SERPONG, ULTIMAGZ.com – Hingga saat ini, aborsi masih menjadi salah satu perbincangan yang tak ada habisnya. Perspektif agama, sains, budaya, dan hukum seringkali berbenturan dalam menilai etika, dampak, serta legalitas aborsi.
Masih banyak masyarakat di seluruh dunia yang menganggap bahwa aborsi merupakan tindakan keji dan tidak bisa ditolerir. Akan tetapi, bagaimana nasib perempuan yang belum siap dan berada di situasi tidak memungkinkan untuk memiliki anak?
Baca juga: Standar Ganda Gender di Dunia Selebriti Terus Merugikan Perempuan
Menurut pewresearch.org, walaupun dukungan publik terhadap aborsi legal berubah-ubah selama 20 tahun terakhir, tetapi dalam beberapa tahun belakangan, pandangan ini cenderung tetap konsisten. Saat ini, 63 persen mendukung legalisasi aborsi dalam sebagian besar atau seluruh situasi, sedangkan 36 persen menentang dan menganggapnya ilegal dalam sebagian besar atau seluruh keadaan.
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar memiliki pandangan yang lebih terbuka terhadap isu aborsi. Namun, masih banyak masyarakat di negara-negara berkembang yang menganggap aborsi sebagai hal yang sangat tabu.
Pandangan tersebut seringkali dipengaruhi oleh budaya patriarki sehingga sebagian masyarakat menganggap bahwa perempuan tidak layak mendapatkan kendali penuh atas hak-hak terkait tubuh mereka sendiri. Padahal, hak perempuan untuk mengatur tubuh mereka sendiri merupakan bagian penting dari kesetaraan gender.
Awal Mula Preseden Hukum Aborsi Roe v. Wade
Pada 1973, Amerika Serikat (AS) mengeluarkan keputusan hukum Roe v. Wade. Sejak keputusan hukum tersebut diberlakukan, hak aborsi perempuan selama trimester pertama kehamilan pun menjadi legal.
Diawali oleh ditetapkannya hukum aborsi sebagai tindak kriminal di Texas, Norma McCorvey yang tengah hamil anak ketiganya akibat diperkosa mengajukkan banding menggunakan nama samaran Jane Roe. McCorvey berdiri tegak melawan pembela undang-undang anti aborsi yang merupakan jaksa wilayah Dallas County, Henry Wade. Sejak itu, kasus hukum tersebut dijuluki Roe v. Wade atau Roe versus Wade.
Melalui pemungutan suara dengan hasil 7 banding 2, pemerintah akhirnya memutuskan bahwa hak perempuan untuk melakukan aborsi dilindungi oleh Konstitusi AS. Keputusan tersebut pun menjadi tonggak penting dalam perlindungan hak asasi perempuan di AS.
Melansir bbc.com, Roe v. Wade menggunakan sistem trimester dan memberikan hak kepada para ibu hamil untuk:
- Melakukan aborsi pada tiga bulan pertama (trimester) kehamilan,
- beberapa regulasi oleh pemerintah pada trimester kedua, dan
- negara bagian untuk membatasi atau melarang aborsi pada trimester terakhir ketika janin mendekati tahap di mana ia dapat hidup di luar rahim.
Pada trimester terakhir, aborsi tetap dapat dilakukan meskipun ada larangan hukum. Akan tetapi, aborsi hanya dapat dilakukan apabila dokter menyatakan bahwa hal itu diperlukan untuk menyelamatkan nyawa atau kesehatan perempuan yang sedang mengandung.
Keberadaan Roe v. Wade sukses menjadi pelopor bagi negara lain untuk melegalisasi aborsi dengan cara yang aman dan memberikan hak penuh kepada perempuan atas tubuhnya sendiri. Namun, preseden hukum ini juga menuai protes dari sebagian masyarakat yang merasa bahwa perempuan diberikan hak kebebasan yang terlalu istimewa dan melanggar norma-norma tradisional.
Dampak Sosial dan Hukum Runtuhnya Roe v. Wade
Tak berlangsung lama, kebebasan perempuan terhadap tubuhnya pun turut tumbang bersama Roe v. Wade. Pada Jumat (24/06/22), Mahkamah Agung AS memutuskan untuk mengakhiri hak konstitusional atas aborsi dan memberi wewenang pada seluruh negara bagian untuk melarangnya. Hal ini berdampak besar pada meluasnya kelompok anti-hak reproduksi dan aborsi di AS.
Melansir msichoices.org, bersamaan dengan runtuhnya Roe v. Wade, protes untuk membatasi aborsi semakin meningkat di Britania Raya. Begitu juga di Afrika serta negara-negara dengan hukum aborsi progresif seperti Ethiopia yang menghadapi tekanan untuk memberikan hak aborsi terhadap perempuan.
Berdasarkan data survei bulanan sejak April 2022 #WeCount, jumlah perempuan yang melakukan aborsi di AS pada tiga bulan awal 2024 melonjak daripada sebelum Mahkamah Agung membatalkan Roe v. Wade. Mengutip voaindonesia.com, angka tersebut naik di negara-negara bagian yang memperbolehkan pelaksanaan aborsi pada usia kehamilan lanjut seperti di Illinois, Kansas, serta New Mexico.
Kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan, masih terjadi di berbagai tempat dan seharusnya perempuan tidak boleh dipaksa untuk melahirkan anak tersebut. Maka dari itu, perlindungan terhadap hak perempuan untuk menentukan apakah mereka akan melanjutkan kehamilannya atau tidak sangat dibutuhkan di seluruh dunia.
Alasan medis pun menjadi salah satu faktor pentingnya Roe v. Wade karena ada banyak kondisi kesehatan yang dapat membahayakan nyawa perempuan selama kehamilan. Melansir healthline.com, memaksa seorang perempuan untuk melanjutkan kehamilan hingga melahirkan dapat menimbulkan trauma fisik serta psikologis yang mendalam.
Dalam survei yang dilakukan oleh PBS NewsHour/NPR/Marist menyatakan bahwa dengan selisih sisa poin kurang lebih 3,9 persen, 64 persen warga Amerika termasuk 88 persen Demokrat, 59 persen independen, dan sepertiga Republikan mendukung hak aborsi. Sementara itu, 34 persen warga yang tidak menyetujui Roe v. Wade merupakan Republikan.
Akibatnya, sebagian kaum perempuan merasa bahwa kehamilan bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah jebakan. Menurut Sarah Jones, salah satu penulis di nymag.com, hukum tentang aborsi selalu berhubungan dengan kendali. Namun, kaum konservatif telah memaksakan kehendak perempuan dengan menjadikan tubuhnya sebagai arena konflik.
Pernyataan dari Sarah Jones memperkuat fakta bahwa sejak Roe v. Wade dihilangkan, semakin banyak perempuan yang takut menjalani kehamilan. Bahkan beberapa perempuan nekat melakukan aborsi dengan cara yang tidak aman bagi kesehatan mereka. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti ketakutan terhadap risiko kesehatan, kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri, ketidakpastian ekonomi, serta kondisi janin.
Jalan Menuju Kesetaraan atau Tantangan Baru?
Stigma bahwa perempuan harus menjalani kehamilan dan memiliki anak telah mengakar dalam masyarakat sejak dahulu hingga saat ini. Akan tetapi, pandangan ini sering mengabaikan hak perempuan untuk menentukan pilihan atas tubuhnya sendiri dan cenderung mengabaikan kompleksitas situasi yang mungkin mereka hadapi.
Dianggap sebagai solusi utama untuk menghilangkan stigma tersebut, Roe v. Wade seharusnya tetap dilanjutkan. Tidak hanya berguna untuk menginspirasi negara lain dalam memperjuangkan hak perempuan terhadap tubuhnya sendiri, tetapi juga untuk melemahkan gerakan-gerakan anti-hak reproduksi yang semakin mengancam kebebasan perempuan.
Melansir cnn.com, pada awal 2024, angka rata-rata aborsi per bulan mencapai 98.990 di Amerika. Angka tersebut naik 14 persen dibandingkan 2023 atau bertambah sekitar 12.000 kasus per bulan.
“Sebagai tenaga kesehatan, kami menghadapi konsekuensi tragis setiap hari ketika layanan aborsi yang aman tidak dapat diakses oleh wanita dan anak perempuan, sehingga mereka terpaksa menggunakan cara-cara yang tidak aman. Aborsi yang tidak aman merupakan salah satu penyebab utama kematian dan cedera ibu,” ucap Dr. Simon Peter Kayondo, seorang Ketua Komite Komunikasi Obstetri dan Ginekologi pada Rabu (05/10/22), mengutip figo.org.
“Hukum aborsi yang ketat merugikan wanita, anak perempuan, serta tenaga kesehatan. Aturan tersebut hanya meningkatkan jumlah aborsi tidak aman, memperkuat stigma terhadap aborsi, dan menghambat perawatan pasca-aborsi yang seharusnya dilakukan,” lanjutnya.
Menurut Dr. Simon Peter Kayondo, proses aborsi yang tidak sesuai dengan prosedur dapat mengancam nyawa perempuan dan pembatalan Roe v. Wade merupakan kekalahan telak bagi perempuan. Maka dari itu, akses bagi perempuan untuk melakukan aborsi secara legal sangat diperlukan agar perempuan dapat menjalani prosedur yang aman, layak, serta sesuai dengan standar medis.
Saat ini, perempuan menghadapi tantangan besar untuk mendapatkan keadilan atas tubuh mereka sendiri. Hak untuk membuat keputusan terkait kesehatan serta kehidupan pribadi sering diremehkan oleh norma sosial dan hukum yang mengutamakan kepentingan keluarga maupun masyarakat.
Padahal, perempuan hidup bukan hanya untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Perempuan berhak menentukan jalan hidupnya tanpa tekanan atau tuntutan untuk memuaskan standar yang diciptakan oleh orang lain.
Baca juga: Miskonsepsi soal LGBTQ Akan Terus Picu Persekusi
Dengan atau tanpa Roe v. Wade, pemerintah di seluruh dunia seharusnya memahami bahwa perlindungan hak perempuan merupakan kewajiban mendasar yang harus diprioritaskan. Untuk mewujudkan kesetaraan gender, pemerintah perlu bertindak cepat dan memastikan perempuan dilibatkan secara penuh dalam setiap pengambilan keputusan.
Kesetaraan tidak akan tercapai tanpa penghormatan nyata terhadap hak-hak perempuan. Maka dari itu, perempuan harus diberikan kebebasan untuk mengatur tubuh dan kehidupannya tanpa tekanan maupun batasan yang diskriminatif.
Penulis: Jessica Kannitha (Komunikasi Strategis, 2021)
Editor: Cheryl Natalia
Foto: newarab.com
Sumber: pewresearch.org, bbc.com, msichoices.org, voaindonesia.com, nymag.com, npr.org, guttmacher.org, independent.co.uk, kompas.tv, figo.org, healthline.com