BEKASI, ULTIMAGZ.com – Kepala Bagian Humas Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jasyanto mengimbau masyarakat untuk mematikan lampu atau penggunaan cahaya saat hari “Malam Langit Gelap”, tepatnya pada 6 Agustus 2019 pukul 20.00 s.d 21.00 WIB. Himbauan tersebut berkaitan dengan sosialisasi untuk waspada polusi cahaya yang disampaikan pada Communication Festival “Beyond Stellar” di Grand Metropolitan Mall, Bekasi (03/08/19).
“Efeknya kita lihat, dengan pematian cahaya itu, kita bisa lihat angkanya, kita bisa lihat ukurannya berdasarkan alat-alat yang kita pasang,” ujar Jasyanto.
Kepala Bagian Humas LAPAN itu menjelaskan bahwa himbauan ini membantu penelitian mereka terkait polusi cahaya. Dengan demikian. LAPAN bisa menilai tingkat bahaya polusi cahaya di Indonesia yang pada saat ini belum diukur dengan pasti.
“Polusi cahaya adalah pemakaian cahaya artifisial yang tidak tepat sehingga menyebabkan efek buruk pada lingkungan. Cahaya artifisial berlebih yang dipancarkan ke atas, dihamburkan oleh aerosol seperti awan dan kabut atau partikel kecil seperti polutan di atmosfer,” pungkasnya. Polusi cahaya juga berdampak negatif pada observatorium, kelangsungan hidup hewan, dan kesehatan manusia.
Akibat polusi cahaya ini, berbagai macam masalah pun dapat terjadi, seperti observatorium yang tidak bisa memantau bintang dan mengukur kondisi kecerahan langit, atau bahkan terpaksa harus pindah. Polusi cahaya juga dapat berdampak bagi kehidupan hewan sekitar. Sebut saja jutaan burung yang tewas menabrak billboard yang terlalu terang, cahaya lampu di pantai yang membingungkan anak-anak penyu yang baru menetas sehingga kesulitan mencari arah ke laut, serta cahaya yang juga mengganggu habitat kijang, singa, dan elang.
Pada kesehatan manusia, polusi cahaya dapat mengganggu irama circadian, atau siklus internal manusia yang berfungsi bagaikan “jam”, yang mengakibatkan gangguan konsentrasi, depresi, dan kanker, seperti kanker payudara. Intensitas cahaya juga dapat menekan hormon melatonin sehingga bisa menimbulkan insomnia.
“Jangan gunakan cahaya putih, gunakan cahaya amber agar terangnya tidak putih,” tutur Jasyanto.
Ia menambahkan bahwa masyarakat bisa turut membantu melalui berbagai cara, seperti menggunakan cahaya saat dibutuhkan saja, menggunakan cahaya amber, menghemat daya lampu, menempatkan lampu pada pepohonan yang bisa memblokir cahaya yang berlebihan, dan tidak menggunakan lampu sorot.
Ketua Pelaksana “Beyond Stellar” Eka Ridzky menyayangkan isu polusi cahaya yang masih belum mendapatkan perhatian besar dari masyarakat.
“Orang-orang itu hanya tahu polusi udara, polusi air, polusi listri, kalau polusi cahaya orang-orang di sekitar kita bahkan tidak tahu apa maksudnya,” ujar mahasiswi The London School of Public Relation (LSPR) tersebut. “Paling parah di Jakarta. Mengapa? Billboard-billboard itu sudah terpapar terang banget saat malam hari, juga pencahayaan jalanan.”
Selain di Jakarta, laporan LAPAN tahun 2018 mencatat bahwa polusi cahaya di Bandung, Pasuruan, dan Pontianak termasuk yang paling parah. Dari skala 1 (terbaik) sampai 10 (terburuk), ketiga kota tersebut berada pada skala 8 hingga 9. Di sisi lain, skala 1 berhasil ditempati oleh Kota Timau di Nusa Tenggara Timur (NTT), yang mana kota tersebut mampu menjadi situs langit gelap terbaik.
Penulis: Ignatius Raditya Nugraha
Editor: Audrie Safira Maulana
Foto: Ignatius Raditya Nugraha