SERPONG, ULTIMAGZ.com – Kesetaraan gender atau gender equality pastinya sudah tidak asing lagi bagi Ultimates. Topik utama yang selalu diangkat oleh para tokoh wanita hebat yang inspiratif.
Kesetaraan gender ini sering ditafsirkan oleh masyarakat sebagai penuntutan hak dan kewajiban yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal.
Baca juga: Glass Ceiling Harus Dihilangkan, Sampai Kapan Karier Perempuan Tersandera?
Arti kesetaraan gender ini tidak sepenuhnya salah. Namun, kesamaan di antara dua gender ini tidak akan terjadi tanpa adanya keadilan gender (gender equity). Sebagaimana yang dijelaskan oleh Najwa Shihab pada sesi Karsa dalam acara Renjana Cita Srikandi, yang membicarakan topik bertema “Gender Equality: Not Just A Woman’s Issue, It’s Everyone’s Business”.
Menurutnya, perlu ada kebijakan atau aturan khusus untuk menyeimbangkan ketidaksetaraan yang dari awal membuat perempuan sulit mengejar keadilan. Itulah yang disebut sebagai gender equity.
“Kesamaan (kesempatan) yang sama persis bisa jadi nggak adil loh, karena kondisi fisik laki-laki dan perempuan sudah berbeda. Jadi gimana caranya (menyeimbangkan)? Dengan gender equity. Kebijakan yang mungkin berbeda, perlakuan yang berbeda karena dari awal saja sudah tidak seimbang sehingga harus diseimbangkan dengan memberikan perlakuan khusus yang berbeda,” tuturnya pada Minggu, (19/05/24) lalu.
Menurutnya juga, konsep kesetaraan yang dimaksud dalam hal ini bukanlah menuntut untuk menjadi sama, melainkan untuk mengejar kesempatan di aspek-aspek sosial yang saat ini belum setara.
“Teman-teman bisa cek di KBBI, kata setara itu beda (artinya) dengan sama. Jadi ketika kita menuntut kesetaraan gender, kita tidak menuntut menjadi sama. Setara itu artinya sejajar, sepadan, seimbang. Kalau sama artinya serupa tidak berbeda. Menuntut kesetaraan gender kita bukan menuntut sama dengan laki-laki karena memang nggak mungkin sama. Kita menuntut keseimbangan akses, hak, peluang yang setara dengan laki-laki,” lanjutnya.
Pendiri Narasi ini juga mengemukakan pendapatnya yang merasa bahwa ketidaksetaraan yang seringnya disuarakan perempuan ini sebenarnya juga merugikan pihak laki-laki yang sering dianggap superior. Contohnya, laki-laki dalam budaya patriarki yang menganut toxic masculinity harus terus berusaha menahan dan menutupi perasaanya untuk dianggap kuat.
“Aku juga merasa sistem patriarki juga merugikan laki-laki loh, cowok nangis dianggap lemah, kasihan sekali nggak boleh menunjukkan sisi emosionalnya. Cowok harus bisa seorang diri menghidupi semua orang di keluarganya, kalau nggak bisa mencukupi kebutuhan langsung dicap gagal jadi suami, gagal jadi ayah,” ujarnya.
Sayangnya, meskipun hal ini secara nyata telah merugikan dan menghambat potensi banyak orang, tidak sedikit juga bagian dari masyarakat kita yang menyepelekan masalah ketidaksetaraan gender. Hal ini sangat dirasakan oleh Najwa sebagai salah satu pejuang kesetaraan gender di Indonesia.
Contohnya adalah dalam lingkup profesional, perempuan biasanya mendapat upah yang lebih sedikit dibandingkan dengan rekan laki-lakinya yang berada di jabatan yang sama. Ditambah dengan berbagai asumsi dan stereotipe tentang perempuan yang bekerja, membuat tekanan yang dirasakan menjadi lebih besar.
Jika perempuan mengeluh akan hal itu, orang akan kembali beranggapan kalau asumsi negatif mereka tentang perempuan itu benar adanya.
“Jadi selalu nih, kesadaran kita dianggap nggak percaya diri, dijadikan senjata melawan kita. Seolah-olah ketidaksetaraan itu hanya ada di pikiran kita, seolah-olah memang salah kita dan lain sebagainya,” ujarnya.
Oleh karena itu, Najwa selalu berusaha mengingatkan para perempuan kalau adanya ketidakadilan ini bukanlah salah perempuan. Melainkan sistem kebijakan dan budaya yang terlalu diskriminatif kepada kaum yang dianggap lemah.
Padahal, peran perempuan yang sangat luar biasa ini seharusnya menunjukkan seberapa kuatnya perempuan. Perempuan dituntut untuk bisa sempurna dalam memerhatikan dan mengurus segala hal dalam hidupnya.
Selain itu, salah satu hal yang sangat disayangkan oleh Najwa adalah banyaknya perempuan yang senang menyusahkan sesamanya. Tidak jarang saudara dan tetangga dari kalangan perempuan juga memberikan tekanan dengan pertanyaan-pertanyaan dan ekspektasi mereka terhadap satu sama lain.
Baca juga: Opini: Apakah Ada Alasan Rasional untuk Membenci Kelompok LGBTQ+?
Di akhir sesi, Najwa mengatakan bahwa ia sangat yakin perempuan bisa meraih semua posisi dan cita-cita yang diinginkan jika kesetaraan dan keadilan gender benar-benar ada.
“Sekali lagi, kalau segalanya setara, akses dan peluangnya setara, seharusnya tidak perlu lagi kita bicara tentang posisi seperti ini,” tutupnya.
Penulis: Happy Mutiara Ramadhan
Editor: Mianda Florentina
Foto: Instagram/@renjanacitasrikandi