Serpong, ULTIMAGZ.com – Acara talk show ternama Metro TV, Kick Andy hadir di Auditorium Lecture Theatre Universitas Multimedia Nusantara (UMN) pada Rabu (24/04/24). Kunjungan ini merupakan salah satu rangkaian terbaru mereka, “Kick Andy Goes to Campus” yang telah dilakukan selama tiga bulan terakhir.
Membawa berbagai narasumber dengan topik menarik di kampus-kampus Indonesia, kali ini Kick Andy mengangkat dua topik berbeda dalam dua sesi acara di UMN. “The Colours of Mothers” menjadi topik sesi pertama acara dan “Kejar Tujuan Bukan Uang” pada sesi kedua acara.
Baca juga: Talkshow Alive 9.0 Paparkan Pentingnya Asupan Gizi Lengkap dan Seimbang
“The Colours of Mothers”

Tema ini diangkat dari buku karya narasumber Riyani Indriyanti berjudul The Colours of Mothers. Buku ini menceritakan 22 kisah ibu inspiratif dari perspektif anak-anaknya dengan 21 kontributor dari 15 negara berbeda.
Buku ini diterbitkan dalam rangka Hari Kartini dan terinspirasi dari sosok ibunya, Sri Dahuni, yang pekerja keras. Riyani menggambarkan bahwa ia lahir dari keluarga sederhana, tetapi ibunya punya keinginan untuk selalu memberikan yang terbaik.
“Walau dari segi ekonomi tidak banyak, namun ibu saya menanamkan banyak sekali benih-benih yang menjadikan saya seperti sekarang,” cerita Riyani.
Menjadi anak bungsu dari enam bersaudara, Riyani merasakan keterpurukan ekonomi keluarga saat sang ibu harus berjuang sendirian menghidupi anak-anaknya.
“Jika gak ada uang buat makan, ibu saya akan ambil beras yang jatuh di tanah sebelah warung buat dicuci dan dimasak. Lalu piring kami akan dinamai biar gak ada yang saling ambil satu sama lain. Beli ikan asin saja, ibu saya cuma bisa beli kepalanya,” tutur Riyani mengenai ekonomi keluarganya kala itu.
Namun, walau pendapatan untuk kehidupan sehari-hari kurang dari kata cukup, ibu Riyani tidak berhenti mencari upah untuk membawa Riyani ke perguruan tinggi. Padahal, kala itu perempuan dianggap tidak layak memiliki pendidikan yang tinggi.
“Pendidikan satu-satunya hal yang bisa mengeluarkan kita dari kemiskinan. Kita gak bisa milih jalan hidup kita dan kalau bersaing secara material ya gak ada ujungnya. Kalo mau maju, lewat pendidikan. Jangan bersaing dengan orang yang kamu tidak bisa kontrol persaingan tersebut,” ujar ibu Riyani kepada Riyani kala itu.
Melihat kerja keras sang ibu, Riyani bersumpah untuk memberikan yang terbaik di bangku perkuliahan. Ia pun berhasil meraih IPK sempurna di Universitas Moestopo program studi Jurnalistik dan melanjutkan s2-nya di University of Houston, Texas.
Hal serupa juga dirasakan Titik Wahyuni yang hadir sebagai salah satu kontributor dalam The Colours of Rainbow. Di dalam buku ini, ia menceritakan kisah orang tuanya yang sehari-hari berjualan sayur-sayuran di Pasar Selo, Boyolali.
Saat berkuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) dulu, keluarga mereka mengandalkan mobil pick-up untuk berjualan sayur-sayuran demi meraup biaya perkuliahan Yuni. Miyem, sang Ibu, harus berangkat tengah malam hingga subuh setiap harinya demi memenuhi biaya perkuliahan, uang kos, hingga uang saku Yuni di Jogja.
Ini juga menjadi alasan Yuni untuk lebih sungguh-sungguh belajar hingga sekarang dapat menempuh kuliah di Minerva Art Academy, Belanda.
“Kejar Tujuan Bukan Untung”

Dalam sesi kedua, Andy Noya mengundang dua narasumber inspiratif dari desa. Mereka merupakan pengusaha yang berkuliah di kota dan memutuskan untuk kembali ke desa demi membangun ekonomi dan berkontribusi di desa tersebut.
Narasumber pertama yang dihadirkan adalah Singgih Kartono, pendiri usaha Spedagi, sepeda yang terbuat dari bambu. Singgih merupakan mahasiswa lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Desain Produk.
Pada 1995, Singgih memutuskan kembali ke desa karena merasa kota terlalu padat dan ramai untuknya. Selain itu, ia juga ingin membantu penduduk desanya yang bergantung kepada Singgih. Singgih sendiri adalah penduduk desa asalnya yang pertama berhasil lolos ke ITB.
“Saya juga terpicu sebuah buku tulisan Alvin Toffler yang meramalkan akan ada suatu saat di mana banyak orang tinggal di pelosok namun terkoneksi secara global. Jadi saya yakin akan ada peluang nantinya untuk desa berkembang menjadi roda ekonomi negara.”
Dari keyakinannya itu, Singgih mulai membuat kerajinan dari bahan baku alam kayu dan bambu lalu diolah menjadi Radio Magno yang pada 2005 menjadi sebuah produk ternama di Indonesia. Setelah berhasil meloncati batu lewat radio tersebut, Singgih mulai mencari cara lain untuk tetap membuat karya dari sumber daya alam.
“Saya membuat barang dari bahan yang dapat diganti dan hemat penggunaannya. Contohnya, kayu atau bambu. Mereka ini punya relasi emosional dengan kita,” ucap Singgih.
Dari keinginan membuat produk ramah lingkungan, Singgih yang kala itu rajin bersepeda menemukan contoh produk sepeda bambu di internet. Lewat temuannya ini, Singgih akhirnya mulai membuat sepeda dari bahan dasar bambu yang hingga saat ini menjadi salah satu produk terkenal.
Sepeda bambu ini sudah digunakan oleh banyak orang ternama seperti Presiden Joko Widodo hingga Andy Noya sendiri.
Bahkan, negara besar seperti Jepang ingin bekerja sama dengan Singgih, tetapi Singgih tolak karena yakin Indonesia dapat membuat karya ini besar secara mandiri.
Selain Singgih, ada juga Aang Pranama, pendiri perusahaan Sipetek yang menjual makanan kering seperti ikan, kentang, hingga teri.
Sipetek dimulai saat Aang yang merupakan lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) bekerja pada sebuah perusahaan Timur Tengah selama dua tahun sebagai environmental specialist. Kala itu, Aang berkeliling Indonesia terutama di desa-desa pelosok untuk mengamati lingkungan desa tersebut.
Lewat pemantauannya ini, Aang melihat ada potensi besar yang dapat dibangun di desanya melalui Ikan Petek. Ikan ini jarang dibeli oleh warga sekitar dan lebih banyak dibuang karena baunya yang amis dan struktur tubuhnya yang didominasi oleh duri.
Namun, lewat inovasi pencucian dengan rempah dan penggorengan hingga kering, Ikan Petek dapat dikonsumsi dengan aman oleh warga sekitar. Tekadnya untuk menetap di desa juga dipengaruhi oleh rasa hutangnya terhadap penduduk desa.
“Saya lahir dari keluarga sederhana dan dari kecil banyak sekali warga desa yang baik terhadap saya. Banyak dari mereka yang investasi ke saya untuk menjadikan saya seperti ini. Saya jadi merasa harus membuat kontribusi untuk membayar jasa orang-orang ini,” ujar Aang mengenai hutangnya tersebut.
Baca juga: Jakarta Youth Summit 2021 Angkat Isu Diskriminasi
Aang juga berpendapat bahwa memberikan kontribusi di desa ini lebih besar dibandingkan bekerja di kota tanpa adanya kontribusi nyata bagi negara.
“Lebih baik saya menjadi mesin kecil daripada menjadi baut kecil di mesin yang besar,” ujar Aang.
Jika Ultimates tertarik untuk mendengar lebih jauh kisah para narasumber ini, Ultimates dapat tunggu tayangan “Kick Andy Goes to Campus” ini di YouTube Metro TV atau pantau terus program Kick Andy setiap akhir pekan di Metro TV. Selamat menyaksikan, Ultimates!
Penulis: Kezia Laurencia
Editor: Josephine Arella
Foto: ULTIMAGZ/Andita Chayara, ULTIMAGZ/Margaretha Netha
Comments 1