• About Us
  • Privacy Policy
  • Redaksi
  • Advertise & Media Partner
  • Kode Etik
Friday, November 28, 2025
No Result
View All Result
ULTIMAGZ
  • Beranda
  • Info Kampus
    • Berita Kampus
    • Indepth
  • Hiburan
    • Film
    • Literatur
    • Musik
    • Mode
    • Jalan-jalan
    • Olahraga
  • Review
  • IPTEK
  • Lifestyle
  • Event
  • Opini
  • Special
    • FOKUS
    • PDF
  • Artikel Series
  • Ultimagz Foto
  • Beranda
  • Info Kampus
    • Berita Kampus
    • Indepth
  • Hiburan
    • Film
    • Literatur
    • Musik
    • Mode
    • Jalan-jalan
    • Olahraga
  • Review
  • IPTEK
  • Lifestyle
  • Event
  • Opini
  • Special
    • FOKUS
    • PDF
  • Artikel Series
  • Ultimagz Foto
No Result
View All Result
ULTIMAGZ
No Result
View All Result
Home Opini

Not All Men: Antara Pembelaan Diri atau Pengabaian Realita?

Jemima Anasya Rachman by Jemima Anasya Rachman
November 24, 2025
in Opini
Reading Time: 4 mins read
not all men

Ilustrasi kesetaraan gender dan konsep gender. (Freepik.com)

0
SHARES
24
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

SERPONG, ULTIMAGZ.com –  Not all men menjadi komentar yang sering muncul setiap kali terdapat berita tentang kekerasan seksual terhadap perempuan di kolom komentar media sosial. Sekilas terkesan sederhana seolah ingin menegaskan bahwa tidak semua laki-laki bersalah. 

Namun, di balik kalimat singkat tersebut, terselip percakapan panjang tentang empati, pembelaan diri, dan cara masyarakat memandang ketidaksetaraan gender. Frasa not all men lahir dari niat meluruskan persepsi ini justru sering memicu perdebatan.

Baca juga: Aksi Massa dan Perubahan Dinamika Demokrasi Indonesia 

Kasus Sarah Everard dan Meledaknya #NotAllMen

Berawal pada Maret 2021, ribuan kisah kekerasan seksual pribadi dibagikan di media sosial sebagai tanggapan atas kasus pembunuhan Sarah Everard. Ia diperkosa dan dibunuh oleh polisi Inggris ketika sedang berjalan ke rumahnya di London pada 3 Maret 2021 silam. 

Wayne Couzens berdalih bahwa Everard melanggar aturan Covid-19 dan menggunakan identitasnya sebagai polisi untuk membujuk Everard masuk ke mobilnya. Pada akhirnya, Couzens memperkosa dan mencekik Everard dengan sabuk polisinya, dilansir dari news.detik.com. 

Dari kasus Everard, perempuan yang telah mengalami kekerasan seksual merasa tidak aman dan takut saat berada di jalanan. Oleh karena itu, laki-laki diminta pertanggungjawaban untuk mengatasi budaya misoginis yang mendukung kekerasan seksual terhadap perempuan. Pada 10 Maret 2021 atau dua hari setelah polisi menemukan jasad Everard, #NotAllMen menjadi populer di aplikasi X yang sebelumnya bernama Twitter (Jones et al., 2022). 

Kasus pembunuhan Sarah Everard menunjukkan betapa rentannya perempuan di ruang publik. Ketika pelaku adalah seorang polisi, tagar #NotAllMen justru trending sebagai respons defensif, alih-alih empati terhadap meningkatnya ketakutan perempuan.

Dampak Rasa Takut Perempuan di Ruang Publik

Riset ilmiah kemudian menunjukkan bahwa pengalaman perempuan selama dan setelah kasus tersebut bukanlah reaksi berlebihan. Studi ScienceDirect menemukan bahwa perempuan yang pernah mengalami pelecehan atau kekerasan seksual menunjukkan peningkatan rasa takut di ruang publik, bahkan pada situasi yang secara objektif dianggap aman. Dengan kata lain, rasa takut perempuan bersifat berbasis bukti, bukan emosional semata (Jones et al., 2022). 

Kekhawatiran perempuan juga didukung oleh data global. Menurut laporan World Health Organization (WHO) pada 2021, satu dari tiga perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual sepanjang hidupnya, sebagian besar oleh laki-laki yang mereka kenal. Angka ini mencerminkan mekanisme yang sistemik, dilansir dari who.int .

Fenomena #NotAllMen tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya patriarki. Dalam masyarakat patriarkis, kenyamanan laki-laki sering diprioritaskan dibanding keamanan perempuan. Kritik terhadap struktur sosial kerap dianggap sebagai serangan personal sehingga laki-laki cenderung defensif. Padahal, yang dibahas bukan identitas laki-laki secara individual, melainkan pola sosial bahwa kekerasan mungkin terjadi.

Kasus Dominique Pelicot: Kekerasan yang Tersistem

Kasus ekstrem seperti Dominique Pelicot di Prancis memperkuat gambaran tersebut. Selama hampir satu dekade, Pelicot membius istrinya agar lebih dari 90 laki-laki memperkosanya. Lebih mencengangkan lagi, sebagian besar laki-laki yang mengetahui atau terlibat dalam kasus itu tidak melapor. Ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual tidak selalu berlangsung dalam ruang privat, tetapi kerap didukung oleh pembiaran sosial, dilansir dari bbc.com.

Tagar tersebut menjadi bentuk kritikkan terhadap posisi gender dan kerugiannya  terhadap perempuan yang tertindas. Meskipun perempuan kerap mengemukakan kebenciannya terhadap laki-laki, tagar ini menunjukkan bahwa perasaan itu tidak ditujukan pada keseluruhan laki-laki. Ketika berbicara mengenai ketakutan mayoritas, perempuan membahas tren dan statistik. Namun, dengan adanya respons defensif, pembicaraan penting tentang perlindungan dan kebijakan publik justru terhenti, dilansir dari unwomen.org. 

Upaya yang Dapat Diterapkan

Studi wacana kontemporer menunjukkan bahwa frasa seperti “not all men” termasuk bentuk pengalihan fokus dari pengalaman korban menuju pembelaan diri pihak lain. Pola ini sudah diidentifikasi dalam banyak komunikasi dan gender modern, termasuk analisis mengenai pergeseran fokus narasi dalam isu kekerasan berbasis gender. Dalam laporan resmi United Nation Women, dijelaskan bahwa respons-respons defensif dalam percakapan tentang kekerasan gender dapat memperlemah suara perempuan, menghambat pelaporan, dan mengurangi kepekaan masyarakat terhadap risiko kekerasan, dilansir dari who.int.

Mengutip who.int, laki-laki perlu mengambil peran yang lebih empatik. Hal ini tidak berarti menanggung kesalahan kolektif, tetapi mengakui bahwa mereka berada dalam posisi strategis untuk menciptakan ruang yang lebih aman .

Pada akhirnya, perdebatan “not all men” menegaskan satu hal penting: masalah kekerasan berbasis gender bukan semata soal individu, melainkan soal struktur sosial dan norma yang memungkinkan perilaku itu terus berlangsung.

Oleh karena itu, dari pada merespons keluhan perempuan dengan pembelaan diri, laki-laki sebaiknya beralih ke peran konstruktif. Hal ini dapat direalisasikan dengan cara mendengarkan tanpa defensif, menentang norma seksis, dan mendukung kebijakan pencegahan. 

Baca juga: Pengalihan Isu: Trik Lama Wajah Baru Politik Indonesia

Adapun kerangka RESPECT dari WHO yang menekankan pentingnya edukasi hingga transformasi norma sosial. Kerangka ini menjadi peta jalan yang praktis dan terbukti untuk mencegah kekerasan, dilansir dari fctc.who.int. 

Dengan empati dan tindakan nyata, Ultimates bisa bergerak menuju masyarakat yang memfasilitasi perempuan untuk hidup tanpa rasa takut. “Not all men” kini bukan lagi ancaman karena banyak orang mulai peduli untuk menjadikan lingkungan aman.

 

 

Penulis: Jemima Anasya R.

Editor: Jessie Valencia

Foto: freepik.com. 

Sumber: news.detik.com, fctc.who.int, unwomen.org, bbc.com, who.int

Jones, L., Mackenzie, J., Mullany, L., & Chatupnik, M. (2022). ‘STFU and start listening to how scared we are’: Resisting misogyny on Twitter via #NotAllMen. Discourse, Context & Media, 47.

Tags: anti kekerasanfeminismehak perempuanhari anti kekerasan perempuanIsu Perempuankeamanan perempuankebutuhan perempuankegelisahan perempuankekerasan pada perempuankekerasan seksual
Jemima Anasya Rachman

Jemima Anasya Rachman

Related Posts

Demonstran menghadapi kepolisian di Jakarta pada Senin (25/8/2025). (tirto.id)
Opini

Aksi Massa dan Perubahan Dinamika Demokrasi Indonesia

September 11, 2025
Potret yang menggambarkan pengalihan isu (indonesiana.id)
Iptek

Pengalihan Isu: Trik Lama dalam Wajah Baru Politik Indonesia

September 8, 2025
Para demonstran buruh di depan Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (28/08/25). (KOMPAS.com/Ridho Danu Prasetyo)
Opini

Antara Rakyat, Pemerintah, dan Aparat: Saat Aspirasi Berujung Represi

September 9, 2025
Next Post
Gerakan Chipko

Ketika Pelukan Menjadi Perlawanan, Inilah Kisah Gerakan Chipko

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twenty − 5 =

Popular News

  • wawancara

    Bagaimana Cara Menjawab Pertanyaan ‘Klise’ Wawancara?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Risa Saraswati Ceritakan Kisah Pilu 5 Sahabat Tak Kasat Matanya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Ivanna Van Dijk Sosok Dari Film ‘Danur 2 : Maddah’

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gading Festival: Pusat Kuliner dan Rekreasi oleh Sedayu City

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Merasa Depresi? Coba Cek 4 Organisasi Kesehatan Mental Ini!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Pages

  • About Us
  • Advertise & Media Partner
  • Artikel Terbar-U
  • Beranda
  • Kode Etik
  • Privacy Policy
  • Redaksi
  • Ultimagz Foto
  • Disabilitas

Kategori

About Us

Ultimagz merupakan sebuah majalah kampus independen yang berlokasi di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Ultimagz pertama kali terbit pada tahun 2007. Saat itu, keluarga Ultimagz generasi pertama berhasil menerbitkan sebuah majalah yang bertujuan membantu mempromosikan kampus. Ultimagz saat itu juga menjadi wadah pelatihan menulis bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) UMN dan non-FIKOM.

© Ultimagz 2021

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Info Kampus
    • Berita Kampus
    • Indepth
  • Hiburan
    • Film
    • Literatur
    • Musik
    • Mode
    • Jalan-jalan
    • Olahraga
  • Review
  • IPTEK
  • Lifestyle
  • Event
  • Opini
  • Special
    • FOKUS
    • PDF
  • Artikel Series
  • Ultimagz Foto

© Ultimagz 2021