JAKARTA, ULTIMAGZ.com—Seni Gerak Budaya (SGB) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) menyelenggarakan pagelaran tari bertajuk Sang Garudheya di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Selasa (24/09/19). Pada perhelatan kelimanya, Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas (UKM-F) yang dikenal sebagai Amertha Bhavani ini mengadaptasi cerita legenda burung garuda yang berasal dari Jawa.
Sang Garudheya sendiri berkisah tentang seorang guru bernama Resi Kasyapa yang mempunyai dua istri bernama Kadru dan Winata. Masing-masing dari mereka dikaruniai oleh beberapa anak berupa naga dan garuda. Meski sang suami memperlakukan mereka secara adil, Kadru masih dilanda oleh perasaan cemburu dan ia telah mencoba segala cara untuk menyingkirkan Winata, hingga suatu hari seekor kuda bernama Ucaihsrawa muncul.
Kemunculan kuda itu merupakan peristiwa yang diakibatkan oleh para dewa ketika mereka mengaduk samudra purba dengan suci amertha sari, sebuah air suci yang membawa keabadian bagi siapapun yang meminumnya.
Kadru pun menantang Winata dalam sebuah taruhan mengenai warna kuda tersebut. Jika salah satu dari mereka menebak warna yang salah, maka ia akan menjadi budak seumur hidup.
Kisah ini menonjolkan berbagai macam moral yang dapat diterapkan di kehidupan sehari-hari. Menurut Meyrinda, selaku Vice Project Officer dari Sang Garudheya, salah satu alasan atas terpilihnya kisah dari Jawa Timur ini adalah sikap tokoh garuda yang dianggap setia dan rela berkorban.
“Intinya, garuda rela melakukan hal apa saja demi melindungi ibu pertiwi,” ujar Meyrinda. “Pesan yang disampaikan dari Sang Garudheya ini sangat basic yang seharusnya masyarakat Indonesia tahu kenapa burung garuda dijadikan simbol negara Republik Indonesia (RI),”
Sikapnya ini pun ditunjukkan ketika garuda rela mendapatkan air suci tersebut untuk para naga demi mengakhiri perbudakan sang ibu yang diakibatkan oleh perbuatan curang Kadru.
Selain itu, pagelaran tari ini juga bertujuan untuk mengedukasi masyarakat bahwa proses belajar tak hanya dapat dilakukan melalui cara akademis, namun juga melalui seni.
Setiap adegan dari awal hingga akhir digambarkan oleh campuran tari tradisional jawa dan tari kreatif yang apik. Di sisi lain, tari kreatif ini juga pernah ditampilkan sebelumnya di sebuah ajang lomba UI bertajuk Art War 2018 dan berhasil meraih peringkat pertama.
“Pas lomba durasinya hanya 15 menit dan full tarian, sedangkan pagelaran dibuat lebih lama hingga satu jam, makanya ada tambahan dialog-dialognya. Ini inspirasi dari pelatih kita karena beliau juga punya sanggar tari,” pungkas Meyrinda.
Masing-masing tarian mempunyai karakteristiknya sendiri berdasarkan alur cerita yang tengah ditampilkan. Tarian tersebut juga diiringi oleh latar musik tradisional dengan sentuhan modern, terutama dengan campuran alat musik gamelan, kolintang, dan drum.
Melalui pagelaran tari ini, Meyrinda berharap bahwa masyarakat dapat lebih mengerti tentang lambang negara Indonesia dan membantu melestarikan budayanya yang beragam.
“Semoga pesan tentang lambang atau simbol negara RI dihayati dan dimaknai maksudnya apa, bukan hanya sekedar ‘tahu’ saja. Selain itu, (kami) ingin mengajak kaum muda untuk tetap cinta dan melestarikan budaya Indonesia jangan sampai terasingkan karena budaya luar,”
Meski diselenggarakan tepat di hari yang sama dengan aksi demonstrasi mahasiswa, selaku Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FEB UI 2019 Ahmad Alfanrigel turut mengapresiasi para penari dan pihak yang memutuskan untuk tetap mengadakan acara ini.
“Perjuangan itu tidak terbatas,” tegas Ahmad dalam kata sambutannya. “Di sini, rekan-rekan dari SGB tengah berjuang dengan caranya, dan mereka sedang mempopulerkan, menyalurkan, dan mengapresiasi seni dan budaya RI sehingga tidak akan pernah hilang. Di situlah mereka berjuang sebagaimana rekan-rekan kita berjuang di depan DPR saat ini,”
Penulis: Audrie Safira Maulana
Editor: Nabila Ulfa Jayanti
Foto: Anisa Arifah