SERPONG, ULTIMAGZ.com – Pernahkah Ultimates menemukan unggahan foto liburan mewah seorang selebritas di tengah krisis ekonomi yang sedang melanda masyarakat? Dalam ranah media sosial yang bergerak dengan cepat, hal ini dapat menjadi bahan sorotan. Perilaku selebritas tersebut biasanya dijuluki sebagai tone deaf.
Istilah tone deaf atau tuli nada berasal dari dunia musik yang berarti kurangnya kemampuan untuk mengikuti nada. Namun, dalam konteks sosial, kiasan ini merujuk kepada seseorang yang bertindak tidak sesuai dengan situasi sosial atau kondisi emosional yang sedang terjadi dilansir dari detik.com.
Baca juga: Arti Brave Pink dan Hero Green, Lambang 17+8 Tuntutan Rakyat!
Mengutip merdeka.com, tone deaf mulai populer digunakan dalam konteks sosial karena banyak figur publik ataupun perusahaan yang dianggap kurang berempati dengan keadaan sosial. Pengguna media sosial-lah yang akan mencetuskan konotasi tone deaf sebagai kritik sosial terhadap perilaku ketidaksensitifan terhadap suatu masalah.
Kasus nyata yang baru-baru ini terjadi dan dapat dijadikan contoh adalah pernyataan Kepala Komunikasi Kepresidenan Republik Indonesia, Hasan Nasbi, mengenai teror pengiriman kepala babi ke kantor salah satu media di Indonesia, Tempo. Hasan menanggapi pertanyaan wartawan dengan candaan “Dimasak aja lah,” mengenai kejadian tersebut. Tak hanya itu, kata “ndasmu” dan “anjing menggonggong” yang sering kali diucapkan oleh oleh Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto sebagai rujukan kepada kritik terhadapnya juga merupakan salah satu perilaku tone deaf, dilansir dari theconversation.com.
Sebagai figur publik yang diberikan kepercayaan dan pengaruh besar, penggunaan perkataan dalam berkomunikasi merupakan hal dasar yang krusial. Rasa empati menjadi hal yang fundamental untuk mendengarkan keluhan masyarakat. Sikap tone deaf yang ditunjukan oleh seseorang juga memperlihatkan kurangnya informasi dan ketidakpedulian terhadap isu sekitar.
Untuk meminimalisasi perilaku tone deaf, Ultimates dapat meningkatkan kesadaran diri dengan merefleksikan respons dari orang lain. Ultimates harus mampu menaruh diri di posisi lawan bicara, berempati, dan mencoba memahami emosi di balik perkataannya.
Selain itu, perluas wawasan terkait isu sosial yang sedang terjadi di lingkungan sekitar agar mampu menyesuaikan perilaku dalam konteks tertentu. Sisihkan sebagian waktu untuk mengobservasi interaksi sosial.
Baca juga: Yellow Boat of Hope: Mengayuh Harapan Pendidikan Anak Bangsa
Sebelum bertindak, resapkan dan refleksikan respons agar lebih sadar akan pikiran, perasaan, dan keadaan lingkungan. Refleksi yang dilakukan tidak hanya membantu untuk memahami keadaan emosional orang lain, tetapi juga keadaan emosional diri sendiri, dilansir dari liputan6.com.
Kiasan tone deaf mengingatkan betapa pentingnya empati dalam berkomunikasi. Sensitivitas untuk memahami konteks sosial dan perasaan orang lain menjadi langkah kecil yang berdampak besar di tengah kehidupan bermasyarakat. Bahkan, satu kata saja mampu meninggalkan resonansi atau keheningan penuh kritik.
Penulis: Jemima Anasya R.
Editor: Jessica Kannitha
Foto: kompas.com
Sumber: merdeka.com, theconversation.com, liputan6.com.