Belakangan ini, media massa dan media sosial di Indonesia ramai membicarakan masa orientasi atau ospek, baik di sekolah maupun di perguruan tinggi (PT). Kegiatan tahunan hampir di seluruh institusi pendidikan ini tak hentinya menjadi sorotan. Mulai dari sindiran lewat meme yang tersebar di situs jejaring sosial, banding membandingkan antara ospek di dalam negeri dan luar negeri, penolakan terhadap ospek yang tidak manusiawi, hingga ospek yang sampai menghilangkan nyawa.
Refleksi ingatan sedikit, masih ingat mahasiswa Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang yang tewas saat ospek tahun 2013 lalu? Fikri Dolasmantya Surya, korban, disiksa seniornya hingga tewas hanya karena membuang nasi saat makan bersama.
Menanggapi soal kekerasan dalam ospek yang kerap terjadi di perguruan tinggi, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir kemudian melarang segala bentuk ospek yang mengandung unsur kekerasan atau perploncoan.
Belum lagi soal atribut ospek. Belum lama, Mendikbud Anies Baswedan datang ke sekolah-sekolah untuk melihat proses masa orientasi. Hasilnya? “Tolong itu (atribut) dicabut karena itu tidak ada nilai mendidiknya dan buka alat komunikasi,” perintah Anies, seperti dikutip dari detik.com, saat melihat pita di kepala dan name tag dari karton yang dikalungkan di dada.
Terjadi pergeseran makna
Jika melihat sejarahnya, ternyata tradisi ospek sudah ada sejak zaman kolonial, tepatnya pertama kali di STOVIA atau Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (1898-1927). Di Indonesia ospek pertama kali diperkenalkan oleh kampus yang dulu bernama Technische Hoogeschool (TH) atau yang sekarang dikenal dengan ITB (Institut Teknologi Bandung).
Pada awalnya TH hanya menerima orang Belanda saja, selanjutnya mulai masuk kaum pedagang Tiongkok hingga pada akhirnya mahasiswa pribumi diizinkan untuk bersekolah di TH. Karena bangsa Belanda merasa dirinya lebih tinggi derajatnya akan mahasiswa pribumi maka senior melakukan perploncoan terhadap mahasiswa baru atau seorang pribumi dalam bentuk pemainan olok-olok. Hal ini semata untuk menunjukan bahwa bangsa Belanda berada di atas segalanya dari pribumi.
Telah terjadi pergeseran makna akan ospek yang awalnya untuk memperkenalkan kehidupan akademik menjadi ajang olok-olok yang keterusan hingga pada kekerasan dan tindakan tidak manusiawi. Kini, era telah berubah. Bukan zamannya lagi perploncoan dan penindasan macam ancaman, teror atau kekerasan fisik.
Untuk itu, ospek harus dikembalikan pada fungsi aslinya. Ospek harus berkembang ke arah yang lebih baik, inspiratif, dan bermartabat. Sebagai contoh, ospek yang dilakukan mahasiswa Nanyang Technology University (NTU), Singapura. Mahasiswa baru bersama dengan seniornya turun ke jalan untuk melancarkan kegiatan yang diberi nama Kindness Campaign. Setiap dari mereka diminta untuk membuat 30 orang bahagia dengan cara tos memberi semangat, membantu bersih-bersih stasiun, terminal dan toilet umum. Mereka juga membantu para pekerja yang sudah manula. Kejadian itu hanya contoh sederhana yang menggambarkan bahwa ospek itu bisa menginspirasi banyak orang, berbagi kebahagiaan, bermartabat dan tentunya secara tidak langsung menanamkan nilai-nilai luhur.
Generasi telah berganti, penyelenggaraan ospek pun harus dimodifikasi. Oleh karena itu menjadi penting untuk mengenal siapa peserta ospeknya. Penyelenggara ospek tentunya harus tahu seperti apa karakter generasi muda sekarang.
Sebuah riset yang dibuat lembaga konsultan pengembangan karakter asal Amerika Serikat, Princeton One, menunjukan bahwa generasi sekarang (generasi Y) adalah generasi yang lebih kreatif, memiliki kepercayaan diri yang baik, ambisius dan berani menyuarakan pendapat secara terbuka, bebas dan fair. Ini berarti, ospek disetiap perguruan tinggi harusnya menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan generasi.
Penyelenggara ospek harus mampu bersikap fleksibel, kreatif, dan inspiratif. Memang tidak mudah, namun dengan kepercayaan dan kerja sama tentu bukan tidak mungkin. Ospek yang modern harus berorientasi pada pemahaman nilai yang positif. Melalui ospek calon mahasiswa harus diajak untuk menjadi bagian dari susunan komunitas akademik. Bukan malah sebaliknya, menjadikan mereka merasa dikerdilkan, direndahkan dan ditindas. Buat mereka menjadi lebih bermartabat dan memiliki rasa empati yang tinggi. Perlakukan mereka layaknya manusia yang dimanusiakan.
Yang terpenting dan sebagai penutup tulisan ini, peran komunikasi sangatlah penting. Pesan yang ingin disampaikan harus kontekstual sesuai nilai-nilai akademik dan perilaku yang luhur. Gunakan kata-kata yang membangun seperti pemberian dukungan, semangat dan ajakan yang positif. Bukan malah bertindak represif, feodal, dan tiran seperti halnya diktator.
Albertus Magnus Prestianta
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Multimedia Nusantara