SERPONG, ULTIMAGZ.com — Perempuan itu akhirnya sampai di rumah. Dia baru saja selesai memandang keindahan alam yang belum banyak disentuh tangan manusia dan teknologi di pulau Sumatera. Mulai dari pegunungan, danau, pantai, bahkan daerah kecil yang masyarakatnya masih bercocok tanam untuk sumber pencaharian utama.
Namun, rasa senang itu membuat Sarah Adipayanti lupa akan sesuatu yang beberapa menit kemudian dia ingat kembali. Tabungannya menipis karena petualangan yang baru diakhirinya tadi. Belum lagi dia harus menghadapi fakta bahwa dirinya telah mundur dari pekerjaannya pada Juni 2017, sebelum melakukan perjalanannya berkeliling alam.
“Waktu itu aku sempat kerja di Organisasi Non-Pemerintah (NGO). Setelah itu aku keluar dan traveling, nah pulang-pulang uang tipis, sudah tidak ada kerjaan,” kenang Sarah melalui telepon daring aplikasi Whatsapp.
Tidak terlalu larut dalam rumitnya keuangan, dia lebih tertarik pada satu pertanyaan yang melayang-layang di pikirannya. Setelah melewati semua perjalanan itu, dia mempertanyakan asal-usul makanan. Sarah seketika membandingkan gaya hidup orang perkotaan yang sangat konsumtif untuk mengisi perut dengan kehidupan bercocok tanam ala masyarakat pedesaan atau mengambil secara langsung bahan makanan dari alam bebas.
“Pulang ke kota, ya kita selalu didorong untuk konsumtif. Beli, beli, dan beli lagi,” jelas Sarah dengan nada mengalun setengah kesal. “Jadi dari sana mulai mempertanyakan, sebenarnya asal-usul makanan itu dari mana sih? Kalau traveling (ke alam) kan bisa ngambil dari hutan, semua kan disediakan oleh alam secara gratis,” lanjutnya.
Bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan itu, tidak lama kemudian saudara tua Sarah membawa berita kepada sang adik bahwa komunitas bercocok tanam, bernama Kebun Kumara yang didirikan oleh temannya, sedang membuka pendaftaran relawan untuk menggarap lahan organik. Sarah seperti menemukan titik terang, dia langsung mendaftarkan diri untuk bergabung dengan komunitas tersebut. Selain ingin belajar bercocok tanam, dia memilih bergabung karena merasa dirinya yang menikmati keindahan, tidak pernah melakukan tindakan berarti untuk alam.
“Bergabung pertama sebagai relawan. Aku juga jadi berpikir, aku suka alam, aku cinta alam, tapi selama ini aku pun hanya sebagai penikmat saja, belum pernah ada timbal balik sendiri ke alam,” pungkasnya.
Tidak sia-sia bergabung dengan Kebun Kumara. Sarah yang kini menjadi koordinator belajar di Kebun Kumara kemudian menemukan jawaban dari semua permasalahan yang berputar di pikirannya. Tidak hanya belajar untuk menghasilkan makanannya sendiri dan mengerti masalah-masalah seputar gaya hidup perkotaan yang konsumtif, dia juga menemukan masalah utama yang kerap terjadi di perkotaan.
Manajemen lingkungan dan makanan sehat bisa jadi adalah masalah yang paling disorot oleh perempuan lulusan Universitas Pelita Harapan (UPH) pada 2015 itu. Dia menemukan beberapa masalah umum di perkotaan, yakni menumpuknya sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), harga makanan organik yang melangit, dan tidak kenalnya masyarakat dengan aktivitas bercocok tanam.
Tumpukan Sampah di TPA yang menjadi pemandangan biasa di perkotaan sebenarnya adalah masalah besar. Padahal, sampah-sampah itu bisa diolah lagi menjadi ecobrick, botol sekali pakai yang diisi dengan sampah-sampah plastik sampai padat untuk menggantikan batu bata. Selain itu, sampah organik dapat dijadikan pupuk kompos. Masalahnya jika terus dibiarkan, tumpukan sampah di TPA akan menyumbang gas berbahaya yang menyebabkan pemanasan global.
Selain sampah, Sarah juga menyoroti masalah kesehatan. Masyarakat memang mengerti produk organik adalah makanan yang sehat. Pun demikian, makanan-makanan tersebut cenderung mahal harganya. Hal tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi karena bahan makanan organik itu bisa ditanam sendiri di rumah. Namun sangat disayangkan, di tengah gaya hidup metropolitan, masyarakat tidak familiar dengan bercocok tanam.
Lagipula masih terkait dengan kesehatan, mengenal makanan yang masuk ke perut adalah hal penting. Asal-usul bahan-bahan tersebut menjadi krusial. Alasannya karena makanan yang kita makan akan berpengaruh kepada tubuh. Dengan menanam sendiri, selain mengikis biaya, kita juga dapat paham proses tanaman itu ditumbuhkan sehingga bisa menjadi makanan sehat.
“Sebenarnya, pola pikirnya itu harus diubah menjadi ‘kenapa harus beli? kan bisa tanam sendiri’, begitu,” ujar Sarah.
Penulis: Andrei Wilmar
Editor: Andi Annisa Ivana Putri, Elisabeth Diandra Sandi
Foto: waste4change.com