SERPONG, ULTIMAGZ.com – Presiden Prabowo Subianto secara resmi mengangkat Soeharto, Presiden ke-2 Republik Indonesia menjadi pahlawan nasional pada Senin (10/11/25). Status ini diserahkan kepada dua anak Soeharto, yaitu Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) dan Bambang Trihatmodjo. Namun, keputusan ini menimbulkan banyak perdebatan di kalangan masyarakat.
Berdasarkan hasil Survei Pengangkatan Pahlawan Nasional yang dilakukan oleh KedaiKOPI (kedaikopi.co), sebanyak 80.7% responden mendukung Soeharto menjadi pahlawan nasional. Alasan terbanyak yang dipilih adalah karena keberhasilan program swasembada pangan (78%) dan pembangunan Indonesia (77.9%) yang dilakukan Soeharto.
Baca juga: Isu Nasional Penuhi Bulan Kemerdekaan 2025
Di sisi lain, alasan masyarakat tidak setuju adalah karena merajalelanya korupsi, kolusi, dan nepotisme atau KKN (88%) di masa pemerintahannya. Hal ini sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor XI/MPR/1998 yang menyatakan dugaan keterlibatan Soeharto dengan KKN. Alasan lain adalah karena adanya pembungkaman kebebasan berpendapat masyarakat dan pers (82.7%) serta pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM (79.6%).
Tidak hanya masyarakat, beberapa pakar juga ikut menyuarakan pendapat mengenai keputusan ini. Melansir kompas.id, Koordinator Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyatakan bahwa pemberian gelar kepada Soeharto mengkhianati nilai reformasi, demokrasi, dan keadilan. Mengingat bahwa dalam 32 tahun pemerintahannya terjadi banyak pelanggaran HAM, mulai dari Pembunuhan Massal 1965, Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, hingga Kerusuhan Mei 1998.
Amnesty International Indonesia juga mendesak pemerintah untuk membatalkan pemberian gelar kepada Soeharto. Melansir amnesty.id, keputusan ini memutarbalikkan sejarah, mengkhianati cita-cita reformasi 1998, dan menghina jutaan korban pelanggaran HAM.
Selain Soeharto, Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) juga menolak pengangkatan Sarwo Edhie Wibowo, kakek Agus Harimurti Yudhoyono. Sarwo Edhie merupakan Panglima Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD)—saat ini disebut Kopassus–yang diperintahkan langsung oleh Soeharto untuk menumpas operasi G30S. Penumpasan tersebut memakan 3 juta korban jiwa yang diduga berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.
Baca juga: Mengenang 32 Tahun Kematian Marsinah Lewat Aksi Kamisan Ke-860
Kelompok “Jogja Memanggil” yang menginisiasi aksi unjuk rasa pada Senin (10/11/25) di Yogyakarta menyoroti pemberian gelar Soeharto yang bersamaan dengan Presiden ke-4 Republik Indonesia, Gus Dur dan aktivis buruh perempuan, Marsinah. Gus Dur merupakan salah satu tokoh yang mendesak penurunan Soeharto karena banyaknya pelanggaran yang dilakukan. Adapun Marsinah diduga dibunuh oleh militer Orde Baru milik Soeharto setelah memperjuangkan nasib buruh, dilansir dari bbc.com.
Pemberian gelar pahlawan nasional diberikan sebagai bentuk penghormatan kepada pemimpin terdahulu bangsa. Adapun gelar ini diberikan kepada sepuluh tokoh bersamaan dengan peringatan Hari Pahlawan. Akan tetapi, pemberian gelar ini malah menuai banyak penolakan dari masyarakat.
Penulis: Celine Valleri
Editor: Jessie Valencia
Foto: BBC/Aditya Pradana Putra
Sumber: kompas.id, bbc.com, tempo.co, tirto.id, detik.com, amnesty.id, kedaikopi.co, TAP MPR Nomor XI/MPR/1998





