SERPONG, ULTIMAGZ.com — Kabar mengenai penambahan tunjangan perumahan untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Agustus lalu sontak menuai kontra publik. Dinilai tak masuk akal, total tambahan yang diterima berkisar Rp 50 juta. Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menjelaskan bahwa tunjangan tersebut diberikan lantaran anggota DPR tak lagi memiliki fasilitas perumahan di Kalibata, dikutip dari detik.com.
Menurut data kompas.id, total gaji dan tunjangan yang diterima anggota DPR per bulannya sudah terbilang besar, berkisar Rp 230 juta. Angka ini masih 105 kali lipat lebih banyak dari total Upah Minimum Regional (UMR) Jawa Tengah yang hanya sebesar Rp 2,17 juta (dibulatkan), dikutip dari metrotvnews.com. Ketimpangan ini yang membuat ratusan hingga ribuan massa berkumpul di Kompleks Parlemen Republik Indonesia dan Istana Negara, Jakarta, pada Kamis (28/08/25) lalu.
Baca juga: Isu Nasional Penuhi Bulan Kemerdekaan 2025
Massa yang berkumpul, terutama buruh, membawa tuntutan mengenai perbaikan nasib buruh yang masih bergulat dengan upah yang tidak adil. Bertajuk “Hapus Outsourcing, Tolak Upah Murah” (HOSTUM), terdapat enam tuntutan utama yang disuarakan dalam aksi demo ini yang dikutip dari kompas.com, antara lain:
- Menghapus sistem outsourcing (penyerahan sebagian pekerjaan ke perusahaan lain lewat perjanjian pemborongan dan penyediaan jasa pekerja, dikutip dari beritasatu.com),
- Menolak upah murah,
- Menuntut kenaikan upah minimum 2026 sebesar 8.5-10.5%,
- Menghentikan PHK massal dan membentuk Satgas PHK,
- Mencabut PP Nomor 35 Tahun 2021, dan
- Menjalankan reformasi pajak.
Rakyat Lagi-Lagi Jadi Korban
Aksi demo juga berlangsung serentak di 37 provinsi lainnya di depan Kantor Gubernur/Wali Kota dan Gedung DPRD wilayah masing-masing. Seruan demonstran juga merupakan akumulasi kegusaran atas kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada rakyat. Sejak awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto pada Oktober 2024, deretan kebijakan merugikan dan kasus yang tidak tuntas sudah tak dapat lagi dihitung dengan jari.
Namun, seperti biasa seruan rakyat di luar tembok keras itu lagi-lagi tidak didengar. Mengutip detik.com, terdapat surat edaran dari Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR mengenai pemberlaksanaan Work From Home (WFH) di hari yang sama saat demo berlangsung. Pada akhirnya, pola lama kembali terulang; represi dan bukan dialog.
Demonstrasi yang terdiri dari rakyat, buruh, hingga pelajar dan mahasiswa awalnya terlaksana dengan tenang dan damai. Hari semakin gelap, yang terjadi adalah ketegangan antara massa dan aparat kian menebal. Dengan tembakan gas air mata, polisi terus memukul mundur massa yang masih setia berdiri menyuarakan haknya.
Kebrutalan aparat semakin jelas terlihat lantaran banyaknya tersebar dokumentasi di media sosial. Massa dibekuk kekerasan, paramedis yang tengah menangani pasien diserang, wartawan yang sedang menjalani tugasnya dihalangi. Tak sampai di situ, puncak kemarahan warga terjadi ketika seorang pengemudi ojek online (ojol), Affan Kurniawan, kehilangan nyawanya karena dilindas oleh mobil rantis Brigade Mobile (Brimob) Polisi Daerah (Polda) Metro Jaya. Demo yang semula ditujukan pada pemerintah kini berubah menjadi tindakan represif aparat yang semakin tidak manusiawi.
Sampai detik ini, tidak hanya Affan, korban lain kerap berjatuhan akibat kekerasan aparat. Polisi, yang sejatinya menertibkan dan mengayomi, kini seakan berubah fungsi. Seperti sebuah tabiat, negara berujung pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) untuk hidup dalam setiap suara yang diserukan.
Hukum Diharap Tidak Tumpul ke Atas
Frasa “Hukum tumpul ke atas tajam ke bawah” rasanya sangat sering terdengar di negeri ini. Pasalnya, dalam proses hukum tersebut seringkali masih tidak adil bagi rakyat. Saat ini, meskipun negara mulai terlihat untuk merespons keadaan, bukan berarti sudah dan akan diselesaikan.
Tanggapan dari presiden datang cukup terlambat. Seolah menunggu demonstrasi dilakukan dan korban berjatuhan terlebih dahulu untuk mengeluarkan sebuah pernyataan resmi.
Pada Minggu (31/08/25) lewat siaran langsung Sekretariat Presiden, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto mengatakan bahwa akan dilakukan pencabutan beberapa kebijakan DPR RI, termasuk besaran tunjangan anggota DPR. Prabowo juga meminta agar pengusutan kasus pelindas Affan dapat dituntaskan secara transparan.
Namun, tuntutan rakyat tidak berhenti di situ. Akumulasi kemarahan rakyat kemudian melahirkan tuntutan “17+8”, dengan slogan “Transparansi, Reformasi, Empati”. Ini bukan tuntutan baru, melainkan bentuk tanggung jawab yang seharusnya negara bisa lakukan untuk rakyat.
Rakyat tentu tak akan langsung puas oleh sekadar lisan dan akan terus mengawal. Janji-janji yang diumbar akan terus ditagih, seiring bertambahnya kekecewaan yang tak berujung.
Banyak Narasi Pemecah Belah, Akar Masalah Masih Sama
Berita dibakarnya halte bus TransJakarta di sekitaran lokasi aksi membuat situasi makin memanas. Pembakaran yang terjadi pada Jumat (29/08/25) malam hingga Sabtu pagi, setidaknya menyebabkan tujuh halte dibakar, termasuk Halte Senen Sentral dan Halte Senayan Bank DKI. Banyak narasi terkait yang menyatakan ini disebabkan oleh anarkisme dari demonstran.
Namun, situasi seperti ini sudah pernah terjadi sebelumnya dan dicurigai mengikuti taktik yang sama dari para provokator. Situasi serupa pernah terjadi pada Halte Sarinah di 2020, di tengah aksi demo menolak Omnibus Law.
Saat itu, menurut hasil investigasi Narasi yang diunggah lewat kanal YouTube-nya pada 2020, dijelaskan bahwa tindakan membakar halte dilakukan oleh segerombolan orang yang membaur di lokasi demo, tetapi tidak ikut menyerukan demo. Diam-diam, segerombolan orang itu memicu percikan api dan dengan sengaja masuk ke dalam halte.
Tak sampai di situ, banyak provokasi lain digunakan untuk menakut-nakuti dan memecah fokus utama publik. Narasi-narasi yang beredar di media sosial penuh dengan kabar penjarahan dan serangan terhadap ras tertentu, seakan membuat pendemo dinilai sebagai perusak dan pengacau.
Membakar fasilitas umum bukanlah bentuk perjuangan rakyat. Melakukan penjarahan dan menyerang ras tertentu sangat melenceng dari tujuan awal adanya demo ini. Alih-alih fokus pada HOSTUM dan seruan lainnya, perhatian publik justru beralih dengan kerusuhan yang dibingkai.
Baca juga: Garuda Pancasila Berlatar Biru, Peringatan Darurat Demokrasi Indonesia
Dalam gelombang demonstrasi ini, terdapat sembilan korban jiwa lainnya. Menurut data dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), sebanyak 1.042 korban dilarikan ke rumah sakit di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang, Bali, Medan, dan Sorong, dikutip dari bbc.com.
Sudah semestinya negara melindungi rakyatnya. Namun, apabila para pihak atas masih gagal menjaga rakyatnya, maka saatnya sesama kita untuk saling menjaga. Jangan mudah terjebak narasi provokatif, bijak dalam mencerna informasi, dan jangan biarkan korban bermunculan kembali.
Dengan bersatu, rakyat bisa terus menuntut keadilan. Oleh karena itu, perjuangan masih panjang.
Penulis: Jesslyn Gunawan Wijaya
Editor: Kezia Laurencia
Foto: KOMPAS.COM/Ridho Danu Prasetyo
Sumber: detik.com, kompas.id, metrotvnews.com, kompas.com, beritasatu.com, tempo.co, saluran YouTube Narasi Newsroom, bbc.com