SERPONG, ULTIMAGZ.com – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim mengungkapkan bahwa hingga saat ini dunia pendidikan masih menanggung tiga dosa besar. Salah satunya adalah kekerasan seksual.
Survei terkait pelecehan seksual di ruang publik yang diadakan Koalisi Ruang Publik Aman pada 2019 menyatakan bahwa ternyata lingkungan sekolah dan kampus menduduki urutan ketiga sebagai lokasi terjadinya tindakan kekerasan seksual, atau 15 persen dari jumlah jawaban responden. Peringkat pertama diduduki oleh jalanan sebanyak 33 persen, diikuti transportasi umum sebanyak 19 persen.
Pada Jumat (25/05/21), sebuah artikel berjudul “Kekerasan Seksual di UMN: Tak Ada Laporan, Bukan Berarti Tak Ada Kejadian” diunggah melalui situs Medium.com. Tak membutuhkan waktu lama hingga artikel tulisan Charlenne Kayla Roeslie, Xena Olivia, Gracia Yolanda Putri, dan Aaron Patrick—yang kini disebut sebagai tim #SaatnyaBicara—itu menjadi pusat perhatian civitas akademika Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Pasalnya, artikel tersebut menjadi instrumen pembuka mata bahwa ada masalah dalam sistem saat ini.
Artikel tersebut awalnya ditulis sebagai tugas akhir mata kuliah In-depth Journalism berdasarkan testimoni 14 penyintas kekerasan seksual di UMN. Namun, angka itu hanyalah puncak dari sebuah gunung es. Maksudnya, jumlah tersebut tidak menutup kemungkinan ada lebih banyak penyintas yang kisahnya masih disimpan bagi dirinya sendiri. Hal ini juga berarti, belum diketahui berapa jumlah pelaku yang selama ini berkeliaran dan melaksanakan tindakannya.
Baca juga: Kekerasan Seksual di UMN: Tak Ada Laporan, Bukan Berarti Tak Ada Kejadian
Kasus kekerasan seksual yang akhirnya tak berujung sudah sering terjadi. Berdasarkan survei yang diadakan oleh Magdalene.co dengan Lentera Sintas Indonesia, 93 persen kasus kekerasan seksual di Indonesia tidak terlapor. Penyebabnya beragam, seperti malu, takut disalahkan, tidak memiliki cukup bukti, tidak didukung keluarga, dan diintimidasi pelaku.
UMN Bukan Satu-Satunya
Kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus tentunya tidak hanya terjadi di UMN, tetapi juga di perguruan tinggi lain di Indonesia.
Salah satu kasus yang sempat mendapat perhatian adalah kasus Agni dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2019. Agni—bukan nama sebenarnya—adalah seorang mahasiswa yang diduga diperkosa oleh rekannya berinisial HS saat melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Sejak 2017, Agni bersama dengan organisasi nonpemerintah Rifka Annisa untuk menuntut keadilan dari tempatnya mengenyam pendidikan.
Proses kasus Agni berjalan rumit, mulai dari mendapat nilai C untuk KKN hingga sanksi yang tidak jelas bagi HS. Kasusnya akhirnya mendapat lebih banyak perhatian ketika Agni memutuskan untuk berbagi melalui Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM.
Pada akhirnya, Agni dan HS dipertemukan kembali dan diminta untuk menandatangani kesepakatan nonlitigasi bersama Rektorat UGM pada 4 Februari 2019. Tuntutan awal untuk menjatuhkan sanksi drop-out pada HS tidak terpenuhi, walau proses hukumnya telah memakan waktu kurang lebih satu setengah tahun hingga akhirnya dianggap selesai.
Sementara, Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pernah mengambil tindakan melawan kekerasan seksual yang dilakukan oleh Dekan Fakultas Film dan Televisi (FFTV) pada 2019. Sebuah surat edaran yang ditujukan kepada dosen dan mahasiswa mengatur sanksi bagi para pelaku pelecehan seksual, perundungan, dan intimidasi. Sanksi bagi pelaku mahasiswa berupa surat teguran, skors, atau dikeluarkan, sementara bagi pelaku yang menyandang status sebagai dosen akan mendapatkan sanksi berupa surat teguran, pemberhentian dari jabatan struktural, hingga diberhentikan secara tidak hormat.
Selain pelaku, surat tersebut juga mencantumkan prosedur pelaporan serta jaminan kerahasiaan dan keamanan bagi korban.
Payung Peraturan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi
Kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus yang telah terjadi berulang-ulang menunjukkan bahwa sudah saatnya ada peraturan yang menjadi panduan bagi perguruan tinggi di Indonesia.
Dilansir dari tirto.id, Nadiem pada akhir April lalu berkata akan menerbitkan Peraturan Mendikbud (Permendikbud) soal kekerasan seksual dalam waktu dekat. Namun hingga Juli, Permendikbud tersebut belum juga diterbitkan karena masih dianggap kurang matang. Meskipun demikian, Nadiem berharap, aturan tersebut nantinya dapat membantu korban, khususnya perihal pelaporan kasus.
Berdasarkan laporan VOA Indonesia, Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Kemenbudristek Nizam memastikan Permendikbud sudah dalam bentuk draft sejak tahun lalu. Rancangan tersebut juga sudah melalui uji publik dan menerima masukan, tetapi penindaklanjutannya tetap memerlukan harmonisasi dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkuham).
Baca juga: RUU PKS, KUHP, dan KPK: Kekerasan Seksual Dilupakan, Kriminalisasi Diprioritaskan
Sebelumnya, Kementerian Agama (Kemenag) sudah menerbitkan Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam pada Oktober 2019. Dokumen berjumlah 33 halaman tersebut berisi panduan tindakan pencegahan, pengadaan ruang aman, pengadaan layanan pengaduan, hingga pelayanan pemulihan korban kekerasan seksual.
Dukungan dari sivitas akademika
Hingga Sabtu (03/07/21), akun media sosial beberapa himpunan, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan Lembaga Semi Otonom (LSO) di UMN menyatakan dukungan kepada tim #SaatnyaBicara melalui sebuah unggahan yang mencantumkan 11 komitmen pihak kampus terkait penanganan kekerasan seksual di UMN.
11 komitmen tersebut dibagi ke dalam tiga bagian sebagai berikut.
- Membuat dan membagikan buku kode etik dosen kepada semua dosen;
- Menangani semua kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus;
- Membentuk tim khusus untuk menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus;
- Membuat prosedur operasi standar (POS) penanganan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus;
- Memberi bantuan psikologis kepada penyintas kekerasan seksual di lingkungan kampus;
- Memberi sanksi yang tegas kepada pelaku kekerasan seksual di lingkungan kampus;
- Mengkaji ulang, memperbaiki, dan memperjelas sanksi tindakan pelecehan dan kekerasan seksual pada kode etik mahasiswa;
- Bekerja sama dengan lembaga terkait di luar kampus dalam memberikan edukasi dan menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus;
- Membuat dan membagikan buku saku kekerasan seksual kepada civitas akademika, terutama mahasiswa baru;
- Membuat seminar tahunan tentang kekerasan seksual yang wajib dihadiri para civitas akademika, terutama mahasiswa baru;
- Memberikan edukasi terkait kekerasan seksual kepada semua civitas akademika UMN.
Di sisi lain, sebagian memilih untuk tidak atau belum mengambil langkah, seperti Himpunan Mahasiswa Manajemen (HIMMA), UKM Ultima Toys, UKM Lions Voli, dan UKM UMN Softball.
Organisasi-organisasi yang sudah mencantumkan logo pada unggahan berjanji akan memihak kepada korban dan penyintas, serta akan terus mengawal semua poin komitmen kampus hingga terwujud. Hal ini menjadi satu langkah maju untuk mewujudkan lingkungan kampus yang bebas dari kekerasan seksual.
Penulis: Nadia Indrawinata
Editor: Andi Annisa Ivana, Maria Helen Oktavia, Xena Olivia
Foto: freepik.com
Sumber: tirto.id, magdalene.co, voaindonesia.com, BBC Indonesia