SERPONG, ULTIMAGZ.com – Leicester City telah menorehkan sejarah di Liga Primer Inggris dengan merengkuh gelar juara pertama dalam 132 tahun berdirinya tim. Namun yang hebatnya,”Si Rubah” yang dikomandoi pelatih Claudio Ranieri ini sukses menjungkirbalikkan logika dalam sepak bola. Leicester menjadi klub berbiaya rendah pertama di era modern Liga Premier Inggris sejak 1992 yang mampu meraih gelar prestisius itu. Tak hanya itu, sejumlah faktor kesuksesan Leicester lainnya juga terbilang menakjubkan.
Klub yang harga pemainya hanya seperlima dari Manchester City dan Manchester United itu mengoyak tatanan kemapanan tim-tim Liga Ingggris lainnya. Harga seluruh skuad Leicester masih lebih murah dibandingkan dengan harga gelandang City Kevin de Bruyne, yang dibeli dari Wolfsburg dengan harga transfer 55juta Poundsterling, atau setara 1triliun Rupiah. Selain itu, 14 pemain yang menjadi skuad inti Leicester juga hanya menghabiskan dana kurang dari 30juta Pounds, atau setara 557miliar Rupiah.
Hampir tidak ada pemain bintang berharga tinggi di Leicester. Anggaran gaji tim yang dua musim lalu masih bermain di Divisi Championship atau kasta kedua Liga Inggris ini, terkecil dari 20 tim di Liga Primer Inggris.
Sebelumnya, hanya klub-klub yang kaya yang bisa meraih mahkota Liga Inggris. Sekali dalam 50 tahun, tim-tim dengan dana minim seperti Leicester mampu melewati para tim raksasa, seperti Chelsea, City, United, Arsenal, Liverpool, dan Tottenham Hotspur.
Sebelumnya, Nottingham Forest juga pernah menjadi contoh klub yang paling sukses setelah menjuarai Liga Inggris pertamanya pada musim 1977/78. Tim asuhan pelatih Brian Clough itu kemudian menjuarai Liga Champions dua musim beruntun, yakni pada 1978/79 dan 1979/80.
Kesuksesan Leicester tak terlepas dari kebugaran para pemain. Entah kebetulan atau tidak, nyatanya musim ini Leicester adalah tim yang paling minim dilanda cedera pemain. Hal itu membuat para pemain, seperti Jamie Vardy dan Riyadh Mahrez, konsisten tampil di medan laga. Pemain inti Leicester bermain kurang lebih 92 persen dari semua laga Liga Primer Inggris musim ini, persentase tertinggi ketimbang klub-klub lainya.
Tak heran, mereka sanggup mengatasi tekanan besar saat melawan tim-tim besar di Liga Inggris.
Namun mengingat keikutsertaan kompetisi lainnya, Leicester memang tak sebanding dengan tim-tim besar seperti City, United, Hotspurs, Liverpool, Arsenal, dan Chelsea yang tidak hanya bermain di satu kompetisi, melainkan tiga lainnya; Piala FA, Capital One, dan liga Eropa (Champions dan Eropa).
Apalagi mengingat pada Piala FA musim ini, Leicester hanya berlaga sampai di babak ketiga setelah disingkirkan Hotspurs, dan hanya sampai perempat final di Capital One, setelah disingkirkan oleh City.
Keenam tim tersebut, yang ingn tampil maksimal di seluruh kompetisi, justru harus melakukan rotasi pemain. Bahkan, City rela kalah pada satu pertandingan di Liga Primer Inggris dengan tidak menurunkan skuad inti, guna lolos di berbagai babak di kompetisi lain.
Maka itu, secara tidak langsung, Leicester hanya fokus pada satu kompetisi, yakni Liga Primer Inggris. Sehingga Ranieri tak perlu khawatir akan kebugaran dan melakukan banyak rotasi pemainnya. Tentunya, hanya berfokus pada satu kompetisi akan menjauhkan para pemain dari cedera.
Dilihat dari sisi teknis, serangan Leicester dinilai cukup efektif. The Foxes kerap membiarkan lawannya menguasai bola dan menekan terbelih dahulu. Setelah itu, mereka memukul lawan dengan serangan balik.
Pertahanan mereka pun dapat dibilang kolektif. Pasalnya, hampir setiap pemain turun untuk membantu pertahanan, sembari bersiap melancarkan serangan balik cepat. Ranieri menerapkan formasi 4-4-2 dengan skuad inti yang kerap sama, sehingga adanya konsistensi dalam permainan.
Dengan menjuarai Liga Primer Inggris musim ini, Leicester akan menapaki era baru, dengan tampil di Liga Champions musim depan. Kini, Leicester diharap mampu mengikuti jejak kesuksesan Nottingham Forest di kancah eropa. Dan kini, The Foxes menjadi alarm bagi klub-klub raksasa Eropa, seperti Real Madrid, Barcelona, dan Bayern Munchen.
Penulis : Christoforus Ristianto
Editor : Alif Gusti Mahardika
Sumber : Telegraph/BBC/CNN/ESPN