SERPONG, ULTIMAGZ.com – Film horor Indonesia sering kali mengangkat kisah nyata sebagai latar cerita. Berbagai cerita rakyat yang melegenda dan pengalaman supranatural individu seolah menjadi daya tarik tersendiri bagi industri film horor Indonesia. Lantas, mengapa film horor berdasarkan kisah nyata menjadi sangat laris manis di kalangan sineas dan penonton Indonesia?
Popularitas film horor berbasis kisah nyata di Indonesia tak bisa dilepaskan dari kedekatan masyarakat dengan budaya mistis dan spiritualitas. Mengutip dari bentangpustaka.com, banyak sosok hantu Indonesia yang tersebar melalui cerita rakyat (urban legend), seperti wewe gombel, kuntilanak, pocong, dan lainnya. Beberapa ritual adat yang berkaitan dengan alam gaib juga telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di berbagai daerah. Contohnya, pesugihan, rumah sakit angker, dan kampus berhantu telah tumbuh menjadi bagian dari narasi kolektif masyarakat.
Baca juga: Lewat Djam Malam: Karya Film Klasik Indonesia yang Berbicara Tentang Pascarevolusi
Tradisi lisan yang kuat tersebut membuat kisah-kisah mistis terus hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia. Bahkan, cerita yang ada sering kali dianggap sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi dan bukan sekadar dongeng. Budaya tutur dan kepercayaan akan dunia supranatural yang kuat ini mendorong sineas untuk mengangkat kisah-kisah tersebut ke layar lebar. Selain menjadi bagian dari budaya yang mengakar, kisah nyata juga memberikan kesan autentik dan membuat pengalaman menonton terasa lebih nyata.
Cerita yang diklaim berdasarkan kejadian sebenarnya cenderung menimbulkan rasa penasaran dan ketakutan yang lebih dalam. Penonton merasa bahwa hal serupa bisa saja terjadi pada diri mereka atau orang-orang terdekat. Dari sudut pandang industri, pendekatan ini juga dinilai efektif karena tidak hanya menyajikan hiburan, tetapi juga memanfaatkan rasa ingin tahu masyarakat terhadap misteri dan kisah-kisah tersembunyi. Film seperti Danur (2017) yang diadaptasi dari pengalaman Risa Saraswati atau KKN di Desa Penari (2022) yang viral dari cerita di media sosial, menjadi bukti bahwa kisah nyata memiliki daya jual yang tinggi. Bahkan, KKN di Desa Penari menembus 10 juta penonton menjadi film Indonesia terlaris sepanjang masa, dikutip dari cnnindonesia.com.
Film horor dari kisah nyata tidak hanya menarik secara tema, tetapi juga kerap menyisipkan lapisan-lapisan makna sosial di balik ceritanya. Pengamat Film dan Budaya Populer Hikmat Darmawan mengungkapkan bahwa di tengah atmosfer seram, tidak jarang muncul pesan-pesan yang menggambarkan realitas sosial, dilansir dari cnnindonesia.com. Pesan tersebut berfungsi sebagai kritik terhadap ketimpangan atau bentuk cerminan kehidupan masyarakat yang terpinggirkan. Elemen inilah yang secara tidak langsung menambah bobot naratif dari film-film horor Indonesia dan menjadikannya lebih dari sekadar tontonan menegangkan.
Kisah Nyata sebagai Pendekatan Pemasaran
Pengamat film dan akademisi, Moch. Taufik Hidayatullah mengatakan bahwa sebuah film horor dalam industri Indonesia terbagi menjadi dua kelompok, yaitu anorganik dan organik. Berdasarkan kelompok inilah, sebuah film horor akan memiliki label kisah nyata dengan alur cerita yang tidak sepenuhnya ada.

“Terkadang yang kisah nyata itu, kita harus bedakan lagi karena sudah menjadi produk dari sebuah industri. Film itu ada yang anorganik dan organik. Organik biasanya dia menggunakan label tersebut (kisah nyata) karena semata-mata ada dampak yang bisa divalidasi, misalnya dari kisah orang lain. Anorganik adalah kisah yang murni dibuat oleh pembuat film itu sendiri. Contohnya, Petaka Gunung Gede yang dialami oleh Maya Azka dan Ita. Kemudian dari tren (cerita yang) viral dalam media sosial X, KKN di Desa Penari,” jelas Taufik dalam wawancara bersama ULTIMAGZ pada Rabu (23/04/25).
Ia menambahkan bahwa label kisah nyata dari sebuah film dapat menjadi strategi terbaik untuk pemasaran film horor di Indonesia karena banyaknya misteri yang belum terungkap. Lebih lanjut, Ia menjelaskan bahwa film dengan label kisah nyata belum tentu semuanya merupakan kejadian asli karena adanya elaborasi detail-detail dari penulis film.
“Enggak ada yang otentik dari segala label kisah nyata, itu pasti. Film yang mengaku kisah nyata mungkin kisah nyatanya itu adegan kesurupannya aja. Satu adegan dari kisah nyata saja sudah bisa dibilang sebagai kisah nyata. Misalnya, kayak KKN di Desa Penari, iya benar ada KKN (Kuliah Kerja Nyata), iya benar ada yang meninggal, iya betul itu kisah nyata. Tapi yang lain-lainnya bagaimana?” tambahnya.
Label kisah nyata dalam industri film digunakan sebagai pendekatan marketing yang menjadi nilai jual utama kepada penonton. Meskipun tidak secara langsung film akan menarik perhatian penonton, strategi pemasaran dapat melengkapi dan meningkatkan jumlah penonton.
“Teks itu bisa punya dampak psikologis, punya dampak emosional, film bisa buat kita bersimpati atau berempati gitu. Orang film pasti ingin mengejar rasa emosional melalui teks pada marketing-nya. Misalnya, ‘ayo pasukan bermarga kita nonton Ngeri-Ngeri Sedap’ dan lainnya’,” jelas Taufik.
Label ini berkaitan dengan rasa sensasional yang dapat menarik perhatian masyarakat, khususnya pada kelas menengah ke bawah. Hal itu disebabkan oleh adanya kebiasaan dan keinginan orang mencari hiburan yang mudah untuk diakses. Dibandingkan dengan akses literasi atau pembacaan, film lebih bersahabat dan mudah untuk dikonsumsi.
Label Kisah Nyata Berikan Dampak Emosional kepada Penonton
Film horor berdasarkan kisah nyata mempunyai dampak emosional yang membuat penontonnya antisipasi terhadap rasa ketakutan. Lebih laris lagi apabila kisah nyata tersebut memiliki esensi misteri atau sesuatu yang belum terjawab sehingga membuat penonton penasaran. Salah satu contohnya adalah film Vina: Sebelum 7 Hari (tahun rilis), diangkat dari kisah pembunuhan gadis berusia 16 tahun bernama Vina yang diduga menjadi korban pembunuhan berencana.
Selain itu, film horor yang ditonton memfasilitasi keinginan untuk mengetahui sesuatu yang tidak ingin dialami di realita. Contohnya, bertemu hantu seram di rumah terbengkalai dan terkutuk. Kemudian terdapat pula rasa penasaran terhadap apa yang tidak diketahui, tetapi takut untuk mencari tahu atau mengalami kejadian sebenarnya di kehidupan nyata. Mengutip dari rri.co.id, pengalaman sinematik yang diberikan oleh layar lebar dalam bioskop juga menjadi salah satu alasan banyaknya orang yang ingin mengalami horor secara tidak langsung.
Pentingnya Pemikiran Kritis dan Etika dalam Film Berbasis Kisah Nyata
Dalam pembuatan film horor yang didasari oleh kisah nyata, diperlukan pemikiran yang lebih sensitif atau kritis agar tidak melanggar etika dan memberikan dampak negatif. Seperti film Vina: Sebelum 7 Hari yang tidak hanya mengandung topik kekerasan seksual, tetapi juga mengaitkan kaum wanita dan masyarakat pedesaan. Identitas-identitas yang menjadi tokoh dalam film perlu dipertimbangkan untuk tetap menghargai hak privasi.
“Segala film yang pakai label kisah nyata itu adalah marketing approach. Nah, sekarang kalau balik ke kisah nyata kita itu ada film Vina, ada film Norma. Kita sampai pada perhatian untuk melihat apakah film ini sudah menghargai privasi, menghargai aktris, menghargai batas-batas yang mungkin kalau seandainya film itu terwujud, dia punya konsekuensi apa? Apakah dari film itu dia punya kerugian baik material maupun non-material?” Ucap Taufik dalam pertimbangan terkait etika pembuatan film dari kisah nyata.
Baca juga: Dinamika Serikat Pekerja Media dalam Dokumenter Cut to Cut
Jika dilihat melalui pandangan sineas, walaupun mempunyai keuntungan dalam segi peningkatan ekonomi di industri film horor, sama dengan tren lainnya kategori ini mempunyai umur pendek. Film horor berdasarkan kisah nyata terus-menerus diproduksi karena keinginan pasar yang bersifat repetitif dan digunakan sebagai label marketing approach. Hal tersebut menyebabkan pengurangan di diversifikasi genre.
Banyak sekali film horor yang mengambil inspirasi dari sebuah cerita yang bergejolak di sosial media. Namun, bukan berarti film tersebut menyajikan fakta atas kejadian nyata. Oleh karena itu, sebagai masyarakat yang memberikan faktor dorongan terhadap permintaan pasar di industri film horor, Ultimates harus lebih kritis terhadap sebuah karya.
Penulis: Clarisa Renata, Jemima Anasya R.
Editor: Jessie Valencia
Foto: ULTIMAGZ/Peter Jonathan
Sumber: bentangpustaka.com, cnnindonesia.com, cnnindonesia.com, rri.co.id.