SERPONG, ULTIMAGZ.com – Pekerjaan sebagai seorang content creator atau kreator konten sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. Beberapa waktu lalu, kreator konten Jerome Polin menyinggung konten-konten rekayasa atau setting-an yang dinilai membodohi penonton.
Menurutnya seorang pembuat konten bertanggung jawab untuk membuat konten yang bermanfaat. Penonton sudah meluangkan waktu untuk melihat konten yang disediakan kreator. Sebagai gantinya, kreator harus menggantikan waktu itu dengan tayangan yang memiliki nilai bagi penontonnya.
Sayangnya, komentar Jerome mendapat tanggapan negatif dari beberapa warganet.
“Jerome ngomong soal manfaat/value. Padahal kontennya dia yang sekarang juga gak ada manfaat/value-nya, terutama konten yang reaction ituu. Padahal kontennya yang dulu bagus, dulu aku subscribe dan rajin nonton videonya, tapi sekarang gak dulu,” ujar warganet dengan akun @coffeecane dilansir dari isubogor.pikiran-rakyat.com.
Akun @byuldalbit bahkan berkomentar kalau konten Jerome belakangan ini sangat monoton.
Konten-konten yang diproduksi Jerome kerap kali mengajak penonton untuk belajar bahasa Jepang, matematika, dan bahasa lain. Jerome juga membawa penonton berkeliling virtual di Jepang. Meskipun demikian, konten Jerome masih saja dinilai tidak bagus dan bermanfaat. Lantas, konten macam apa yang bermanfaat, bagus, dan memiliki nilai di mata masyarakat?
Sinetron, Tontonan Sejuta Umat
Televisi menjadi sumber hiburan paling umum bagi masyarakat Indonesia. Hampir semua rumah di Indonesia setidaknya memiliki satu televisi. Survey dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) membuktikan sebanyak 67 persen masyarakat menyukai program hiburan seperti sinetron, film, dan acara musik.
Sinetron “Ikatan Cinta” pada satu tahun terakhir memikat perhatian semua kalangan masyarakat Indonesia. Episode pertamanya mulai tayang pada 19 Oktober 2020 lalu di RCTI. Tayang setiap hari, “Ikatan Cinta” telah mencapai 447 episode hingga Rabu (24/09/21). Meskipun sudah mencapai ratusan episode, sinetron ini nampaknya belum menunjukkan tanda-tanda akan tamat. Sebaliknya, rating sinetron yang dibintangi Amanda Manopo, Arya Saloka, dan Nadya Arina ini semakin tinggi.
Melansir kompas.com, “Ikatan Cinta” telah meraih rekor MURI dengan catatan rekor audience share tertinggi, yaitu 52,6 persen selama seratus hari pada bulan April 2021. Tak lama, pada Juni 2021, sinetron ini memecahkan rekornya sendiri dengan meraih rating 54,3 persen untuk penayangan di hari Minggu, 20 Juni 2021.
Memang, tidak ada salahnya untuk menonton sinetron sebagai hiburan. Namun, beberapa sinetron yang pernah tayang di stasiun televisi Indonesia menjadi contoh tidak baik bagi penontonnya.
Sebagai contoh, sinetron Indosiar “Suara Hati Istri” (2021) dan “Anak Langit” yang tayang di RCTI pada 2017 berulang kali ditegur hingga diberhentikan sementara oleh KPI. Salah satu episode “Suara Hati Istri” bercerita tentang seorang remaja bernama Zahra yang terpaksa menikahi bos ayahnya. Sinetron ini menuai kontroversi karena menceritakan tentang pernikahan dibawah umur dan mengarah pada kekerasan seksual terhadap anak. Ditambah dengan pemeran Zahra yang ternyata juga dibawah umur, yaitu 15 tahun.
Sementara itu, sinetron “Anak Langit” berkali kali ditegur KPI karena menayangkan adegan kekerasan non-verbal dan tidak sesuai dengan klasifikasi penonton. Sinetron RCTI ini diklasifikasikan “R” (remaja) dan dalam kategori tersebut tidak boleh terdapat adegan perkelahian. Namun, “Anak Langit” menayangkan adegan saling pukul dan menendang yang muncul secara detail dan intensif. Sinetron yang dibintangi Stefan William ini telah melanggar empat pasal Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) menurut KPI.
Miris sebenarnya ketika stasiun televisi nasional yang seharusnya bisa dinikmati semua kalangan malah menayangkan program yang tidak mendidik. Penonton anak-anak cenderung menirukan apa yang mereka lihat. Adegan-adegan sinetron yang tidak senonoh tentunya berbahaya jika ditirukan anak-anak atau menanamkan ide konyol lainnya.
Perkembangan internet dan media sosial kini memperbolehkan pengguna untuk mencari hiburan selain televisi. Masih banyak konten yang lebih bermanfaat dan memiliki esensi daripada menonton sinetron di televisi. Contohnya “DPR Musikal” yang diproduksi oleh Andovi da Lopez dan Jovial da Lopez pada kanal YouTube mereka SkinnyIndonesian24.
“DPR Musikal” merupakan sebuah karya musikal untuk mengkritisi pemerintah, terutama para anggota DPR yang seringkali tidak berpihak kepada rakyat. Video berdurasi 36 menit ini menceritakan Mawar, seorang yang baru saja dilantik sebagai anggota DPR, ingin membawa perubahan-perubahan baru untuk rakyat. Sayangnya, para anggota DPR yang sudah senior, justru menentang proposal-proposal yang ditawarkan Mawar. Sebaliknya, Mawar malah ditentang dan dianggap tidak realistis.
Karya milik SkinnyIndonesian24 ini patut diapresiasi karena keberaniannya dalam menyuarakan pendapat melalui musik, visual, akting, dan cerita yang indah. Memang tidak bisa dibandingkan apple to apple dengan sinetron, tapi “DPR Musikal” meskipun tidak berseri ternyata mempunyai pesan yang lebih mendalam.
Media Sosial: Bebas Produksi dan Memilih Konten
Adanya media sosial memudahkan siapa saja untuk ikut membuat konten. Namun, kebebasan tanpa batasan yang jelas bisa jadi rentan menimbulkan masalah. Ditambah, belum ada payung hukum yang dapat mengatur regulasi mengenai penyediaan konten di media sosial. Akibatnya, konten-konten yang mengandung isu sensitif, prank, gosip artis, kontroversi, hoaks, ujaran kata-kata kasar, dan sebagainya marak ditemukan di berbagai platform.
Dalam laporan berjudul Digital 2021: The Latest Insights Into The State of Digital itu, disebutkan bahwa 170 juta dari total 274,9 juta penduduk di Indonesia telah menggunakan media sosial. Berdasarkan laporan yang dibuat oleh We Are Social itu, angka penetrasi media sosial di Indonesia mencapai sekitar 61,8 persen.
Saat ini, penggunaan media sosial telah menjadi aktivitas yang umum dilakukan oleh sebagian besar masyarakat. Media sosial yang awalnya sebuah media alternatif, lama kelamaan justru semakin menggeser peran televisi. Sebelumnya, masyarakat hanya mendapatkan informasi hanya satu arah, tetapi sekarang hanya melalui media sosial, banyak orang yang sudah percaya. Meskipun banyak konten yang memberikan manfaat, masih ada konten yang tidak memiliki mutu, hanya semata mementingkan ad-sense (iklan) dan keuntungan pribadi.
Padahal, seharusnya sudah menjadi kewajiban moral bagi seorang kreator konten untuk menyediakan konten yang bermanfaat bagi masyarakat dan tidak menyesatkan. Misalnya, ketika Anji membuat konten dengan seorang dokter ‘gadungan’ yang membicarakan mengenai obat ramuan COVID-19. Jelas bahwa konten tersebut dapat menyesatkan banyak orang dan sama sekali tidak memberikan manfaat bagi penontonnya.
Dalam membuat sebuah konten kebanyakan membutuhkan modal sehingga dirasa penting untuk mendapatkan keuntungan. Namun, melansir mojok.co, seorang penulis sekaligus wirausaha John Elkington mengemukakan bahwa terdapat konsep triple bottom line yang terdiri dari people, profit, dan planet dalam kegiatan berbisnis. Artinya, selain mementingkan aspek profit, perusahaan juga harus memikirkan kontribusi untuk lingkungan (planet) dan juga orang-orang (people) di sekitarnya.
Seringkali, beberapa kreator konten berlindung di balik kata ‘menjadi diri sendiri’ dalam membuat sebuah konten yang tidak mengandung manfaat atau bahkan melabeli sebuah konten positif dengan kata ‘pencitraan’. Padahal, penting untuk disadari bahwa diperlukan versi terbaik dari diri sendiri untuk menjadi tontonan bagi banyak orang. Dibutuhkan ciri khas dan ketulusan agar apa yang ingin diinformasikan sampai kepada penonton.
Apalagi, seorang kreator konten umumnya akan memiliki berbagai pengikut dari berbagai kalangan. Sebagai figur publik, penting untuk memberikan teladan yang baik sekaligus menyajikan konten yang tidak akan merugikan orang lain.
Kreator konten dan penonton adalah dua hal yang saling mempengaruhi. Kreator membutuhkan penonton untuk mendapat keuntungan dan penonton mengakses kreator konten karena membutuhkan informasi atau hiburan.
Perbedaannya, penonton dapat dengan mudah memilih kreator mana yang disukai dan sesuai dengan dirinya. Hal ini didukung dengan teori Uses and Gratification yang menekankan bahwa khalayak bebas secara aktif memilih berita dan media untuk mereka konsumsi. Kepuasan khalayak dalam mencari berita dan media didasarkan pada keyakinan apa yang dapat diberikan media untuk khalayak (Littlejohn & Foss, 2009).
Atas alasan tersebut, dapat dikatakan sebenarnya di era sekarang penonton memiliki fungsi sebagai gatekeeper. Penonton dapat mengontrol apa yang mereka ingin mereka lihat, sehingga lama kelamaan kreator konten akan menyediakan apa yang mereka minta. Itulah sebabnya terkadang beberapa kreator konten memberikan beberapa pilihan mengenai konsep video di media sosialnya. Ketertarikan audiens terhadap satu konseplah yang akan dieksekusi dan diberikan.
Maka dari itu, penonton perlu cerdas dalam memilih tontonan yang berguna bagi dirinya. Ketika penonton berani untuk berhenti mengakses konten-konten yang tidak memiliki manfaat dan mengandung informasi yang salah, perlahan-lahan konten semacam itu akan hilang dengan sendirinya.
Ibarat sebuah pensil dan kertas, kreator dan penonton memang tidak dapat dipisahkan, akan saling bergantungan.
Akan percuma jika kreator membuat konten yang bagus tanpa penonton karena pesannya tidak akan sampai. Namun, sama halnya jika penonton tidak berhenti untuk mengakses konten yang tidak bermanfaat karena kreator akan terus mengikuti kemauan audiensnya.
Penulis: Keisya Librani Chandra, Jessica Elisabeth
Editor: Xena Olivia
Sumber: Littlejohn, S., & Foss, K. (2009). Encyclopedia of communication theory. Los Angeles, Calif.: Sage.
Kompas.com, Kumparan.com, Mojok.co, Greatmind.id, isubogor.pikiran-rakyat.com.
Foto: TipsPintar.com