SERPONG, ULTIMAGZ.com – Not all men menjadi komentar yang sering muncul setiap kali terdapat berita tentang kekerasan seksual terhadap perempuan di kolom komentar media sosial. Sekilas terkesan sederhana seolah ingin menegaskan bahwa tidak semua laki-laki bersalah.
Namun, di balik kalimat singkat tersebut, terselip percakapan panjang tentang empati, pembelaan diri, dan cara masyarakat memandang ketidaksetaraan gender. Frasa not all men lahir dari niat meluruskan persepsi ini justru sering memicu perdebatan.
Baca juga: Aksi Massa dan Perubahan Dinamika Demokrasi Indonesia
Kasus Sarah Everard dan Meledaknya #NotAllMen
Berawal pada Maret 2021, ribuan kisah kekerasan seksual pribadi dibagikan di media sosial sebagai tanggapan atas kasus pembunuhan Sarah Everard. Ia diperkosa dan dibunuh oleh polisi Inggris ketika sedang berjalan ke rumahnya di London pada 3 Maret 2021 silam.
Wayne Couzens berdalih bahwa Everard melanggar aturan Covid-19 dan menggunakan identitasnya sebagai polisi untuk membujuk Everard masuk ke mobilnya. Pada akhirnya, Couzens memperkosa dan mencekik Everard dengan sabuk polisinya, dilansir dari news.detik.com.
Dari kasus Everard, perempuan yang telah mengalami kekerasan seksual merasa tidak aman dan takut saat berada di jalanan. Oleh karena itu, laki-laki diminta pertanggungjawaban untuk mengatasi budaya misoginis yang mendukung kekerasan seksual terhadap perempuan. Pada 10 Maret 2021 atau dua hari setelah polisi menemukan jasad Everard, #NotAllMen menjadi populer di aplikasi X yang sebelumnya bernama Twitter (Jones et al., 2022).
Kasus pembunuhan Sarah Everard menunjukkan betapa rentannya perempuan di ruang publik. Ketika pelaku adalah seorang polisi, tagar #NotAllMen justru trending sebagai respons defensif, alih-alih empati terhadap meningkatnya ketakutan perempuan.
Dampak Rasa Takut Perempuan di Ruang Publik
Riset ilmiah kemudian menunjukkan bahwa pengalaman perempuan selama dan setelah kasus tersebut bukanlah reaksi berlebihan. Studi ScienceDirect menemukan bahwa perempuan yang pernah mengalami pelecehan atau kekerasan seksual menunjukkan peningkatan rasa takut di ruang publik, bahkan pada situasi yang secara objektif dianggap aman. Dengan kata lain, rasa takut perempuan bersifat berbasis bukti, bukan emosional semata (Jones et al., 2022).
Kekhawatiran perempuan juga didukung oleh data global. Menurut laporan World Health Organization (WHO) pada 2021, satu dari tiga perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual sepanjang hidupnya, sebagian besar oleh laki-laki yang mereka kenal. Angka ini mencerminkan mekanisme yang sistemik, dilansir dari who.int .
Fenomena #NotAllMen tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya patriarki. Dalam masyarakat patriarkis, kenyamanan laki-laki sering diprioritaskan dibanding keamanan perempuan. Kritik terhadap struktur sosial kerap dianggap sebagai serangan personal sehingga laki-laki cenderung defensif. Padahal, yang dibahas bukan identitas laki-laki secara individual, melainkan pola sosial bahwa kekerasan mungkin terjadi.
Kasus Dominique Pelicot: Kekerasan yang Tersistem
Kasus ekstrem seperti Dominique Pelicot di Prancis memperkuat gambaran tersebut. Selama hampir satu dekade, Pelicot membius istrinya agar lebih dari 90 laki-laki memperkosanya. Lebih mencengangkan lagi, sebagian besar laki-laki yang mengetahui atau terlibat dalam kasus itu tidak melapor. Ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual tidak selalu berlangsung dalam ruang privat, tetapi kerap didukung oleh pembiaran sosial, dilansir dari bbc.com.
Tagar tersebut menjadi bentuk kritikkan terhadap posisi gender dan kerugiannya terhadap perempuan yang tertindas. Meskipun perempuan kerap mengemukakan kebenciannya terhadap laki-laki, tagar ini menunjukkan bahwa perasaan itu tidak ditujukan pada keseluruhan laki-laki. Ketika berbicara mengenai ketakutan mayoritas, perempuan membahas tren dan statistik. Namun, dengan adanya respons defensif, pembicaraan penting tentang perlindungan dan kebijakan publik justru terhenti, dilansir dari unwomen.org.
Upaya yang Dapat Diterapkan
Studi wacana kontemporer menunjukkan bahwa frasa seperti “not all men” termasuk bentuk pengalihan fokus dari pengalaman korban menuju pembelaan diri pihak lain. Pola ini sudah diidentifikasi dalam banyak komunikasi dan gender modern, termasuk analisis mengenai pergeseran fokus narasi dalam isu kekerasan berbasis gender. Dalam laporan resmi United Nation Women, dijelaskan bahwa respons-respons defensif dalam percakapan tentang kekerasan gender dapat memperlemah suara perempuan, menghambat pelaporan, dan mengurangi kepekaan masyarakat terhadap risiko kekerasan, dilansir dari who.int.
Mengutip who.int, laki-laki perlu mengambil peran yang lebih empatik. Hal ini tidak berarti menanggung kesalahan kolektif, tetapi mengakui bahwa mereka berada dalam posisi strategis untuk menciptakan ruang yang lebih aman .
Pada akhirnya, perdebatan “not all men” menegaskan satu hal penting: masalah kekerasan berbasis gender bukan semata soal individu, melainkan soal struktur sosial dan norma yang memungkinkan perilaku itu terus berlangsung.
Oleh karena itu, dari pada merespons keluhan perempuan dengan pembelaan diri, laki-laki sebaiknya beralih ke peran konstruktif. Hal ini dapat direalisasikan dengan cara mendengarkan tanpa defensif, menentang norma seksis, dan mendukung kebijakan pencegahan.
Baca juga: Pengalihan Isu: Trik Lama Wajah Baru Politik Indonesia
Adapun kerangka RESPECT dari WHO yang menekankan pentingnya edukasi hingga transformasi norma sosial. Kerangka ini menjadi peta jalan yang praktis dan terbukti untuk mencegah kekerasan, dilansir dari fctc.who.int.
Dengan empati dan tindakan nyata, Ultimates bisa bergerak menuju masyarakat yang memfasilitasi perempuan untuk hidup tanpa rasa takut. “Not all men” kini bukan lagi ancaman karena banyak orang mulai peduli untuk menjadikan lingkungan aman.
Penulis: Jemima Anasya R.
Editor: Jessie Valencia
Foto: freepik.com.
Sumber: news.detik.com, fctc.who.int, unwomen.org, bbc.com, who.int
Jones, L., Mackenzie, J., Mullany, L., & Chatupnik, M. (2022). ‘STFU and start listening to how scared we are’: Resisting misogyny on Twitter via #NotAllMen. Discourse, Context & Media, 47.





