JAKARTA, ULTIMAGZ.com – Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga (RUU KK) merupakan salah satu Program Legalisasi Nasional Dewan Perwakilan Rakyat (Prolegnas DPR) Prioritas pada tahun ini. Pembentukan RUU KK bertujuan untuk memperbaiki kondisi keluarga yang ada di Indonesia. Namun, beberapa pasal dalam RUU tersebut dinilai membatasi perempuan dalam ranah domestik.
Pasal yang menjadi sorotan dalam RUU KK adalah pembagian kerja antara suami dan istri yang hendak diatur oleh negara. Dalam pasal 25 ini, masyarakat menganggap pemerintah menahan perempuan untuk bergerak bebas dan berperan di ranah domestik. Perempuan di tempatkan sebagai pelayan suami, anak, keluarga, masyarakat, dan negara.
Rizqika Arrum, salah satu anggota dalam gerakan kolektif Suara Baru Perempuan (SBP) mengatakan bahwa lewat RUU KK, negara berusaha memberikan definisi absolut bagi keluarga di Indonesia agar angka perceraian menurun. Sementara itu, perceraian dapat terjadi karena ada Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan aspek lainnya yang menekan perempuan dalam keluarga.
“Definisi keluarga sendiri yang disebutkan mereka (pemerintah) tidak jelas. Keluarga di Indonesia itu ada beragam ras, suku, dan gender. Persoalannya adalah ketika terjadi perceraian, belum tentu tentang soal tahu atau tidak hak masing-masing (setelah menikah), tetapi KDRT dan beberapa aspek lainnya juga termasuk faktor yang menekan perempuan dalam keluarga,” jelas Rizqika pada Minggu (08/03/20) di kawasan Jakarta Pusat dalam rangka memeringati Hari Perempuan Sedunia.
Ia memaparkan bagaimana ceritanya pemerintah ingin mengesahkan RUU KK sedangkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) saja belum disahkan. Rizqika menganggap ini akan semakin mengembalikan perempuan ke ranah domestik dan membebani perempuan dengan beban ganda, yaitu selalu ada di rumah.

Selain itu, Nur Khusnul, seorang orang tua tunggal (single parent) menganggap bahwa pasal 25 RUU KK mengganggu pekerja perempuan. Pasalnya sebagai orang tua tunggal, Nur harus harus menanggung banyak beban.
“Ya kalau buat saya pribadi, yang tidak memiliki tanggungan, sudah keberatan. Apalagi single parent yang mesti mengurus anak dan cari penghasilan untuk menafkahi anak. Karena kalau saya disuruh mengurus rumah, nanti anaknya saya mau makan apa,” ujarnya.
Nur juga menyebutkan, RUU KK telah melanggar ranah privasi masyarakat dan malah mengabaikan pengesahan RUU PKS yang dinilai lebih krusial. Selain melawan rancangan beberapa pasal dalam RUU KK, massa dalam aksi peringatan Hari Perempuan Sedunia juga menuntut eksistensi patriarki yang berlangsung secara sistemik di Indonesia.
Penulis: Geiska Vatikan Isdy
Editor: Elisabeth Diandra Sandi
Foto: Yvonne