ARTIKEL 3
“Orisinalitas,” tegas Dea Valencia Budiarto, pemilik Batik Kultur, sebuah merk dagang yang menjual baju batik non printing, setelah ditanya perbedaan antara batik buatannya dengan batik lain. Itulah yang membuat usaha batiknya mulai melonjak dan diakui oleh banyak orang.
Siapa sangka perempuan kelahiran Semarang, 14 Februari 1994 ini telah menjadi young technopreneurship di kalangan teman-teman seusianya. Perempuan cantik dengan umur yang terbilang masih sangat muda ini sudah mencapai omzet sebesar 200-250 juta perbulan dari penjualan batiknya via jejaring sosial Facebook. “Saat ini aku sudah mulai mengembangkan untuk website, namun belum dapat diakses. Dan pada akhir September nanti akan ada grand opening di Semarang untuk membuka toko pertamaku,” tutur perempuan yang memiliki hobi browsing internet, belajar bahasa, dan traveling ini.
Saat kecil, perempuan yang biasa disapa dengan Dea ini pun memang tidak pernah berpikir dapat membuat usaha layaknya sekarang ini. “Semua ini aku mulai dari membantu mamiku menjual koleksi batik yang kebanyakan adalah antik. Saat itu dalam bentuk kain, sambil berjualan juga sambil mempelajari,” tutur Dea yang saat itu masih menduduki mahasiswi semester tiga di Universitas Multimedia Nusantara. Sejak saat itulah Dea mulai jatuh cinta pada batik dan muncul ide untuk berjualan baju dari batik ‘lawasan’ yang tidak sempurna (ada bagian yang cacat atau sobek).
Anak dari pasangan Bapak Ariyani Utoyo dan Ibu Iskiworo Budiarto ini tidak bekerja sendiri di dalam mengembangkan usaha batiknya. Ia dibantu dan didukung penuh oleh ibunya. Ia juga dibantu oleh beberapa karyawan yang di luar pemikiran kita. Di dalam usahanya, Dea juga memberdayakan orang-orang difabel seperti tunarungu dan tunawicara. “Aku ingin memberikan mereka kesempatan untuk memberikan kontribusinya di balik perbedaan mereka. Dan ternyata banyak pelajaran yang bisa diambil seperti ketekunan dan semangat untuk belajar,” tuturnya.
Prestasi akademik perempuan yang dulu pernah memiliki banyak cita-cita, seperti dokter, Master of Ceremonies, ballerina, pramugari, dan astronot ini pun sungguh sangat mengagumkan. Dea sudah mulai memasuki dunia perkuliahan saat ia masih berumur 15 tahun dan sudah meraih gelar sarjana di usia 19 tahun. “Aku mulai masuk sekolah pada usia 22 bulan. Setelah itu, aku memang mengikuti kelas internasional sehingga lebih cepat masuk kuliahnya,” tutur alumni Universitas Multimedia Nusantara dari program studi XXX angkatan 2009 ini. Saat ini, ia masih dalam proses menciptakan Integrated Production System untuk pengembangan usaha batik miliknya.
Moto yang dimiliki oleh perempuan dua bersaudara ini berbunyi ‘If you never try you’ll never learn. There is no elevator to success, you have to take the stairs’. Dari sinilah Dea mulai memberanikan diri untuk belajar dan mencoba hal yang baru. Ketekunan dan pantang menyerahlah yang menyemangatinya untuk terus maju. “Kesuksesan bukanlah sesuatu yang didapat dengan instan dan mudah, maka dari itu mulailah kita berwirausaha sejak muda,” tuturnya seperti dilansir dari testimoni website Universitas Multimedia Nusantara.
Dea telah memberi arti bahwa kemerdekaan juga berarti kecintaan pada kekayaan negeri tanpa didominasi oleh budaya asing. “Pembeli baju batikku juga ada yang dari luar negeri di mana mereka adalah orang Indonesia yang bekerja atau tinggal di luar negeri, seperti di Australia, Jepang, Singapura, USA, UK, Jerman, dan Norwegia. Di bulan September ini, aku rencana juga akan berangkat ke Jepang untuk mengikuti Tokyo International Gift Show,” tutur perempuan yang bangga saat ada costumer yang mulai hobby memakai baju batik setelah membeli baju batik di Batik Kultur. Hal ini dilakukannya sebagai bentuk pengungkapan rasa nasionalisme untuk membagikan kebudayaan Indonesia kepada negara lain. Dari sinilah kita dapat belajar bahwa kita dapat menunjukkan semangat nasionalisme yang sejati tanpa harus iri dan meniru kebudayaan asing.
Penulis: Nikolaus Harbowo