SERPONG, ULTIMAGZ.com – Seksualitas memiliki spektrum yang begitu luas dan dinamis seiring berkembangnya zaman. Namun, kebanyakan masyarakat Indonesia melihat gender dan seksualitas secara biner, yakni laki-laki dan perempuan, serta maskulin dan feminin.
Padahal, keberagaman gender dan seksualitas itu ada dan hadir secara nyata di tengah masyarakat Indonesia. Kelompok minoritas gender dan seksual itu adalah komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer (LGBTQ).
Baca juga: Disney Normalisasikan Pasangan Remaja Gay di “Strange World”
Penerimaan perbedaan masih rendah di Indonesia. Tidak bisa disangkal, toleransi masyarakat masih sangat rendah terhadap LGBTQ.
Lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pernah melakukan survei mengenai penerimaan masyarakat Indonesia pada komunitas LGBTQ pada 2018, dilansir dari dw.com. Hasil survei menunjukkan bahwa 40 persen responden menilai LGBTQ sangat mengancam. Sementara itu, 9,4 persen tidak melihat LGBTQ sebagai ancaman.
Bukti diskriminasi dan persekusi terhadap komunitas LGBTQ juga dicatat di laporan Scared in Public and Now No Privacy: Human Rights and Public Health Impacts of Indonesia’s Anti-LGBT Moral Panic. Dalam laporan tersebut, Human Rights Watch mendapati bahwa pada 2017, sebanyak 300 orang ditangkap polisi karena orientasi seksual dan identitas gender mereka.
Di kehidupan sehari-hari pun, perbincangan mengenai keberagaman gender dan orientasi seksualitas menimbulkan sambutan dingin di ranah publik. Indonesia secara turun-temurun sudah memberikan label pada seksualitas sebagai sesuatu yang tabu, masyarakat enggan membahas soal itu.
Tahun 2018 menjadi contoh di mana banyak aksi diskriminatif dilakukan terhadap komunitas LGBTQ, dilansir dari tirto.id. Pada Maret, terjadi penggerebekan pasangan gay di Palmerah, Jakarta Barat. Sebulan kemudian, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menetapkan sanksi bagi LGBTQ.
Kemudian, ada terjadi hukuman cambuk bagi pasangan gay pada Juli. Ada pula pembubaran sesi lomba pocky challenge di Magelang karena desakan ormas yang mencurigai ada unsur LGBTQ, pembubaran Grand Final Mister dan Miss Gaya Dewata 2018 karena dianggap bernuansa LGBTQ pada Oktober. Terakhir, ada penganiayaan tanpa sebab terhadap dua transpuan di Bekasi pada November.
Salah Kaprah terkait LGBTQ
Mengutip amnesty.id, World Health Organization (WHO) pada 1990 telah menghapus homoseksual dari klasifikasi penyakit. WHO juga menyatakan bahwa homoseksual tidak bisa dianggap sebagai kondisi patologis, kelainan, atau penyakit. Penelitian secara biologis dan psikologis menunjukkan bahwa orientasi seksual adalah bagian intrinsik dari karakteristik pribadi manusia.
Salah satu stereotip yang salah mengenai LGBTQ adalah keterkaitannya dengan penularan human immunodeficiency virus (HIV). LGBTQ juga sering kali dianggap sebagai sumber peningkatan penyebaran infeksi menular seksual (IMS). Padahal, penularan HIV dan IMS disebabkan oleh perilaku berisiko yang bisa terjadi baik pada orang heteroseksual maupun homoseksual, bukan pada orientasi seksual itu sendiri.
”Orientasi seksual bukan sebuah masalah, yang berpotensi menimbulkan masalah adalah aktivitas seksual. Ini juga berlaku buat heteroseksual. Sepanjang yang bersangkutan punya pemahaman akan kesehatan seksual, orientasi seksual apa pun tidak menjadi masalah,” kata Pakar Neurosains Ryu Hasan, dilansir dari kompas.id.
Semua manusia yang melakukan kontak seksual memiliki risiko tertular HIV. Apabila memang yang menjadi perhatian utama adalah masalah penyebaran HIV di tengah masyarakat, yang perlu dilakukan adalah edukasi komprehensif mengenai hubungan seksual pada seluruh kalangan masyarakat. Hal lain yang bisa dilakukan adalah membenahi layanan kesehatan yang objektif dan berkomitmen dalam mengatasi penyebaran HIV. Bukan malah mengecam komunitas LGBTQ.
Kemudian, tak jarang orang mengutip ayat kitab keagamaannya atau mengikuti apa yang dikatakan pemuka agamanya mengenai isu LGBTQ. Nyatanya, agama dan LGBTQ memang tidak bisa disatukan dan merupakan dua konsep yang sangat berseberangan.
Melansir theconversation.com, Irwan Martua Hidayana selaku asisten profesor dari Departemen Antropologi Universitas Indonesia (UI) menyebut salah satu faktor utama sentimen anti-LGBTQ adalah narasi agama. Sebab, di beberapa kepercayaan hanya mengakui heteroseksual sebagai satu-satunya orientasi seksual yang ‘normal’.
Indonesia mengakui enam agama besar, yakni Islam, Hindu, Buddha, Kristen Protestan, Katolik Roma, dan Konghucu. Berbagai persepsi masyarakat Indonesia menyatakan tidak ada agama yang memperbolehkan dan melegalkan LGBTQ.
Payung Hukum soal LGBTQ
Komunitas LGBTQ juga masih mengalami keterbatasan dalam mengakses pendidikan, kesehatan, pekerjaan yang layak, pengurusan dokumen negara, hingga memiliki ruang aman. Padahal, secara hukum, Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39/1999 sudah memperjelas akan hak yang menjamin keadilan pada komunitas LGBTQ. Pasal itu berisikan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.”
Dilanjutkan dengan ayat (3) yang menyebut, ”Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.”
Ada juga di Pasal 4 yang tertulis, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun.”
Terlebih, bidang edukasi, pekerjaan, dan layanan kesehatan reproduksi berperan signifikan. Ketiga hal tersebut harus dilakukan merata, menyentuh semua lapisan masyarakat, terutama kelompok marginal.
Sayangnya, penelitian yang dilakukan oleh Arus Pelangi mengungkapkan bahwa 89,3 persen LGBTQ di Indonesia mengalami kekerasan. Konstruksi sosial yang berujung kekerasan ini sangat bisa memengaruhi kesehatan fisik dan mental mereka yang menjadi bagian dari komunitas LGBTQ.
Pada akhirnya, hak individu didasarkan pada kodrat manusia sebagai manusia, komunitas LGBTQ pun berhak mendapatkan hak yang setara dengan mereka yang heteroseksual, tidak kurang atau lebih. Hal kecil yang bisa kita sumbangkan adalah memberikan ruang aman pada komunitas LGBTQ untuk menjadi diri mereka sendiri tanpa menghakimi.
Tiap agama mengajarkan dan menuntut kebaikan. Maka dari itu, sebaiknya tidak menabur kebencian pada mereka yang sedikit berbeda dengan kita.
Baca juga: Apakah Ada Alasan Rasional untuk Membenci Kelompok LGBTQ+?
Indonesia masih jauh dari kemakmuran. Hal itu karena tidak adanya keadilan untuk seluruh rakyat dalam segi agama, etnis, jenis kelamin, dan orientasi seksual.
Setuju atau tidak setuju, ini kembali lagi pada pribadi masing-masing. Namun, yang terpenting adalah eksistensi LGBTQ itu ada. Menyingkirkan mereka tidak akan berbuah hasil. Hal yang perlu ditekankan untuk semua masyarakat Indonesia, khususnya anak muda, yaitu belajar untuk saling menghargai, toleransi, dan cinta kasih sesama manusia.
Penulis: Alycia Catelyn
Editor: Josephine Arella
Foto: Unsplash/Mercedes Mehling
Sumber: dw.com, amnesty.id, kompas.id, theconversation.com, tirto.id