NEW YORK, ULTIMAGZ.com — Film independen tetap menjadi salah satu komponen akar keberadaan industri dunia hiburan hingga saat ini. Kehadiran A24 telah membangkitkan kembali marwah independensi sineas sejak tahun 2012.
Perusahaan dunia hiburan memang rumit dimengerti. Pemilik rumah produksi akan terus berusaha menggaet pasar dengan segala cara.
Banyak hal dicicipi demi ambisi produser, yakni dengan membuat sekuel, prekuel, remake, spinoff, reboot, sampai cross-over yang ceritanya terus diulang-ulang. Pengulangan cerita terkadang dilakukan tanpa ada makna kepentingan atau memikirkan relevansi estetika bercerita.
Contohnya, film Avengers yang mempertemukan segala jenis pahlawan super (dalam istilah industri disebut cross-over) dan monopoli produksi film Fast and Furious yang berjilid-jilid. Kedua film tersebut merupakan cerminan keuntungan ratusan juta dollar yang jatuh ke tangan para produser.
Lain cerita dengan perusahaan privat dunia hiburan yang didirikan oleh Daniel Katz, David Fenkel, and John Hodges pada tahun 2012. Ialah A24 Films yang awal berdirinya bermarkas di New York, Amerika Serikat.
Lahir lima tahun yang lalu, A24 pertama kali menandai titik awal pertempurannya di industri film dengan perilisan A Glimpse Inside the Mind of Charles Swan III, hasil karya Roman Coppola. Pada tahun pertamanya, perusahaan independen tersebut merilis setidaknya empat film, antara lain Ginger & Rosa, Spring Breakers, The Bling Ring, dan The Spectacular Now.
Citra Independen di Film Mayor Produksi A24
Film independen didefinisikan sebagai karya produksi dihasilkan berdasarkan kepentingan, relasi, relevansi, dan keinginan sang sineas. Hal itu berhubungan dengan cara penyampaian sebuah cerita umum atau yang mengangkat persoalan sekitar.
Definisi yang luas itu tidak bisa dipagari. Semua memiliki porsi masing-masing. Pesan moral cerita dapat diangkat melalui unsur komedi, romantika, garang, sains fiksi, klenik, hingga drama picisan.
Cara apa saja lumrah dilakukan. Tidak ada karya seni yang salah, semua kembali kepada bagaimana keinginan penikmat melihat atau permasalahan selera individu.
A24 terus berupaya hadir menyajikan cerita-cerita yang terang bersemangat, garang namun berbekas, dan tak ayal selalu mengukur relasi sangkut paut dengan penontonnya.
Sebut saja film terakhir yang membawa pulang tiga piala Oscar termasuk Best Picture tahun 2017 lalu, Moonlight. Digarap dengan hanya empat juta dollar Amerika, namun secara genius mengangkat berbagai isu dalam satu judul.
Barry Jenkins dan Tarell Alvin McCraney menelaah setiap isu sosial yang dimasukkan dengan begitu jeli. Mulai dari keberadaan kulit hitam di Amerika, permasalahan ruang privat keluarga, hak asuh, homoseksualitas, penindasan dan diskriminasi, hingga jalan romantika yang tidak biasa.
Dalam hal ini, A24 telah mendukung independensi sang sutradara Jenkins, di mana penaruhan kepentingan masalah dan relasi cerita memiliki presentase yang sangat tinggi di masyarakat.
Cerita sejenis inilah yang kita butuhkan. Vivid and real.
Persoalan laku atau tidak laku di pasar, itu sudah bukan urusan pembuat film. Yang ada di benak independensi Barry Jenkins hanyalah bercermin, melihat situasi, dan bercerita tentang isu persoalan yang penting.
Pada akhirnya, A24 terbukti memberi dukungan untuk para sutradara visioner, salah satunya untuk cerita Barry Jenkins, yang memiliki kebebasan dalam berkarya terlepas dari kepentingan pasar.
Selain Barry bernasib baik, A24 telah membukakan pintu bagi para sineas pendatang dan independen lainnya, seperti Greta Gerwig (Lady Bird, 2017), Bo Burnham (Eighth Grade, 2018), David Lowery (A Ghost Story, 2017), dan beberapa deretan sineas lain yang didukung tiap tahunnya.
Nasib Selera yang Telah Didoktrinasi
Penonton memang punya pegangan terkuat sebagai arus dukungan secara finansial di industri dunia hiburan. Pun, A24 tetap berdiri hingga saat ini dikarenakan masih banyak pencinta film bertutur atau para pecandu (disebut cinephile).
Nasib selera pasar memang kadang menjadi hambatan, namun bukan berarti akhir dari cerita. Glamornya dunia hiburan yang dipenuhi karya-karya yang tidak memiliki visi tersebut, menjadikan pacuan untuk para sineas independen.
Doktrinasi selera utama penonton memang mayoritas datang dari film dengan anggaran dana besar, seperti salah satunya studio-studio kenamaan yang mengadaptasi komik menjadi film.
Pun, tidak ada salahnya, hanya memang target pasar yang begitu luas menjadikan ranah film independen di hati para calon penikmat terbilang minim atau dalam istilah mengumpat di balik tirai. Sedangkan, di depan tirai selalu didominasi oleh film-film blockbuster.
Kembali, masalah selera yang tidak akan bisa ditebak. Setiap orang punya selera sampai hak untuk memilih film yang ingin mereka tonton. Dan itu tidak bisa diatur oleh siapa pun, itu adalah hak individu.
Terlepas dari pilihan penonton dan doktrinasi selera, sineas hanya bisa melakukan tugasnya, yakni bercerita lewat karya dan berupaya untuk terus membangun relasi dengan penonton lewat kisah yang memiliki visi.
Penulis: Felix
Editor: Hilel Hodawya
Foto: Felix