Masih ingat dengan gerakan mahasiswa angkatan 66 atau kerusuhan Mei 1998? Ini adalah gerakan awal yang terekspos luar biasa dalam melakukan reformasi. Ada semacam keyakinan dalam diri mahasiswa, yang mendorong mereka melakukan reformasi. Ya, keyakinan mereka sebagai agen perubahan bangsa. Mahasiswa yang memiliki pikiran visioner ini “gerah” melihat tingkah laku pemerintah yang tak mampu mengurus negeri. KKN merajalela, krisis politik yang terjadi pun mendorong mahasiswa untuk melakukan perubahan.
Awal reformasi, kunci keberhasilannya ada pada kekuatan massa. Ratusan mahasiswa dengan kompak menyuarakan pendapat mereka. Jumlah massa yang banyak berhasil menarik perhatian pemerintah. Demonstrasi menjadi cara ampuh untuk membuka pintu perubahan bagi bangsa ini. Dalam gerakan kemerdekaan Indonesia, ada dua cara yang bisa dilakukan untuk melakukan reformasi, yaitu dengan konfrontasi dan diplomasi. Tindak dari konfrontasi adalah perang, sedangkan diplomasi adalah percakapan.
Pada zaman awal reformasi, diplomasi masih belum berkembang dibanding dengan konfrontasi. Pada zaman dulu, demonstrasi termasuk dalam konfrontasi. Saat itu, mahasiswa beranggapan demonstrasi adalah cara yang paling efektif. Pada era masyarakat dapat berekpresi dengan bebas seperti sekarang ini, demonstrasi dengan turun ke jalan tak lagi efektif. Demonstrasi yang membutuhkan banyak massa, hanya dijadikan cara untuk menarik pemberitaan di media. Ya, kini zamannya media yang mendominasi.
Tolok ukur keberhasilan demonstrasi pun ada di tangan media. Demonstrasi yang tak diliput media, tidak akan kuat. Selain itu, demonstrasi itu tidak berhasil menyentil pemerintah. Tidak jarang demonstran bertindak berlebihan, dengan tujuan agar dapat diliput media. Mereka membuat lalu lintas macet, membakar fasilitas umum, atau bentrok dengan aparat kepolisian.
Para mahasiswa harus mengkedepankan akal sehat dalam menyuarakan pendapat. Reformasi memberikan nilai kepada mahasiswa generasi ini, bahwa kitalah agen perubahan bangsa. Jadilah mahasiswa yang berintelektual, bukan pragmatis. Mulailah untuk lebih aktif, karena sekarang zamannya bebas berekspresi.
Oleh Hanif Suranto – Dosen UMN
Ditulis oleh Danielisa Putriadita
Editor: Patric Batubara
Foto: Eldo C. Rafael