SERPONG, ULTIMAGZ.com – Diskriminasi terhadap perempuan terjadi di berbagai tempat, termasuk di tempat kerja. Hal ini terjadi karena masih banyak pandangan bahwa kinerja dan kemampuan perempuan lebih rendah daripada laki-laki.
Menurut studi yang dilakukan oleh platform produktivitas Hive dalam The Hive State of the Workplace Report pada tahun 2018, tingkat produktivitas perempuan 10 persen lebih tinggi daripada laki-laki. Laporan itu juga menyebutkan bahwa 55 persen responden lebih mempercayakan perempuan untuk melakukan pekerjaan, sedangkan 45 persen responden memilih untuk mempercayakan pekerjaan kepada laki-laki.
Baca juga: “Ladies Parking”, Suatu Kebutuhan atau Seksisme Belaka?
Walaupun dinilai lebih produktif, saat ini lebih banyak ditemukan pemimpin laki-laki daripada pemimpin perempuan. Berdasarkan data dari databoks.katadata.co.id, proporsi perempuan pada posisi manajerial pada tahun 2022 hanya mencapai angka 32,2 persen. Berbeda jauh dengan angka tingkat posisi manajerial laki-laki yaitu 67,8 persen.
Padahal seharusnya, setiap orang dapat menduduki suatu posisi secara adil tanpa memandang gendernya. Salah satu penyebab dari hal tersebut adalah keberadaan fenomena glass ceiling.
Awal Mula Istilah Glass Ceiling
Sesuai dengan julukannya, glass ceiling merupakan metafora dari pembatas kaca dalam dunia kerja. Berdasarkan buku “Human Resource Management” oleh Mathis dan Jackson, glass ceiling adalah sebuah bentuk diskriminasi untuk menghalangi perempuan maupun kaum minoritas untuk mendapatkan kenaikan jabatan pada suatu pekerjaan.
Melansir lbhapik.org, konsep glass ceiling pertama kali diperkenalkan oleh Marilyn Loden di sebuah panel diskusi perempuan pada 1978. Loden merupakan seorang penulis dan advokat yang cukup terkenal dari Amerika Serikat (AS).
Loden menyatakan bahwa perempuan tidak dapat mencapai tangga tertinggi di karier mereka karena terdapat pembatas yang tidak terlihat. Hal ini terjadi karena adanya budaya patriarki serta stereotip gender yang menyebabkan terhambatnya kesempatan perempuan untuk menyampaikan aspirasi dan melangkah lebih jauh di dunia karier.
Istilah glass ceiling dibuat karena Loden berpendapat bahwa anggapan yang menyatakan laki-laki lebih cocok memimpin rumah tangga serta organisasi berhubungan erat dengan terjadinya hambatan karier perempuan. Seharusnya, perempuan juga diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk memimpin suatu hal.
Selain mencetuskan istilah glass ceiling, Loden juga menyampaikan keresahannya terhadap kekerasan seksual dan kasus pelecehan yang kerap dialami perempuan. Menurutnya, glass ceiling berdampak besar pada kurangnya perhatian khusus akan kasus kekerasan seksual maupun pelecehan terhadap perempuan.
Hingga saat ini, masih banyak perjalanan karier perempuan yang terhambat karena adanya glass ceiling. Dengan kualifikasi dan kompetensi yang sama bahkan lebih mahir, mereka justru dihadapkan pada rintangan yang jauh lebih sulit daripada yang diberikan kepada laki-laki.
Untuk menghindari terjadinya glass ceiling, banyak sekali perempuan yang siap untuk merelakan segala hal demi perkembangan kariernya. Walaupun didasari oleh ambisi dan pengorbanan, tetapi tatanan keadilan dalam berkarier akan hancur jika hal ini dibiarkan terjadi secara terus-menerus.
Bahkan, ada beberapa kasus yang mana kenaikan jabatan perempuan dalam berkarier ditentukan oleh tingkat kedekatan personalnya dengan atasan. Padahal, seharusnya promosi dalam suatu pekerjaan dinilai berdasarkan kualitas kinerja.
Melansir fimela.com, akan selalu ada dilema dalam berkarier bagi perempuan ketika telah berumah tangga. Biarpun kebutuhan ekonomi tercukupi, tetapi kedekatan antara ibu dan anak akan berkurang karena waktu yang seharusnya dihabiskan dengan keluarga malah digunakan untuk bekerja.
Budaya kerja yang tidak selalu mendukung keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi juga menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya glass ceiling. Perempuan harus menyeimbangkan antara pekerjaan, keluarga, dan dirinya sendiri. Sementara itu, biasanya laki-laki lebih terfokus hanya pada pekerjaan karena tidak dituntut untuk melakukan hal lainnya oleh masyarakat.
Menurut survei dari Pew Research Center pada 2019, lebih banyak jumlah perempuan yang telah menjadi orang tua lalu merasa tidak berkomitmen pada pekerjaan dibandingkan dengan laki-laki yang juga telah menjadi ayah. Sebanyak 53 persen perempuan yang memiliki anak berpikir bahwa pekerjaan mereka menjadi lebih sulit karena harus menjadi orang tua yang baik. Angka ini berbeda dengan laki-laki yang memiliki anak dalam kategori yang sama, yang mana hanya 39 persen dari mereka yang merasa demikian.
Penyebab Fenomena Glass Ceiling
- Tingkat rasionalitas
Melansir dari kumparan.com, stereotip yang berkembang di masyarakat yaitu “think manager, think male” dan stereotip bahwa laki-laki lebih rasional daripada perempuan mendorong terjadinya fenomena glass ceiling. Perempuan dianggap sebagai individu yang lebih perasa dan sensitif sehingga tidak cocok untuk menjadi pemimpin.
- Perempuan harus mengurus keluarga
Fakta bahwa masyarakat masih menganggap perempuan lebih cocok untuk mengurus anak dan pekerjaan rumah juga menjadi salah satu penyebab terjadinya ketimpangan kesempatan gender. Banyak yang menganggap ketika perempuan menjadi pemimpin, fokusnya akan terpecah antara pekerjaan, mendidik anak, dan mengurus rumah.
- Interaksi antar gender
Mengutip style.tribunnews.com, dominasi laki-laki dalam suatu perusahaan memiliki efek yang sangat besar terhadap terjadinya glass ceiling. Jika seorang perempuan memiliki trauma dengan laki-laki, kemampuannya untuk mengaktualisasi dirinya pun akan berkurang apabila ia diminta untuk memimpin tim yang mayoritas anggotanya merupakan laki-laki.
Dampak Glass Ceiling bagi Perempuan
Keberadaan fenomena glass ceiling tentu saja memberikan efek dan dampak yang cukup besar terhadap kehidupan manusia, terutama kaum perempuan. Glass ceiling menyebabkan kurangnya minat perempuan untuk berada di posisi karier lebih tinggi, meningkatkan keinginan perempuan untuk berhenti bekerja, dan enggan menjadi pemimpin.
Menurut data statistik global dari International Labour Organization (ILO) pada 2019, 46.6 persen responden setuju bahwa perempuan diberikan rintangan yang lebih sulit untuk mencapai posisi teratas pada tingkatan manajerial perusahaan. Sebanyak 52 persen responden perempuan dan 45.5 persen responden laki-laki menyetujui pernyataan yang berhubungan dengan keberadaan serta efek dari glass ceiling tersebut.
Selain itu, Cox (2021) menyatakan bahwa glass ceiling dapat menyebabkan kelelahan mental pada perempuan di dunia kerja. Hal ini terjadi karena ekspektasi berlebihan terhadap perempuan untuk selalu menghasilkan kinerja yang lebih dari batas normal agar dihargai serta dipertimbangkan untuk naik posisi di tempat kerja.
Di sisi lain, rasa cemas, tidak puas diri, serta stres juga akan menghantui perempuan yang mengalami glass ceiling pada kariernya. Perempuan seolah dituntut untuk selalu menyeimbangkan antara mengurus keluarga dan pekerjaan secara bersamaan. Hal ini membuat produktivitas perempuan menurun dan kemudian berdampak pada kehilangan kepercayaan akan dirinya sendiri karena merasa tidak dipercaya oleh atasan.
Perempuan jarang diberikan kesempatan untuk berkembang dan membuktikan kemampuannya dalam memimpin karena sejak awal telah dipandang sebagai salah satu kelemahan pada perusahaan oleh rekan kerja serta atasannya.
Hingga saat ini, masih banyak masyarakat yang memandang remeh karier perempuan dan para perempuan yang memilih untuk bekerja. Laki-laki yang telah bekerja seringkali dianggap telah matang dalam segi ekonomi dan dipuji oleh masyarakat, sedangkan perempuan yang berkarier justru dipandang sebagai pembangkang karena tidak mau tunduk terhadap laki-laki sehingga tidak ada laki-laki yang mau menjalin hubungan dengannya.
Ketika berbicara mengenai dampak dari glass ceiling, kesenjangan upah terhadap perempuan juga tidak luput dari pembahasan. Saat perempuan berada di salah satu posisi bawah dalam hierarki perusahaan dan bekerja dua kali lipat daripada karyawan normal, ketidakadilan sering terjadi karena upah yang diberikan tidak sepadan dengan pekerjaan yang telah dikerjakan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari databoks.id dan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2022, tingkat pendapatan rendah perempuan jauh lebih tinggi daripada laki-laki. Data tersebut menunjukkan bahwa 32,11 persen perempuan memperoleh upah bekerja per bulan kurang dari satu juta rupiah, sedangkan pekerja laki-laki yang memperoleh gaji bulanan dengan nominal tersebut hanya 11,77 persen.
Selain itu, hanya 4 dari 10 perempuan yang memperoleh gaji di atas dua juta rupiah per bulan, sedangkan 6 dari 10 laki-laki memperoleh gaji yang sama setiap bulan. Secara keseluruhan, kesenjangan upah gender mencapai angka 22,41 persen per Februari 2022.
Baca juga: Miskonsepsi soal LGBTQ Akan Terus Picu Persekusi
Adanya kesenjangan upah berdasarkan gender sangat merugikan perempuan yang terhalang oleh batasan-batasan yang tak terlihat di dunia karier. Karena upah yang diberikan kepada perempuan lebih rendah daripada laki-laki, akses dan kesempatan perempuan untuk melakukan pembinaan karier, pelatihan, serta promosi agar mereka dapat menembus glass ceiling pun turut berkurang.
Glass ceiling harus segera dihilangkan bersama dengan diskriminasi gender agar kehidupan karier perempuan tidak terus menerus terbelenggu. Selain itu, perusahaan juga harus mampu memberikan apresiasi yang sama terhadap kemampuan baik kepada karyawan perempuan maupun laki-laki.
Penulis: Jessica Kannitha (Komunikasi Strategis, 2021)
Editor: Cheryl Natalia
Foto: freepik.com
Sumber: hive.com, kumparan.com, lbhapik.org, style.tribunnews.com, beautynesia.id, ilostat.ilo.org, npr.org, fimela.com, pewresearch.org, databoks.katadata.co.id, databoks.id