JAKARTA, ULTIMAGZ.com – Women’s March Jakarta (WMJ) yang menjadi sarana bagi pejuang kesetaraan gender untuk menyuarakan tuntutannya kembali dilaksanakan untuk yang ketiga kalinya pada Sabtu (27/04/19).
Melibatkan lebih dari 50 komunitas dan organisasi, ratusan orang berpartisipasi dalam pawai yang dimulai dari Parkiran Hotel Sari Pacific, Thamrin, hingga ke Taman Aspirasi Monumen Nasional (Monas). Kala aksi, beberapa perempuan bergantian menyampaikan aspirasi mereka untuk menjunjung keadilan.
Namun, tak hanya perempuan yang memperjuangkan kesetaraan kaumnya dalam acara ini, melainkan juga laki-laki yang turut menyuarakan pandangan mereka. Keterlibatan gender oposisi ini sekaligus menyuarakan betapa krusialnya kesetaraan ini sebagai isu bersama.
Ahsani Taqwiem, Mahasiswa Filsafat Universitas Indonesia
Dari 10 hal yang dituntut oleh aksi ini, penolakan akan pernikahan dini menjadi fokus yang disuarakan Ahsani. Menurutnya, pernikahan dini menciptakan keterbatasan untuk menerima pendidikan bagi perempuan. Akibatnya, perempuan sendiri menjadi abai terhadap nilai kesetaraan yang semestinya didapat.
“Pernikahan dini berdampak langsung terhadap pendidikan. Mereka yang menikah dini menjadi lebih fokus pada rumah tangganya dan kurang memikirkan perihal pendidikan,” ujarnya.
Menurutnya, masih banyak dominasi laki-laki atas perempuan dalam beragam aspek, misalnya adat yang berujung pada kurangnya penghargaan atas perempuan. Selain itu, keadilan gender tercapai saat manusia bisa merasakan kesenangan dalam hidup berdampingan tanpa ada dominasi dari salah satu gender.
“Pandanglah perempuan sebagai subjek, bukan objek,” pesan Ahsani.
Rastra Yasland, Aktivis
Rastra menggaungkan kembali RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang perjalanannya sudah sangat panjang, dimulai dari datanya dicari, dibuat, dirampung menjadi draft, hingga menjadi inisiatif DPR. Namun, sejak pertama digaungkan pada WMJ 2017, RUU PKS belum kujung disahkan.
“Banyak fokus-fokus lain, tetapi aku fokus di kekerasan seksual karena kita darurat banget, semua orang bisa jadi korban. Aku sebagai laki-laki dan banyak temanku dari berbagai identitas pun pernah jadi korban. Sudah saatnya kita fokus ke pencegahan dan perlindungan terhadap hak korban, serta memidana pelaku,” ungkap Rastra.
Menurut Rastra, tercapainya keadilan gender bukan hanya menguntungkan perempuan, tetapi juga bagi laki-laki.
“Keadilan gender sudah tercapai bila aku sudah bebas berekspresi dan gak ada gender rules lagi. Perempuan dan laki-laki feminin bisa mendapatkan akses dan go into politic. Ini bisa dimulai ketika tidak ada manusia yang dilecehkan,” tambahnya.
Zolanski, Staf Komisi Nasional Perempuan
Sebagai seorang laki-laki dari keragaman gender dan minoritas seksual, Zolanski fokus pada tuntutan pemenuhan hak hidup yang nyaman dan aman khususnya bagi kaum minoritas seksual dan keragaman gender. Menurutnya, isu feminisme bukan hanya tentang perempuan versus laki-laki, melainkan juga tentang patriarki versus feminitas.
“Sebenarnya, yang diserang oleh patriarki bukan hanya perempuan secara biologis. Ada juga laki-laki feminin dan laki-laki penyuka sesama jenis, misalnya,” ujar Zolanski. “Mereka juga teman-teman yang menghadapi diskriminasi patriarki itu.”
Selain itu, ia juga ingin menunjukkan visibilitas dan orientasinya melalui Women’s March. Di hari-hari lainnya, ia merasa akan mendapatkan diskriminasi, persekusi, juga ketidakamanan dalam menunjukkan identitasnya sebagai laki-laki heteroseksual.
Baginya, keadilan gender bukan semata antara laki-laki dan perempuan saja, melainkan keadilan bagi semua orang tanpa memperhatikan identitas gender maupun status kesehatan.
“Feminisme intinya memberikan hak yang sama, walaupun tidak serupa, bagi semua orang,” ucapnya.
Penulis: Maria Helen Oktava
Editor: Ivan Jonathan
Foto: Ergian Pinandita