SERPONG, ULTIMAGZ.com – September kerap hadir sebagai bulan kelam dalam sejarah Indonesia. Dimulai dari dentuman peluru, sikap represif aparat, hingga nyawa yang dibungkam sunyi. Kini, September 2025 kembali mengingatkan masyarakat bahwa sejarah tidak pernah usai sampai keadilan benar-benar ditegakkan.
Lebih dari sekadar penanda waktu, September menjadi ruang ingatan atas berbagai tragedi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang tak kunjung muncul hilal-hilal penuntasannya. Tak heran bila September melekat dengan panggilan September Hitam yang mana masyarakat diajak untuk menolak lupa atas dosa dan janji-janji negara terhadap para aktivis, mahasiswa, hingga rakyat sipil yang gugur.
Baca juga: Diracun di Udara: Mengenang Sang Aktivis HAM, Munir
Maka apa saja peristiwa kelam yang harus terus Ultimates ingat pada September ini?
1. Tragedi ‘65
Tragedi ’65 menjadi salah satu bab paling kelam dan berdarah dalam sejarah Indonesia. Melansir kompas.com, tragedi ini bermula dengan pembunuhan sejumlah perwira tinggi TNI dan anggota polisi pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965. Setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S), jutaan orang ditangkap, diculik, dan dibunuh atas tuduhan keterlibatan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) tanpa proses hukum yang jelas.
Operasi pembantaian antek-antek PKI ini berlangsung luas dan menyebar ke berbagai daerah yang dianggap markas PKI dengan korban jiwa diperkirakan mencapai lebih dari setengah juta jiwa. Hingga kini, kasus pelanggaran HAM berat ini masih dibenarkan oleh negara dan tidak ada bentuk penuntasan maupun tanggung jawab penuh terhadap korban ataupun keluarga korban yang masih menanggung luka pasca Tragedi ‘65.
2. Peristiwa Tanjung Priok
Terjadi pada 13 September 1984, Peristiwa Tanjung Priok menjadi salah satu insiden berdarah ketika aparat keamanan membubarkan jamaah salat Jumat di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mulanya, Sersan Hermanu, seorang Babinsa, mendatangi masjid dan meminta pengurus Amir Biki menurunkan brosur serta spanduk yang berisi kritik terhadap pemerintah.
Penolakan Biki mendorong Hermanu untuk menurunkannya sendiri, tetapi tindakannya masuk ke area masjid tanpa melepas sepatu memicu kemarahan warga, dikutip dari kompas.com. Massa yang dipimpin Syarifuddin Rambe dan Sofwan Sulaeman pun membakar motor Hermanu dan menyerangnya.
Kerusuhan yang terjadi dipenuhi teror, penangkapan sewenang-wenang, hingga banyaknya laporan eksekusi di tempat, dilansir dari detik.com. Banyak korban jiwa dan luka berjatuhan menjadi bukti bahwa negara saat itu menggunakan tangan besinya untuk membungkam masyarakat.
Insiden ini segera menuai perhatian luas, baik dari dalam maupun luar negeri, dengan munculnya pertanyaan terkait kebijakan pemerintah yang mengorbankan nyawa rakyat demi stabilitas semu. Meski lebih dari empat dekade telah berlalu, keadilan bagi korban tidak pernah benar-benar ditegakkan
3. Tragedi Semanggi II
Hampir setahun setelah tragedi penembakan di Semanggi yang menewaskan Bernadinus Realino Norma Irawan atau akrab dipanggil Wawan, gelombang aksi mahasiswa di Jakarta dan berbagai daerah tetap berlanjut untuk mengawal jalannya pemerintahan transisi.
Melansir BBC.com, pada 24 September 1999, rencana pengesahan Undang-undang (UU) Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) kembali menyulut demonstrasi besar. Aturan yang dimaksudkan menggantikan UU Subversif itu dipandang terlalu otoriter.
Insiden penembakan pun terulang dengan catatan dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang melaporkan 11 orang meninggal di seluruh Jakarta, termasuk mahasiswa Universitas Indonesia Yap Yun Hap. Sementara itu, 217 orang mengalami luka.
Kasus penembakan mahasiswa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (TSS) hanya menyeret pelaku lapangan ke meja hijau, sementara aktor utama tak tersentuh. Meski sempat dibentuk Panitia Khusus (Pansus) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 2000, mayoritas fraksi menolak menyebutnya sebagai pelanggaran HAM berat.
Komnas HAM kemudian membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM yang menemukan bukti keterlibatan puluhan perwira TNI/Polri, Namun, hasil penyelidikan yang diserahkan ke Kejaksaan Agung pada 2002 ditolak dengan alasan kasus sudah diproses di peradilan militer. Sejak saat itu, penyelesaian hukum kasus TSS mandek di tarik-ulur politik antara DPR, Komnas HAM, dan Kejaksaan Agung.
Hingga pemerintahan Jokowi, janji penuntasan kasus HAM masa lalu tak juga terwujud. Wacana pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pun tak membawa hasil konkret, dilansir dari BBC.com. Dua dekade setelah reformasi, keluarga korban dan masyarakat sipil menilai penanganan kasus TSS bukan hanya stagnan, tetapi justru mundur, memperlihatkan bagaimana negara masih enggan menuntaskan warisan kelam pelanggaran HAM.
4. Pembunuhan Munir
Munir Said Thalib dikenal luas sebagai pembela HAM yang gigih, terutama pada masa Orde Baru. Sebagai anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH), ia aktif membela buruh, mahasiswa, pemuda, dan kelompok tertindas lainnya. Namun, perjuangan heroiknya terhenti tragis pada 7 September 2004 ketika ia diracun dengan arsenik dalam penerbangan Garuda Indonesia GA-974 dari Jakarta menuju Belanda, tempat ia berencana melanjutkan studi di Universitas Utrecht, dilansir dari tempo.co. Munir mulai merasakan sakit parah setelah transit di Changi, Singapura dan akhirnya dinyatakan meninggal di atas udara Rumania.
Autopsi yang dilakukan otoritas Belanda dua bulan kemudian memastikan bahwa kematiannya disebabkan kadar arsenik sangat tinggi dalam tubuhnya. Kasus ini segera menimbulkan kecurigaan adanya pembunuhan berencana. Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda, ditetapkan sebagai pelaku yang memasukkan racun ke tubuh Munir dengan dukungan surat tugas khusus dari Direktur Utama Garuda saat itu, Indra Setiawan.
Meski Pollycarpus dijatuhi hukuman 20 tahun penjara yang kemudian dikurangi menjadi 14 tahun dan bebas pada 2018, penyelidikan tidak pernah benar-benar menyentuh dalang utama. Melansir tempo.co, keterlibatan pihak-pihak berpengaruh masih samar, meninggalkan pertanyaan besar tentang siapa yang sebenarnya berada di balik pembunuhan salah satu pejuang HAM paling berani di Indonesia.
5. Aksi Demonstrasi Reformasi Dikorupsi
Pada 2019, mahasiswa Indonesia kembali menunjukkan bahwa suara rakyat tidak bisa dibungkam lewat aksi “Reformasi Dikorupsi”. Ribuan mahasiswa dari berbagai kampus turun ke jalan karena muak dengan merajalelanya praktik korupsi dan kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan kepentingan politik serta bisnis ketimbang publik. Melansir detik.com, mereka menolak UU KPK yang melemahkan pemberantasan korupsi, mengkritik berbagai RUU bermasalah, sekaligus menuntut penegakan HAM, birokrasi yang bersih, serta penghentian kerusakan lingkungan.
Namun, alih-alih mendengarkan aspirasi mahasiswa, negara justru merespons dengan kekerasan. Bentrokan pecah di berbagai kota hingga meninggalkan luka fisik dan trauma akibat aparat yang mulai mengangkat senjata.
#ReformasiDikorupsi jadi pengingat keras bahwa mahasiswa adalah pengawal moral bangsa ketika negara melenceng. Mereka siap berdiri di garis depan untuk menagih janji reformasi yang belum ditepati.

Baca juga: Sejarah Aksi Kamisan: Perjuangan 17 Tahun Menuntut Keadilan Kasus Pelanggaran HAM Berat
Dari Tanjung Priok, Semanggi, Trisakti, hingga pembunuhan Munir, jejak pelanggaran HAM di Indonesia selalu meninggalkan luka tanpa kepastian keadilan. Aksi Kamisan yang telah berjalan untuk ke-876 kalinya menjadi pengingat bahwa semua tragedi itu saling terhubung dalam pola impunitas yang sama.
Selama negara terus mengabaikan suara korban, demokrasi hanya akan berdiri rapuh. Aksi Kamisan tetap hadir tiap pekan, menjaga ingatan sekaligus menagih janji keadilan yang tak kunjung ditepati.
Hidup korban, jangan diam, lawan!
Penulis: Radella Dagna
Editor: Jessie Valencia
Foto: Radella Dagna
Sumber: kompas.com, detik.com, BBC.com, tempo.co