SERPONG, ULTIMAGZ.com – Sejarah revolusi Indonesia sering kali erat kaitannya dengan perjuangan tokoh-tokoh pahlawan dalam meraih kemerdekaan. Namun, di balik itu ternyata terdapat peran tak terduga. Bahkan, salah satunya mendapat stigma negatif dari banyak pihak hingga kini. Mereka adalah para pekerja seks komersial (PSK).
Melansir sindonews.com, praktik prostitusi sebenarnya sudah ada di Indonesia sejak zaman kerajaan Jawa dalam wujud selir para raja. Seiring dengan waktu, praktik ini terus berlanjut mengikuti perkembangan sejarah Indonesia.
Zaman penjajahan Belanda: Soekarno dan ‘kupu-kupu malam’
Soekarno ternyata memiliki tugas penting bagi para PSK ketika ia sedang menyebarkan pengaruhnya di Bandung. Dalam autobiografi “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, Soekarno bercerita bahwa ia dulu sering diikuti oleh pemerintah kolonial. Akhirnya, presiden pertama Indonesia ini harus kreatif untuk mencari tempat pertemuan. Rumah pelacuran menjadi salah satu tempat yang ia manfaatkan. Jika ada polisi kolonial bertanya, Soekarno akan mengaku bahwa kegiatan yang dilakukan di sana adalah pemenuhan napsu birahinya.
“Pelacur adalah mata-mata yang paling baik di dunia,” cerita Soekarno kepada penulis bukunya, Cindy Adams.
Ia lalu mengumpulkan 670 PSK untuk bekerja bagi Partai Nasional Indonesia (PNI) di Bandung. Para PSK dapat menggoda polisi Belanda agar melalaikan mereka dari tugasnya, hingga akhirnya informasi bocor ke pihak pahlawan perjuangan. Tidak hanya informasi, Soekarno juga menilai mereka sebagai penyumbang besar kepada partai karena selalu memiliki uang.
“Kupu-kupu malam ini yang jasanya diperlukan untuk mengambil bagian hanya di bidang politik, ternyata memperlihatkan hasil yang gilang gemilang pun di bidang lain,” tulisnya.
Zaman penjajahan Jepang: Pekerja Seks sebagai Solusi
Tentara Jepang pada zaman penjajahan selalu haus akan hubungan seks dan sering kali memperkosa gadis-gadis Indonesia tanpa memedulikan latar belakang.
Pada pertengahan Februari 1942, Jepang berhasil mendesak Belanda dan menguasai kota Padang. Pada saat itu, Soekarno yang sedang diasingkan di Bengkulu oleh Belanda direncanakan akan kembali ke Jawa. Untuk sampai, mereka harus melewati pelabuhan Padang. Tentara Belanda yang terkejut dengan adanya Jepang memporak-porandakan kota Padang pun sibuk menyelamatkan diri. Akhirnya, Soekarno pun ditahan oleh Jepang di Padang.
Kekejaman tentara Jepang yang tak terhindarkan sampai ke Padang, sedangkan di sana terdapat banyak perempuan suku Minangkabau yang dikenal taat beragama dan dibesarkan dengan sangat ketat.
Setelah melewati perdebatan sengit dengan ulama dan tokoh agama, Soekarno akhirnya menemukan jalan keluar dari permasalahan tersebut. Soekarno pun membuat sebuah kamp khusus di sebuah daerah terpencil dengan pagar tinggi mengelilinginya. Di sana terdapat 120 PSK yang setuju untuk didatangkan dari daerah sekitar kota Padang dan melayani kebutuhan seks tentara Jepang.
Melansir pijak.id, dalam autobiografinya, Soekarno mengutarakan, ”Maksudku, mungkin tidak baik bagi seorang pemimpin dari suatu bangsa untuk menyerahkan perempuan. Memang, aku mengetahui satu istilah untuk jenis manusia seperti itu, tetapi ini merupakan kesulitan yang serius untuk mencegah bencana yang hebat. Karena itu aku mengatasinya dengan cara yang kutahu paling baik. Hasilnya pun sangat baik. Setiap orang merasa senang dengan rencanaku itu.”
Dengan datangnya para pekerja seks tersebut, mereka berhasil menyelamatkan perempuan Minangkabau dari perkosaan dan juga menghindari terjadinya protes yang dapat menyebabkan perpecahan bangsa.
PSK Indonesia era modern: Hadapi stigma
Sedari dahulu, perempuan sering kali mendapatkan diskriminasi dan berbagai stigma dari masyarakat luas. Menurut peneliti Estu Fanani dari The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) Working Group, praktik diskriminasi terhadap perempuan banyak terjadi dalam berbagai bidang, salah satunya dalam bidang sosial dan budaya.
Hari-hari ini, pekerja seks dan kegiatan prostitusi mendapat stigma yang erat kaitannya dengan perlakuan buruk seorang perempuan.
Contoh nyatanya terdapat dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Tangerang No. 8/2005 tentang pelarangan pekerja seks. Pasal 4 Perda tersebut menyatakan bahwa, “Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pekerja seks dilarang berada di beberapa tempat seperti jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di Daerah Kota Tangerang.”
Padahal, setiap manusia memiliki hak asasi yang membebaskan masing-masing orang untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Termasuk juga, perempuan yang berhak memiliki kendali penuh atas tubuhnya sehingga pekerjaan pekerja seks tidak seharusnya mendapatkan sentimen dari banyak pihak. Selama seorang manusia tidak merugikan sesamanya, sudah seharusnya masyarakat memberikan pandangan yang setara kepada semua orang, tidak mempedulikan apa pekerjaannya.
Pekerja seks juga erat kaitannya dengan kata hina dan tidak bermoral, padahal dahulu mereka memiliki peran yang penting dalam membantu memerdekakan bangsa Indonesia.
Dalam bulan kemerdekaan ini, penting untuk membuka mata dan belajar, pekerja seks juga merupakan manusia pada umumnya yang memiliki hati, pikiran, dan harga diri. Pekerja seks tidak pantas mendapatkan hinaan, sinisme, dan pandangan buruk.
Penulis: Keisya Librani Chandra, Nadia Indrawinata
Editor: Maria Helen Oktavia, Andi Annisa I P
Sumber: Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat, National Geographic, Grid.id, Historia.id, Pijak.id, Tirto.id, Kompas.com.