JAKARTA, ULTIMAGZ.com – Sabtu (2/3/2017) lalu, lebih dari 1.000 orang turun ke jalan untuk menyuarakan hak-hak perempuan dalam aksi Women’s March 2018. Tak hanya perempuan, pawai yang dimulai dari kawasan Sarinah menuju Taman Aspirasi Monas ini juga diikuti oleh laki-laki dan berbagai kelompok marginal seperti komunitas LGBTQ.
Di Indonesia, aksi yang pertama kali dilakukan pada 4 Maret 2017 lalu ini merupakan rangkaian sister march dari gerakan serupa di Amerika Serikat. Tahun ini ada 8 tuntutan yang disuarakan, yakni masih seputar kekerasan terhadap perempuan dan kaum LGBT, perkawinan anak, kesejahteraan buruh perempuan, perlindungan kesehatan pekerja seks, pengesahan RUU kekerasan seksual, dan protes atas RKUHP perluasan pasal soal zina.
Feminis Bukan Benci Laki-Laki
Gerakan-gerakan feminis seperti Women’s March sudah tumbuh seperti jamur di musim hujan pada masa ini. Kesadaran akan kesetaraan yang seharusnya didapatkan perempuan selayaknya kaum laki-laki semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Sejatinya, feminis bukan berarti menggantikan posisi dan dominasi laki-laki terhadap kaum perempuan. Harus dipahami bahwa feminis tak sama dengan tindakan menggagahi laki-laki, melainkan kesetaraan gender. Sesederhana itu.
“Orang sering berpikir kalau kamu feminis dan melawan patriarki, maka kamu melawan laki-laki. Tapi sebenernya bukan. Patriarki itu enggak ada gendernya, dia bisa muncul dari laki-laki dan juga perempuan. Melawan patriarki itu artinya melawan ketimpangan atas pandangan-pandangan yang membuat kita (perempuan dan laki-laki) jadi tidak setara,” ujar Inayah Wahid, aktivis perempuan sekaligus pekerja seni yang ditemui kala hendak menonton lakon Preman Parlente di Graha Bakti Budaya, Jakarta.
Patriarki memang dapat muncul dari siapa saja, termasuk perempuan itu sendiri. Ucapan seperti “Angkat galon air sendiri sana,” atau “Udah malam nih tapi pulang sendiri, bisa kan?” jika dikatakan laki-laki pada perempuan akan membuat laki-laki tersebut terlihat kurang gentle di mata perempuan. Kemudian, tak jarang perempuan akan membalasnya dengan kalimat “Aku kan perempuan,”.
Para perempuan perlu menyadari bahwa menjadi perempuan tak berarti diri menjadi lebih rendah atau lebih tinggi dari laki-laki. Ucapan seperti “Aku kan perempuan,” terdengar seperti alasan yang justru merendahkan perempuan dan menodai feminisme itu sendiri. Jika tak mampu melakukan sesuatu, sampaikan dengan jelas bahwa ketidakmampuan itu karena diri sendiri dan bukan mengatasnamakan ketidakmampuan seorang perempuan.
Misal perihal angkat galon, banyak perempuan yang tidak bisa mengangkat berat karena memang tak terbiasa mengangkat barang-barang berat. Namun bukan berarti semua perempuan tak mampu mengangkat barang berat termasuk galon air, buktinya banyak binaragawati atau atlet angkat besi perempuan yang mampu mengangkat berat lebih dari 50 kilogram. Hal itu membuktikan jika ketidakmampuan itu hadir bukan karena terlahir sebagai perempuan.
“Kalau seseorang menyatakan diri sebagai feminis dia sudah pasti enggak benci pria. Feminis hanya menginginkan kesetaraan bagi pria dan perempuan. Feminis percaya pria boleh nangis, main boneka, dan percaya pria boleh embracing his feminity without a fear of being judged. Feminis juga percaya kalau perempuan juga boleh menunjukkan their masculinity,” ujar Finny R., mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara yang juga menjadi peserta dalam Women’s March 2018 kemarin.
Laki-Laki dalam Women’s March 2018
I call myself a feminist. Isn’t that what you call someone who fights for women’s right? -Dalai Lama
Dalam Women’s March kemarin, banyak laki-laki yang ikut berpartisipasi memperjuangkan hak-hak perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mencapai kesetaraan gender dibutuhkan usaha banyak pihak, bukan hanya dari kaum perempuan saja.
Nikolas Siahaan, mahasiswa Kriminologi Universitas Indonesia, merupakan satu dari sekian banyak laki-laki yang turut memeriahkan perjuangan hak-hak perempuan dan kaum marginal lainnya pada Sabtu (2/3/2018) lalu.
“Pertama gue ikut sih karena tugas dari dosen, nama mata kuliahnya Perempuan dan Keadilan. Tapi selain itu, gue punya dorongan untuk perjuangin hak-hak perempuan yang selama ini dilanggar,” ujar mahasiswa semester empat ini.
Niko sendiri datang bersama beberapa teman-temannya dan membawa misi untuk memerjuangkan edukasi seksual kepada seluruh masyarakat Indonesia.
“Indonesia ini kan memang sangat mengutamakan nilai adat dan agama, jadi hal-hal seksual seringkali dianggap tabu untuk dibicarakan. Padahal dengan enggak adanya edukasi ini, banyak pelecehan dan kasus kriminalitas seksual yang terjadi di masyarakat,” tambahnya lagi.
Lain halnya dengan Niko yang menyoroti edukasi seksual di Indonesia, Imam, aktivis dari Komunitas Arus Pelangi juga turun ke jalan untuk menunjukkan aksi solidaritasnya kepada perempuan dan kaum yang termarginkan di Indonesia.
“Apa ya, aku pengen enggak ada lagi ketidakadilan, terutama kekerasan sih. Aku sendiri bagian dari LGBT, nah kadang perempuan-perempuan lesbian atau transpuan suka diperlakukan dengan tidak sopan banget di masyarakat kita,” ujar Imam.
Imam merasa sudah saatnya masyarakat Indonesia memperlakukan manusia sebagai manusia, tidak terpaku pada gender ataupun orientasi seksual.
“Malu aja sih kalau ada laki-laki kayak gitu (diskriminatif terhadap perempuan) di tahun 2018,” tambahnya.
Kontribusi laki-laki dan perempuan untuk membangun ekosistem masyarakat yang lebih adil dan setara sungguh diperlukan. Semua manusia, entah apapun gendernya harus saling bahu-membahu untuk memastikan semua orang mendapatkan hak untuk hidup bahagia dan layak.
Siapa bilang feminis hanya milik perempuan? Siapapun bisa jadi feminis, siapapun bisa untuk memerjuangkan kesetaraan hak bagi seluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali, termasuk laki-laki.
Penulis: Diana Valencia
Fotografer: Aldo Sitanggang
Editor: Gilang Fajar Septian