SERPONG, ULTIMAGZ.com – Sejak beberapa tahun terakhir, film horor Indonesia banyak diangkat dari cerita rakyat. Elemen mistis yang kuat dipadukan dengan latar budaya populer membuat film-film ini terasa lebih “dekat” dan menakutkan bagi penonton lokal.
Melansir tempo.co, cerita rakyat merupakan kisah yang berasal dari masyarakat dan berkembang pada masa lampau. Cerita rakyat menjadi ciri khas setiap bangsa yang mempunyai kultur budaya dan sejarah.
Cerita rakyat biasanya mengisahkan asal-usul suatu tempat, tokoh, atau benda, serta kejadian yang terjadi di sekitar masyarakat setempat. Contohnya adalah cerita Timun Mas yang bercerita tentang perjuangan seorang gadis melawan raksasa dengan bantuan kekuatan magis, dan Malin Kundang yang mengandung pesan moral tentang pentingnya berbakti kepada orang tua.
Baca juga: Telusuri Jejak dan Potensi Industri Film Horor Indonesia
Di Indonesia, cerita rakyat sangat beragam serta melekat kuat dalam kehidupan masyarakat. Banyak diantaranya mengandung unsur makhluk gaib dan sosok-sosok makhluk halus yang dipercaya secara turun-temurun ada kehadirannya. Hal ini menjadikannya bahan yang menarik untuk diangkat menjadi film, terutama dalam genre horor.
Contohnya, KKN di Desa Penari (2022) yang diadaptasi dari sebuah unggahan viral di X dan berbasis cerita rakyat menjadi film Indonesia terlaris sepanjang masa. Film ini berhasil memperoleh lebih dari 10 juta penonton di bioskop, dan mengalahkan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 (2016), dilansir dari bbc.com.
Tingginya popularitas film yang berbasis cerita rakyat memicu pertanyaan mengapa film horor berdasarkan cerita rakyat sangat diminati di kalangan penikmat film Indonesia. Selain itu, aspek menarik lain yang menjadi perhatian adalah banyaknya film horor yang diangkat kisahnya dari pulau Jawa.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ULTIMAGZ melakukan wawancara bersama Paulus Heru Wibowo Kurniawan, S.S., M.Sn. salah satu dosen program studi (prodi) Film & Animasi Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Menurutnya, banyak faktor yang mendasari hal tersebut, mulai dari kemunculan budaya luar, pasar masyarakat, hingga keterkaitan dengan Orde Baru.
Kebangkitan Film Horor Indonesia di Era Orde Baru dan Popularitasnya
Menurut Heru, kemunculan film Indonesia yang berdasarkan cerita rakyat dimulai sejak awal 1970-an. Hal tersebut berkaitan erat dengan masuknya budaya populer di Indonesia yang mana dilarang sepanjang era Orde Baru (1966-1998).
“Budaya barat seperti musik, rock dilarang, tidak boleh. Termasuk juga film-filmnya. Nah, di 1970-an, mulai berlimpah, salah satunya adalah film horor. Tapi, di 1970-an saat itu posisinya sangat kecil. Tapi memang sudah ditampilkan prinsip-prinsipnya, yaitu mengeksplorasi rasa takut. Kemudian terus berkembang sampai tahun 1980-an, tiba-tiba, horor Indonesia menjadi yang cukup digemari” ujar Heru saat ditemui ULTIMAGZ pada Rabu (16/04/25).
Heru mengatakan salah satu pelopornya adalah Suzanna. Kembali melansir tempo.co. Suzzanna Martha Frederika van Osch Natalia adalah bintang film Indonesia yang karyanya selalu dinantikan banyak orang. Beberapa film yang dibintanginya tidaklah asing, seperti Bernafas dalam Lumpur (1970), Bumi Makin Panas (1978), Ratu Ilmu Hitam (1981), dan masih banyak lagi. Keberhasilan film-film tersebut membuatnya semakin populer dan mendapatkan gelar sebagai Ratu Film Horor Indonesia.
Cerita Rakyat Sebagai Sumber Inspirasi Film Horor Indonesia
Heru kembali menjelaskan bahwa pemanfaatan cerita rakyat sebagai sumber cerita sudah ada sejak dahulu. Banyaknya jumlah cerita rakyat Indonesia membuat industri film lokal tidak pernah kehabisan referensi.
Film horor berdasarkan cerita rakyat memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Cerita rakyat, mitos lokal, dan legenda desa menjadi sumber cerita yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Keberadaan karakter dan kisah yang sudah dikenal ini menciptakan rasa kedekatan emosional dan identifikasi personal bagi penonton, sehingga mereka merasa terwakili dalam cerita yang diangkat. Oleh karena itu, film horor berbasis cerita rakyat tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga bagian dari budaya populer yang terus berkembang
“Memang sudah ada formatnya, kita itu lebih mengenal daerah terlebih dulu daripada budaya visual karena kita menyukai dongeng dan dongeng itu banyak. Oleh karena itu, Indonesia luar biasa, setiap daerah memiliki cerita horor masing-masing. Ketika memasuki industri film horor, hal ini dieksplorasi terus hingga berlanjut ke masa Reformasi” tambahnya.
Setelah masa Reformasi (1998), era baru dimulai. Sineas Indonesia saat itu mencari bentuk baru untuk dijadikan film. Namun, ada satu yang tidak berubah yaitu film horor Indonesia masih dibuat berdasarkan cerita rakyat, seperti mitos, legenda, dan fabel. Bentuk yang berkembang paling banyak adalah mitos, kepercayaan yang berkaitan dengan adanya makhluk-makhluk mengerikan.
Dominasi Budaya Jawa dalam Film Horor Indonesia dan Kurangnya Eksplorasi
Menurut Heru, sineas Indonesia mulai melakukan eksplorasi kisah-kisah dari berbagai daerah untuk diangkat menjadi film sejak 1980-an. Namun, sebagian hasil film yang dibuat berdasarkan eksplorasi tersebut mengangkat budaya Jawa. Hal ini menjadikan budaya Jawa sebagai eksploitasi tersendiri di industri film horor Indonesia.
“Akhirnya, eksplorasi itu menjadi eksploitasi, yang di eksploitasi adalah budaya Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sunda juga ada, tetapi sedikit, Sumatera tidak ada, Padang tidak ada, Aceh tidak, Papua tidak. Mengapa? Di satu sisi, kalau melihat film yang berkembang pada masa Orde Baru saat itu, Presiden Soeharto seperti memberi sebuah ketetapan, bahwa budaya Jawa adalah budaya yang agung.” ujar Heru.

Melansir arahbaru.com, pada masa Orde Baru, terjadi primordialisme yang tinggi dari suku Jawa, sampai disebut dengan Jawanisasi. Namun, saat itu industri film Indonesia tidak terpengaruh. Justru, film horor Indonesia terpengaruh sejak empat sampai enam tahun terakhir, yang disebabkan oleh tiga faktor yang menjadi alasan film horor Indonesia kental dengan budaya Jawa.
Pertama, banyaknya penonton dari Jawa. Kedua, banyak mitos berasa dari Jawa yang mudah dikenal atau dieksplorasi, seperti dukun, aturan-aturan atau tabu. Ketiga, sebagian besar produksi film dilakukan hanya di daerah Jawa untuk efektivitas menghindari penggunaan biaya yang banyak.
Heru menambahkan bahwa sebenarnya terdapat budaya lain yang diangkat menjadi film horor. Misalnya kuyang, hantu kepala terbang dan dipergunakan dukun untuk santet di daerah Kalimantan. Kemudian ada pula calon arang, seorang dukun wanita yang sangat sakti, tetapi ditakuti oleh masyarakat Bali.
“Tapi tidak diteruskan, tidak ada yang lain. Jangan-jangan memang pembuat film atau produser film, atau sutradara film kurang mencoba mengeksplorasi folklore di Nusantara dan belum ada research yang serius. Itu yang saya lihat ya, masih banyak yang belum dieksplorasi,” jelas Heru.
Banyaknya film horor Indonesia yang mengangkat cerita rakyat dari daerah Jawa membuat budaya Jawa sering dikaitkan dengan hal-hal mistis dan angker. Misalnya, lagu “Lingsir Wengi” sebenarnya diciptakan oleh Sunan Kalijaga sebagai doa untuk memohon perlindungan dari hal buruk, tetapi masyarakat lebih percaya bahwa lagu tersebut dapat memanggil makhluk halus. Ini menciptakan suatu stereotipe bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan sejarah atau budaya Jawa itu menyeramkan, dilansir dari kumparan.com.
Simak Rekomendasi Film Horor Cerita Rakyat Jawa
Banyak sekali film horor Indonesia yang mengangkat cerita rakyat, mitos, dan legenda yang telah ada sejak lama. Dengan banyaknya film horor Indonesia yang diangkat dari budaya daerah Jawa, apakah Ultimates penasaran dengan beberapa judulnya? Siap membuat bulu kuduk Ultimates berdiri, berikut adalah beberapa film horor Indonesia yang diangkat dari cerita rakyat daerah Jawa.
1. Satu Suro (2019)
Satu Suro dirilis pada 31 Januari 2019 dan disutradarai oleh Anggy Umbara. Film ini menceritakan pasangan yang merasakan gangguan dari makhluk halus sejak menempati rumah baru.
“Malam satu suro adalah hari rayanya makhluk halus,” kata seorang warga dalam salah satu adegan, dilansir dari kompas.com. Maka dari itu, Satu Suro diangkat dari budaya masyarakat Jawa yang menganggapnya sebagai malam keramat atau sakral.
2. Perempuan Pembawa Sial (2023)
Perempuan Pembawa Sial merupakan film horor produksi IDN Pictures. Film ini mengangkat mitos perempuan bahu laweyan dari budaya Jawa. Masyarakat Jawa percaya bahwa perempuan dengan ciri bahu laweyan (tanda air sebesar koin di bahu kirinya) akan menjadi petaka dan pembawa sial, dilansir dari kumparan.com. Film horor kedua karya sutradara Fajar Nugros ini menceritakan kisah dua saudara tiri perempuan yang mendapat kutukan bahu laweyan tersebut.
3. Sewu Dino (2023)
Sewu Dino digarap oleh sutradara Kimo Stamboel dan diproduksi oleh MD Pictures. Sewu Dino menceritakan kisah Sri dengan keunikannya, yaitu lahir pada Jumat Kliwon. Ia ditugaskan untuk melakukan ritual penyucian bagi orang yang mengalami kutukan santet sewu dino atau seribu hari. Melansir mdentertainment.com, kutukan sewu dino membuat keluarga yang disantet akan merasakan sakit yang tak wajar selama 1000 hari penuh hingga menemui ajalnya.Representasi budaya Jawa pada film ini adalah ritual sewu dino, yang menjadi praktik mistis dalam masyarakat Jawa.
4. Primbon (2023)
Film karya penulis Lele Laila ini menceritakan kisah kehidupan keturunan kerajaan dalam keluarga Jawa. Melansir tempo.co, film ini mengangkat budaya Jawa mengenai Primbon, sebuah kitab leluhur Jawa. Kitab Primbon sendiri dipercaya sebagai kitab yang berisikan perhitungan hari baik dan hari naas, uga buku yang menghimpun berbagai pengetahuan spiritual kejawaan, dilansir dari detik.com. Pada film ini, para tokoh meyakini kepercayaan dalam kitab Primbon bahwa kembalinya seseorang yang dianggap sudah meninggal adalah hal yang janggal.
Itulah keempat film yang memiliki unsur budaya Jawa di dalamnya. Apakah Ultimates tertarik untuk menontonnya?
Film Horor Indonesia, Panduan yang Menjadi Alegori Kehidupan Bersama
Sampai sekarang, masyarakat Indonesia masih terpesona dengan semacam imaji bahwa film horor berfungsi untuk menakuti orang. Jika semakin seram, film akan menjadi lebih menarik. Ketika film dibuat lebih sadis, maka akan semakin luar biasa. Heru menyatakan bahwa hal tersebut sangat mengerikan. Konten cerita daerah yang sebenarnya mengupas tentang kebijaksanaan akan hilang dan tidak dilihat orang. Banyak orang akan melihat sadisme sebagai acuan dari film horor.
Heru menilai bahwa sebaiknya industri film horor mulai berpikir bahwa ketakutan bukan hal yang utama, melainkan menjadi alegori untuk kehidupan bersama. Horor dapat menjadi panduan mengenai bagaimana masyarakat bersikap terhadap “yang lain”.
Baca Juga: Review: Film Horor Dreadout Adaptasi Game Asal Indonesia
“Jadi, horor bukan berkaitan dengan sadisme, dengan ditakut-takuti, tetapi dengan cara bagaimana film horor dapat menjadi alegori bagi kehidupan bersama. Otherness itu menjadi kunci dari itu semua. Dengan demikian, cerita rakyatnya pun akan berkembang. Kalau banyak cerita rakyat menjadi sumber bagi film, saya rasa akan muncul cerita-cerita rakyat yang baru,” tambah Heru.
Film horor dapat menjadi sarana untuk mengembangkan cerita rakyat Indonesia. Jika produksi film horor lebih dieksplorasi dari berbagai budaya, cerita rakyat di Indonesia akan semakin dilirik oleh masyarakat. Setelah membaca informasi di atas, apakah Ultimates setuju bahwa kebanyakan film horor di Indonesia berasal dari cerita rakyat daerah Jawa?
Penulis: Jocellyn Lee Kurnianto, Zalfa Zahiyah Putri Wibawa
Editor: Jessie Valencia
Foto: ULTIMAGZ/Andita Chayara
Sumber: tempo.co, bbc.com, kompas.com, kumparan.com, mdentertainment.com, detik.com, arahbaru.com.