakin memanas ketika respons Henggar dianggap tidak empati terhadap masyarakat Pati. Ia mengatakan bahwa ia tidak peduli jika 50.000 orang turun ke jalan, dilansir kompas.id. 

Kenaikan PBB-P2 terjadi akibat pemangkasan anggaran dari pemerintah pusat. Selama ini, berbagai daerah termasuk Kabupaten Pati menerima anggaran berupa dana Transfer Ke Daerah (TKD) dari pemerintah pusat. Semenjak Presiden Prabowo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani memangkas anggaran tersebut sebagai upaya efisiensi mereka, pemerintah daerah mencari cara untuk mendapatkan dana untuk kebutuhan pembangunan mereka, salah satu caranya berupa kenaikan pajak, dilansir tempo.co.

Di tengah masifnya efisiensi anggaran tersebut, pada Selasa (19/08/25) Wakil Ketua DPR Adies Kadir menyatakan bahwa tunjangan anggota DPR naik secara signifikan. Rincian tunjangan yang naik berupa Rp 12 juta per bulan untuk beras, Rp 7 juta untuk bensin, dan Rp 50 juta untuk rumah. Tunjangan rumah diberikan sebagai pengganti fasilitas rumah dinas yang tidak disediakan lagi, dilansir kompas.com. 

Melihat anggaran yang cukup besar, masyarakat mulai geram karena memandang situasi ini sebagai kebijakan yang menguntungkan pemain politik saja, ditambah dengan aksi joget yang dilakukan oleh anggota DPR saat pengesahan kenaikan tunjangan tersebut. Pada Senin (25/08/25), demo terjadi oleh perkumpulan rakyat dari kalangan pelajar, perorangan, pedagang, ojek online, hingga mahasiswa di depan gedung DPR Jakarta. Tujuan rakyat adalah meminta kebijakan tunjangan tersebut untuk dibatalkan. Bentrokan massa dengan aparat pun terjadi, gas air mata menghujani langit-langit Jakarta, dilansir cnbcindonesia.com.

Demonstrasi tidak hanya terjadi sehari. Pada Kamis (27/08/25), aksi demonstrasi kembali digelar di depan gedung DPR Jakarta. Demo berlangsung dengan kondusif, tetapi situasi memanas saat malam hari. Di malam tersebut, seorang ojek online, Affan Kurniawan, dilindas oleh aparat saat mengendarai motornya. Tragedi tersebut memicu amarah, semua kalangan masyarakat pun bersatu dan menyuarakan keadilan.

Melansir dari antaranews.com, aksi demonstrasi pun menjalar ke berbagai daerah, tidak hanya di Jakarta saja. Demo lanjutan di gedung DPRD di Bandung, Semarang, Makassar, dan Solo terjadi untuk menyuarakan keadilan dan aspirasi masyarakat Indonesia. Tuntutan suara keadilan tidak hanya di satu daerah saja, tetapi sudah menjadi satu suara masyarakat Indonesia.

Apakah Dinamika Demokrasi Indonesia Menjadi Politik Elit?

Nicky Fahrizal, seorang pengamat politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyampaikan pendapatnya tentang dinamika demokrasi Indonesia saat ini kepada ULTIMAGZ pada (07/09/25) melalui interview dalam jaringan (daring). Nicky melihat bahwa aksi yang terjadi merupakan tiga kombinasi permasalahan, yaitu ekonomi, politik, dan hukum yang sedang tidak baik-baik saja. 

“Memang akhir-akhir ini ada tekanan yang begitu besar dari masyarakat. Dan kita tau bahwa di bidang ekonomi, hukum, dan politik sedang tidak baik-baik saja. Maka tiga akumulasi tersebut membuat masyarakat melakukan perlawanan sipil,” ujar Nicky mengenai pemantik dari perlawanan yang sedang terjadi.

Sesi wawancara dengan Nicky Fachrizal,pengamat politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada Sabtu (7/9/2025).
Sesi wawancara dengan Nicky Fachrizal, pengamat politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada Sabtu (7/9/2025).

Nicky juga berpendapat bahwa di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo selama sembilan bulan ini, terlalu banyak kebijakan yang mendadak. Ia berpendapat bahwa komunikasi politik pemerintah kepada masyarakat menjadi salah satu tolak ukur kualitas undang-undang yang diusulkan. “Kalau kita (bisa) lihat (dari) berapa banyak pembentukan undang-undang yang ugal-ugalan, sembilan sampai sepuluh bulan terakhir ini undang-undang dibuat satu minggu, dua minggu, tiba-tiba sudah direvisi.” ujar Nicky.

Tidak hanya komunikasi politik yang bermasalah, Nicky juga berpendapat pengujian undang-undang yang bermasalah merupakan pengujian formil. “Kalau kita lihat lebih dalam permasalahan undang-undang itu juga di pengujian formil. Pengujian formil itu pengujian proseduralnya. Artinya itu kan ada partisipasi publik yang tidak (ber)jalan dan saluran komunikasi tersumbat.” tambahnya.

Nicky menilai bahwa kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan serius antara rakyat dengan politik elit.

Dinamika demokrasi yang seharusnya berpijak pada partisipasi publik justru terjebak dalam kepentingan segelintir golongan. Aksi massa yang bermunculan di berbagai daerah menjadi tanda bahwa rakyat merasa tidak lagi memiliki ruang yang memadai dalam menentukan arah kebijakan negara.

Demokrasi Indonesia saat ini tengah bergerak ke arah yang berbahaya. Demokrasi prosedural yang hanya berhenti pada pemilu, tanpa diiringi substansi keadilan sosial. Ketika undang-undang disusun secara tergesa-gesa, komunikasi politik tersendat, dan partisipasi publik terpinggirkan. Maka demokrasi hanya menjadi permainan politik elit.

Fenomena ini tentu tidak hadir dalam ruang kosong, melainkan bagian dari perjalanan panjang demokrasi Indonesia. Dinamika politik yang kita saksikan hari ini memiliki akar historis sejak awal kemerdekaan. Pola penguatan eksekutif dan penyempitan ruang rakyat sudah berulang kali terjadi sepanjang sejarah bangsa yang menghadirkan politik elit.

“Demokrasi kita sudah digaungkan saat kemerdekaan, tetapi mengalami kemunduran pada 1959 di mana pemerintahan Soekarno (yang) menguatkan dominasi eksekutif dan itu dilanjutkan oleh Orde Baru (yang) menjadikan demokrasi yang dulunya memiliki akar menjadi tenggelam,” ujar Nicky mengenai awal pudarnya demokrasi. 

“Kita baru menggali kembali akar-akar demokrasi saat reformasi. Namun, dari sudut pandang kritis saya, sejak pemerintahan periode kedua Jokowi sampai dengan hari ini, apa yang kita gali kembali sudah pudar lagi, karena dominasi eksekutif menguat kembali. Hampir semua dikuasai oleh presiden.” lanjutnya.

Kondisi ini menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia masih rentan dikuasai oleh kepentingan politik. Dominasi eksekutif yang berulang, lemahnya komunikasi politik, serta partisipasi publik yang terabaikan menjadikan demokrasi kita kehilangan substansinya. Namun, di tengah situasi tidak pasti ini, suara rakyat yang terus menggema lewat aksi massa menjadi tanda bahwa harapan belum sepenuhnya padam.

Suara Rakyat Tidak Boleh dan Tidak Akan Bisa Dibungkam

Aksi massa yang terjadi belakangan ini menjadi pengingat bahwa rakyat Indonesia masih memiliki daya untuk melawan ketidakadilan. Meski ruang demokrasi semakin sempit dan dominasi elite semakin menguat, tetapi rakyat tetap memilih turun ke jalan untuk menyuarakan keresahan. Inilah bukti bahwa suara rakyat tidak bisa dan tidak akan sepenuhnya dipadamkan oleh kebijakan yang menekan atau represi aparat.

Mahasiswa yang bergabung dengan BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) melakukan unjuk rasa di Jakarta Pusat pada Selasa (20/10/2025) (kompas.com).
Mahasiswa yang bergabung dengan BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) melakukan unjuk rasa di Jakarta Pusat pada Selasa (20/10/2025) (kompas.com).

Hal ini dapat dilihat dari respons DPR setelah aksi massa yang terjadi di seluruh Indonesia. Melansir dari kompas.com, pada Jumat (05/09/25) DPR akhirnya membatalkan rencana penaikan tunjangan anggota dewan yang sebelumnya menuai gelombang protes.

Keputusan ini menunjukkan bahwa suara rakyat, meski sering diabaikan, tetap punya daya paksa yang mampu menekan kebijakan elit politik.

Namun, perjuangan untuk menuju demokrasi yang liberal tidak sampai di sini saja. Demokrasi berjalan beriringan dengan rakyat, maka kontribusi rakyat tetap harus berjalan dengan semestinya dalam pembuatan kebijakan setelahnya. “Jangan pernah lelah dalam menjaga ruang publik. Itu yang tersisa sekarang dalam demokrasi kita, maka rakyat harus aktif dalam menjaga ruang publik yang sudah ada,” ujar Nicky. 

Baca juga: Pengalihan Isu: Trik Lama dalam Wajah Baru Politik Indonesia 

“Jika ruang publik kita terawat, ruang publiknya menguat, kebebasan sipil menguat, maka kualitas demokrasi kita akan naik.” tutupnya. 

Tidak hanya rakyat, pemerintah juga harus memperjuangkan ruang publik demokrasi Indonesia dan berani membuka dialog dengan rakyat. Dialog terbuka dengan masyarakat menjadi kunci agar demokrasi tetap hidup dan liberal. Selama rakyat masih bisa bersuara, suara tidak boleh dan tidak akan bisa dibungkam. 

 

Penulis: Reza Farwan (Komunikasi Strategis, 2023)

Editor: Kezia Laurencia

Foto: tirto.id, kompas.com 

Sumber : kompas.id, cnbcindonesia.com, kompas.com, tempo.co, antaranews.com

Tags: 2025Artikelartikel 2025csisdemokrasiDPRHukumkebebasan sipilkritikopinipemerintahPolitikrakyat
Reza Farwan

Reza Farwan

Related Posts

Munir saat di Jakarta. (Dok. TEMPO/Lourentius EP)
Iptek

Diracun di Udara: Mengenang Sang Aktivis HAM, Munir

September 9, 2025
Potret yang menggambarkan pengalihan isu (indonesiana.id)
Iptek

Pengalihan Isu: Trik Lama dalam Wajah Baru Politik Indonesia

September 8, 2025
Para demonstran buruh di depan Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (28/08/25). (KOMPAS.com/Ridho Danu Prasetyo)
Opini

Antara Rakyat, Pemerintah, dan Aparat: Saat Aspirasi Berujung Represi

September 9, 2025
Next Post
#17+8

Arti Brave Pink dan Hero Green, Lambang 17+8 Tuntutan Rakyat!

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seventeen − nine =

Popular News

  • wawancara

    Bagaimana Cara Menjawab Pertanyaan ‘Klise’ Wawancara?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Risa Saraswati Ceritakan Kisah Pilu 5 Sahabat Tak Kasat Matanya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Ivanna Van Dijk Sosok Dari Film ‘Danur 2 : Maddah’

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gading Festival: Pusat Kuliner dan Rekreasi oleh Sedayu City

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Merasa Depresi? Coba Cek 4 Organisasi Kesehatan Mental Ini!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Pages

  • About Us
  • Advertise & Media Partner
  • Artikel Terbar-U
  • Beranda
  • Kode Etik
  • Privacy Policy
  • Redaksi
  • Ultimagz Foto
  • Disabilitas

Kategori

About Us

Ultimagz merupakan sebuah majalah kampus independen yang berlokasi di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Ultimagz pertama kali terbit pada tahun 2007. Saat itu, keluarga Ultimagz generasi pertama berhasil menerbitkan sebuah majalah yang bertujuan membantu mempromosikan kampus. Ultimagz saat itu juga menjadi wadah pelatihan menulis bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) UMN dan non-FIKOM.

© Ultimagz 2021

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Info Kampus
    • Berita Kampus
    • Indepth
  • Hiburan
    • Film
    • Literatur
    • Musik
    • Mode
    • Jalan-jalan
    • Olahraga
  • Review
  • IPTEK
  • Lifestyle
  • Event
  • Opini
  • Special
    • FOKUS
    • PDF
  • Artikel Series
  • Ultimagz Foto

© Ultimagz 2021