SERPONG, ULTIMAGZ.com – Isu sampah organik sudah lama menjadi tantangan global, termasuk di Indonesia. Korea Selatan, salah satu negara dengan sistem pengelolaan sampah terbaik di dunia, punya cara efektif dalam mengurangi limbah makanan, yakni dengan program Pay as You Throw (PAYT).
Sistem ini mewajibkan warga membayar sesuai jumlah sampah yang mereka hasilkan. Bagi masyarakat Korea Selatan, mendaur ulang sisa makanan bukan lagi hal asing, melainkan rutinitas harian. Hal ini membuat orang lebih bijak mengonsumsi makanan agar tidak menambah biaya pembuangan.
Baca juga: Kenali Padel: Olahraga Raket Asal Meksiko
Tiga Metode Pembayaran Pay as You Throw

Mengutip kumparan.com, metode pembayaran sampah di Korea Selatan terbagi dalam tiga cara. Pertama, penggunaan kartu Radio Frequency Identification (RFID) yang otomatis menimbang berat sampah dan membebankan biaya ke akun pemilik setiap bulannya. Penggunaannya sendiri sangat praktis, pengguna hanya perlu menempelkan kartu, lalu akses ke alat pengolah sampah akan terbuka.
Kedua, melalui sistem kode batang (barcode) yang ditempel pada wadah kompos. Masyarakat Korea Selatan cukup membuang sampah makanan ke tempat sampah khusus, lalu membayar menggunakan stiker berkode batang yang sudah mereka beli.
Sistem pembayaran ketiga adalah melalui kantong sampah prabayar yang dijual di toko sesuai kapasitas tertentu. Kantong berukuran tiga liter dihargai 300 won (sekitar Rp3.500), sedangkan kantong berukuran 20 liter harganya US$1,5 (sekitar Rp23.500), dilansir dari bbc.com.
Ketika Industrialisasi Menimbulkan Masalah Sampah

Sistem pengelolaan sampah yang diterapkan Korea Selatan saat ini adalah hasil dari sebuah transformasi panjang yang dimulai dari sebuah masalah. Seperti diberitakan travel.detik.com, pada 1996, Korea Selatan hanya mendaur ulang 2,6 persen sampah makanannya. Namun, kini situasinya jauh berbeda.
Menurut Jang Jae-cheol, profesor Institut Pertanian di Universitas Nasional Gyeongsang, ada sekitar 4,56 juta ton sampah makanan dari rumah tangga, usaha kecil, hingga restoran yang diproses setiap tahun sejak 2022. Dari jumlah itu, 4,44 juta ton berhasil didaur ulang untuk kebutuhan lain. Apabila dihitung, angka tersebut setara dengan 97,5 persen dari total sampah makanan.
Jang menambahkan, transformasi ekonomi dan proses industrialisasi Korea Selatan pada tahun 1980-an berdampak besar terhadap masalah sampah. Kondisi ini diperburuk oleh populasi sekitar 50 juta jiwa dengan kepadatan 530 orang per kilometer persegi sehingga jumlah tempat pembuangan sampah meningkat drastis.
Protes dari warga pun memuncak, terutama karena banyak tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah berlokasi dekat area pemukiman. Mereka mengeluhkan bau tidak sedap dan pencemaran yang disebabkan oleh bercampurnya sampah makanan dengan limbah lain. Selain itu, sampah makanan yang terurai juga menghasilkan gas metana, yakni gas rumah kaca yang jauh lebih berbahaya dari karbon dioksida.
“Solidaritas kuat untuk mengatasi masalah sosial ini secara bersama-sama, ditambah kebijakan pengelolaan sampah pemerintah yang didukung upaya nasional, pada akhirnya menciptakan sistem yang kita miliki sekarang,” ungkap Jang.
Titik balik dimulai pada 1995. Korea Selatan memberlakukan sistem pembayaran sampah berdasarkan jumlah, meskipun limbah makanan belum dipisahkan dari sampah umum. Langkah lebih tegas lagi diambil oleh pemerintah pada 2005 ketika pembuangan sampah makanan di TPA secara resmi dilarang.
Delapan tahun kemudian pada 2013, pemerintah Korea Selatan menerapkan “Volume-based Waste Fee System”, yakni bentuk dari metode PAYT. Kebijakan ini berhasil menurunkan volume sampah rumah tangga hingga 30 persen hanya dalam tahun pertama penerapannya, dilansir dari envacgroup.com.
Efek kebijakan ini terasa langsung bukan hanya bagi warga asli Korea, tetapi juga dirasakan mahasiswa pertukaran pelajar asal Universitas Indonesia, Fazli Haqqi.
Baca juga: Bangsat: Tidak Hanya Ujar Makian tetapi Juga Jenis Serangga?
“Saya cukup merasakan culture shock (terkejut dengan budaya setempat) sejak hari pertama di Korea, di sini sangat disiplin dan rapi. Warganya selalu berhati-hati dalam membeli makanan, baik olahan maupun mentah. Restoran dan UMKM pun sangat waspada terhadap limbah sisa makanan maupun limbah lain agar tidak terkena biaya tambahan. Saya lihat, masyarakat sudah terbiasa memilah sampah dengan rapi, dan aturan ini dijaga ketat. Bahkan, beberapa gedung sampai diawasi CCTV,” ujar Fazli.
Kini, Korea Selatan menjadi contoh dunia soal keberhasilan mengelola sampah makanan. Menurut Ultimates, bisakah sistem PAYT diterapkan di Indonesia?
Penulis: Nasywa Agnesty
Editor: Jessie Valencia
Foto: freepik.com, bbc.com
Sumber: kumparan.com, travel.detik.com, bbc.com, envacgroup.com