JAKARTA, ULTIMAGZ.com – Taman Ismail Marzuki (TIM) merupakan salah satu pusat kesenian dan kebudayaan yang masih populer hingga kini. TIM yang terletak di jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat ini menjadi ruang bagi para seniman untuk mengekspresikan karyanya, terutama seni pertunjukkan teater. Namun seiring berkembangnya zaman, benarkah pertunjukkan teater di TIM mulai kurang menarik dan terkesan kurang “menggigit” bagi para penontonnya?
Didirikan oleh Gubernur Ali Sadikin pada 10 November 1968, tempat yang awalnya bernama Taman Raden Saleh (TRS) ini menjadi tujuan utama para pencari hiburan teater di Jakarta. Kebanyakan dari mereka mencari hiburan teater yang relevan dengan situasi di Indonesia, terutama situasi sosial dan politik.
Teater Koma adalah salah satu kelompok teater yang paling sering mengisi pertunjukkan di TIM. Berdiri sejak tahun 1977, mereka dikagumi para penonton lantaran pertunjukannya kerap membawa keadaan sosial dan politik di Indonesia. Kritik pun secara berani dilayangkan lewat beberapa adegan dalam pementasan-pementasannya.
Karena hal tersebut, mereka harus rela dicekal oleh pemerintahan dan dilarang pentas beberapa kali. Teater Koma seakan berhasil membawa para penonton ikut mengkritisi suatu isu sosial-politik di Indonesia.
Namun, munculnya kelompok-kelompok teater baru yang didominasi anak muda menimbulkan kekecewaan. Pasalnya, hal yang sebelumnya dinikmati penonton tersebut perlahan mulai luntur.
“Waktu jaman dahulu, kritik-kritik dan sindiran-sindiran dalam Teater Koma adalah yang paling saya nantikan. Bahkan saya sampai ngantri demi dapat tiketnya,” ungkap Rustam Mawi, warga Kwitang, Jakarta Pusat. Ia mengaku telah menjadi penonton setia pertunjukan teater di TIM sejak 1976.
Menurutnya, pertunjukan di TIM saat ini di luar Teater Koma hanya memuaskan para anak muda dan menuruti selera-selera mereka saja. Kebanyakan sudah tak ada lagi kelompok teater yang mau mengkritisi keadaan ataupun keprihatinan yang ada di negara ini.
Bagi Rustam, teater yang dipentaskan oleh Teater Pandora dalam “Pernikahan Darah” di TIM pada Jumat-Minggu, 15-17 Januari 2016 cukup baik karena secara tidak langsung membawa anak muda kembali tertarik pada budaya bangsa. Namun menurutnya, alangkah baiknya jika pertunjukan-pertunjukan teater budaya masa kini kembali menghidupkan budaya “menggigit” ala Teater Koma.
Tentunya, hal tersebut guna menciptakan generasi muda yang tidak hanya mencintai budaya bangsa, namun juga kritis terhadap isu sosial-politik Indonesia.
Penulis: Richard Joe Sunarta
Editor: Alif Gusti Mahardika
Fotografer: Ignatia M. Adeline