SERPONG, ULTIMAGZ.com – Tempe sebenarnya memiliki perjalanan panjang yang dimulai ratusan tahun lalu. Proses kelahirannya bermula dari desa kecil di Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Makanan yang dianggap biasa oleh masyarakat Indonesia ini ternyata menyimpan kisah epik hingga mengubah dunia kuliner global. Proses kelahirannya lebih dari sekadar teknik memasak. Olahan ini juga menjadi simbol ketahanan hidup dan penemuan tak terduga.
Kelahiran Tempe di Bayat, Klaten
Melansir historia.id, cerita dimulai sekitar abad ke-16 atau ke-17 di Klaten ketika warisan Nusantara ini pertama kali diciptakan. Kedelai dibawa oleh pedagang Tiongkok pada abad ke-10 atau ke-11. Saat itu, kedelai digunakan dalam bentuk sederhana seperti tahu. Namun, di Bayat, kedelai yang tersisa atau terbuang ditempatkan di daun pisang atau bambu. Secara tidak sengaja, kedelai terfermentasi oleh jamur Rhizopus oligosporus hingga mengubah kedelai menjadi tempe. Menariknya, proses ini sepenuhnya terjadi secara kebetulan. Masyarakat setempat mulai mencoba makanan tersebut dan mendapati bahwa olahan kedelai ini memiliki rasa yang lezat dan bergizi. Inilah awal mula kelahiran tempe sebagai makanan yang akhirnya menjadi fenomenal.
Baca juga: Susu Kecoak: Inovasi Pangan Masa Depan atau Sekadar Sensasi
Melansir news.harianjogja.com, nama “tempe” sendiri berasal dari bahasa Jawa Kuno, yakni “tumpi”. Kata tersebut digunakan untuk menggambarkan makanan berwarna putih layaknya tempe segar. Selain itu, ada pula pendapat bahwa kata “tempe” berasal dari “tape” yang merujuk pada fermentasi khas Nusantara. Sejak saat itu, tempe menjadi senjata rahasia masyarakat Jawa.
Tidak hanya murah dan mudah dibuat, maknanan fermentasi kedelai ini juga kaya akan protein dan gizi sehingga menjadikannya sebagai pilihan makanan yang tepat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Serat Centhini, sebuah naskah Jawa terbitan 1814, tempe disebut sebagai hidangan harian yang disajikan bersama sambal dan santan, dilansir dari kompas.id.
Tempe sebagai Penyelamat saat Masa-Masa Sulit
Melansir detik.com, pada abad ke-16, makanan berbasis kedelai ini menjadi penyelamat selama masa paceklik, yaitu saat sumber protein seperti daging sangat sulit didapat. Bahkan pada masa tanam paksa, makanan ini menjadi penyelamat bagi masyarakat lokal yang terpaksa bekerja keras di tengah keterpurukan ekonomi. Hingga kini, cara pembuatan tempe menggunakan daun pisang di Bayat masih dipertahankan sebagai warisan budaya yang patut dibanggakan.
Namun, makanan kaya protein ini tidak hanya bertahan di Indonesia. Seiring berjalannya waktu, tempe mulai dikenal oleh orang-orang Belanda yang datang ke Hindia pada abad ke-19. Mereka terkesan dengan kelezatan dan manfaatnya. Dengan begitu, kedelai olahan ini perlahan mulai menyebar ke Eropa. Meskipun makanan ini belum menjadi fenomena besar kala itu, muncul dugaan bahwa tempe suatu saat akan menjadi makanan global yang dicintai banyak orang.
Tempe Menembus Batas Global
Melansir kumparan.com, kebangkitan tempe di dunia internasional semakin nyata selama Perang Dunia II (1939-1945). Makanan kaya nutrisi ini menjadi sumber pangan yang berhasil menyelamatkan para tawanan perang Belanda dari ancaman kelaparan. Seorang tawanan bernama Roelofsen mampu meniru cara masyarakat lokal membuat tempe dari kedelai. Makanan ini kemudian berperan penting dalam menekan angka kematian akibat kekurangan protein di kalangan para tawanan. Penemuan ini mengejutkan para ilmuwan Barat yang kemudian mulai tertarik untuk mempelajari lebih dalam tentang manfaatnya. Penelitian lebih lanjut membawa hidangan Nusantara ini ke pusat perhatian dunia kuliner.
Salah satu pionir yang berperan penting dalam mempopulerkan tempe di dunia internasional adalah Yap Bwee Hwa, peneliti asal Indonesia. Pada 1958, Yap memulai eksperimen fermentasi kedelai ini di Amerika Serikat (AS) dan berhasil membuktikan bahwa olahan ini mengandung banyak nutrisi penting. Penelitian ini membuka jalan bagi hidangan bergizi khas Indonesia ini untuk dikenal lebih luas di dunia Barat, dilansir dari tempo.co.
Penyebaran Tempe ke Dunia Barat
Mengutip dari uns.ac.id, tempe telah dikenal di berbagai belahan dunia seperti Eropa, Amerika, serta beberapa negara Asia seperti Jepang dan Cina. Di Eropa, olahan kedelai ini mulai dikenal berkat imigran Indonesia di Belanda pada 1946. Dari Belanda, makanan ini pun mulai tersebar ke negara-negara Eropa lainnya, seperti Belgia, Jerman, dan Prancis.
Peneliti William Shurtleff dan Akiko Aoyag turut berkontribusi dalam menjadikan tempe sebagai superfood di Barat. Mereka menulis buku berjudul The Book of Tempeh (1979) yang mengulas berbagai manfaat serta gizinya. Fermentasi jamur dengan kedelai ini semakin dikenal karena sifatnya yang ramah lingkungan dan tinggi protein sehingga mulai dipertimbangkan sebagai makanan sehat di banyak negara.
Baca juga: Nasi Putih Dingin, Cara Rahasia Lebih Sehat Konsumsi Nasi
Kini, tempe sudah menjadi ikon kuliner dunia. Dari burger vegan di New York hingga steak vegan di Paris, olahan kedelai ini hadir di berbagai menu internasional. Di Prancis, makanan ini tetap diminati meskipun dijual dengan harga cukup tinggi, yaitu sekitar empat hingga delapan Euro per bungkus. Bahkan tempe di Australia memiliki rasa lokal yang khas sehingga memperkaya keanekaragaman kuliner dunia.
Tempe sudah menjadi bagian dari tren makanan global dan membuktikan bahwa makanan sederhana yang diciptakan dari kedelai ini memiliki dampak besar pada dunia kuliner. Setiap kali menikmatinya, Ultimates sebenarnya menikmati bagian dari sejarah panjang yang melibatkan ketahanan hidup dan perjuangan untuk memopulerkan kuliner Indonesia ke dunia internasional.
Penulis: Nasywa Agnesty
Editor: Jessie Valencia
Foto: Pixabay/Bintang_Galaxy
Sumber: historia.id, news.harianjogja.com, detik.com, kumparan.com, tempo.co, uns.ac.id