SERPONG, ULTIMAGZ.com – Film dokumenter “Pulau Buru Tanah Air Beta” ditayangkan dalam forum diskusi dan screening UMN Juice pada Jumat, (22/4). Acara yang diadakan di Lecture Hall Universitas Multimedia Nusantara (UMN) ini menghadirkan Whisnu Yonar selaku produser untuk membagikan kisahnya mengenai perjalanan produksi film tersebut.
Tak banyak kisah tentang Pulau Buru dalam sejarah Indonesia. Padahal, salah satu pulau terbesar di Kepulauan Maluku ini menyimpan kisah kelam Indonesia di zaman dulu. Kisah tersebut yaitu ketika Pulau Buru menjadi tempat pengasingan tahanan politik pada zaman Orde Baru.
Dua tokoh yang ditampilkan dalam film adalah Hersri Setiawan dan Tedjabayu Sudjojono. Mereka hanyalah dua dari belasan ribu tahanan yang dibuang ke Pulau Buru dengan tuduhan sebagai antek-antek Partai Komunis Indonesia (PKI).
Asal comot, sengsara belasan tahun
Pembuangan tahanan politik tersebut dilakukan tanpa proses pengadilan maupun pengecekan ulang. Akibatnya, terdapat beberapa orang yang tak salah, namun menjadi korban.
“Contohnya ada seorang dosen yang rumahnya didatangi tentara. Karena tentara tidak menemukan orang yang dicari, maka dosen itu yang dibawa ke kantor militer dan akhirnya ke Pulau Buru, dengan dalih karena kalau tidak bawa tangkapan, pasti akan dimarahi komandannya,” tutur Whisnu.
Selama sebelas tahun pengasingan dari 1968 hingga 1979, terdapat banyak kontribusi yang diberikan para tahanan politik kepada Pulau Buru. Wishnu menyampaikan, mereka dituntut bekerja, salah satunya untuk membuat saluran irigasi. Sejak pukul enam pagi, mereka sudah mulai membuat barak tempat tinggal dan mengerjakan saluran irigasi, hingga pukul lebih kurang lima atau enam sore.
Sesudah itu, dilansir dari CNNIndonesia, mereka masih diharuskan berjalan kaki mengantar makanan dari Pelabuhan Namlea ke barak tempat tinggal yang jauhnya belasan kilometer.
Tak hanya tersiksa karena harus terus bekerja, tingginya suhu siang hari di Pulau Buru yang mencapai sekitar 42 derajat Celsius membuat kulit para tahanan melepuh. Saat malam hari pun mereka harus menahan dingin karena suhunya yang mencapai 18 derajat Celsius.
Mirisnya kisah kehidupan para tahanan politik di Pulau Buru yang tak banyak dibahas orang mengantar Whisnu pada keinginan mengangkat kisah bersejarah ini dalam sebuah film. Baginya, anak bangsa, terutama generasi mudanya, harus mulai aware pada sejarah negaranya sendiri.
Pengangkatan Hersri sebagai pemeran utama film ini dikarenakan ia merupakan salah satu mantan tahanan politik yang masih aktif berkarya, salah satunya yaitu lewat buku Memoar Pulau Buru. Selain itu, Whisnu juga mengaku sudah mengenal istri Hersri sejak lama.
Cekcok selama produksi
Bekerja bersama Hersri, Tedjabayu, dan keluarga mereka, masing-masing telah memberi kisah tersendiri dalam proses produksinya. Meski sudah berusia lanjut, Whisnu mengapresiasi ingatan keduanya yang masih sangat kuat. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa usia tetap berbicara. Hersri cukup bermasalah dari sisi pendengarannya yang sudah mulai berkurang, sedangkan Tedjabayu sudah sering sakit-sakitan.
Terkait kesulitan dalam proses produksi, Wishnu menyebutkan salah satunya adalah dari sisi interpersonal. Tim produksi harus berhubungan dengan orang tua, yang dalam konteks ini adalah korban kasus 1965, sehingga harus menguak kembali ingatan mereka tentang masa lalu dan memunculkan sisi emosionalnya. “Banyak makan hati sih, tapi ya, sebagai anak muda kita mengalah aja. Selama setahun ini, dikuat-kuatin aja,” ceritanya.
Banyaknya tuntutan kepentingan yang muncul selama proses produksi film ini juga menjadi alasan Wishnu hingga ‘makan hati’. “Mau masukin si ini lah, mau ceritain si ini lah, mau begini begitu. Ya, kalau gitu, tugas saya sebagai produser apa? ‘Kalian bikin aja film sendiri’, sempat terucap begitu ke orang-orang tua ini. Tapi ya, itulah. Sabar aja,” lanjutnya.
Meski sudah melakukan riset, minimnya data mengenai Pulau Buru dan sejarahnya juga cukup menyulitkan proses produksi. Master arsip negara dan video pun sulit didapat. Akhirnya, hanya rekaman DVD yang digunakan.
Kesulitan dana pun turut dirasakan, dikarenakan tidak adanya pihak yang mau mendanai. Faktor utamanya adalah dikarenakan jenis filmnya yang berupa dokumenter, dan mengangkat isu politik. Akibatnya banyak kendala teknis yang terjadi, seperti mahalnya biaya assessment dan syuting, hingga biaya penyewaan beberapa alat yang harus ditanggung tim.
Pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta di UMN ini menjadi yang pertama kalinya di Tangerang. Sebelumnya, film ini pernah diputar di beberapa tempat, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) serta Belok Kiri Festival.
Penulis: Clara Rosa Cindy
Editor: Agustina Selviana
Fotografer: Evelyn Leo