JAKARTA, ULTIMAGZ.com – Bakti Budaya Djarum Foundation, Indonesia Kita, mengadakan pertunjukan teater ke-20 berjudul “Doea Tanda Tjinta”. Pertunjukan yang digelar dua kali di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, yakni pada Jumat (29/7) dan Sabtu (30/7) ini mencoba menggambarkan persatuan masyarakat Indonesia yang multietnis sebelum benar-benar menjadi negara yang utuh dan merdeka.
Pementasan teater yang dikemas dalam balutan musik tradisional keroncong ini menampilkan lakon-lakon sebagai etnis Tionghoa, masyarakat pribumi, hingga kaum kompeni Belanda. Sesuai dengan harapan ketua tim kreatif Indonesia Kita Butet Kartaredjasa, pada pementasan kali ini ia ingin menyampaikan bahwa bukan hanya suku-suku asli negeri ini yang mewarnai sejarah terbentuknya negeri ini.
“Mari kita beribadah kebudayaan! Segarkan kembali kesadaran kita bahwa Indonesia bukan hanya dibentuk oleh suku-suku seperti Jawa dan sejenisnya, tetapi negeri ini juga dibangun oleh orang-orang Tionghoa, Arab, hingga orang Barat,” ungkap Butet dalam kata sambutannya yang membuka pementasan hari pertama, Jumat (29/7).
Jalan cerita “Doea Tanda Tjinta” kurang lebih menggambarkan keadaan di negeri ini sebelum kemerdekaan. Keadaan di mana muncul gejolak perjuangan dari masyarakat Indonesia yang multietnis untuk mengusir para penjajah.
Tuan besar kompeni Belanda (Susilo Nugroho) sedang mencari seorang wanita untuk menjadi kekasihnya, lalu ia jatuh cinta kepada Olga (Olga Lidya) yang merupakan putri dari rekan bisnisnya yang beretnis Tionghoa, Mar Wo-Tong (Marwoto).
Namun, keadaan berubah ketika putranya dari Belanda, Sinyo (Cak Lontong), datang menghampiri dirinya ke tanah air dan muncul tiga tokoh pergerakan Indonesia (Trio GAM) yang merupakan para kaum terpelajar.
Tuan besar pun harus menghadapi konflik ketika putranya sendiri, Sinyo dan salah satu anggota tokoh pergerakan, Gareng, ternyata juga sama-sama jatuh cinta pada Olga. Selain persaingan cinta memperebutkan Olga, diceritakan juga bahwa para tokoh pergerakan sedang berusaha menyatukan para pemuda di tanah air untuk berjuang melawan penjajah.
Cerita penuh unsur budaya berbalut musik keroncong yang sangat kental dengan vokalis Endah Laras, Heny Janawati, dan Subardjo H. S. ini mengandung unsur komedi yang mampu mengocok perut serta guyonan interaktif dengan penonton.
Akan tetapi, komedi-komedi tersebut tentunya hanyalah pengantar bagi kita untuk menangkap pesan-pesan berisi nilai dan persepsi budaya yang tepat serta mengena di kehidupan multikultural Indonesia. “Mari kita wariskan nilai-nilai budaya Indonesia! Tetapi bukanlah pewarisan nilai yang salah kaprah. Marilah kita beribadah kebudayaan!” kata Butet.
Penulis: Richard Joe Sunarta
Editor: Alif Gusti Mahardika
Fotografer: Evelyn Leo