SERPONG, ULTIMAGZ.com – Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) telah diresmikan sejak awal tahun 2015 lalu. Namun, setelah hampir satu setangah tahun berlalu, bagaimana kabarnya? Dan bagaimana persiapan Indonesia terkait MEA?
Sebenarnya, MEA bukanlah “barang” baru. Hal ini sudah dibicarakan pertama kali di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang diselenggarakan di Kuala Lumpur, Malaysia, pada tahun 1997. Pada KTT tersebut, para pemimpin ASEAN memutuskan untuk menjadikan negara-negara di Asia Tenggara menjadi suatu kawasan yang makmur, stabil, dan dapat bersaing dalam perkembangan ekonomi yang berlaku adil dan dapat mengurangi kesenjangan dan kemiskinan sosial ekonomi (ASEAN Vision 2020).
Untuk sebagian orang, pengertian sederhana MEA adalah merupakan kesempatan bagi tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di negara yang tergabung dalam ASEAN, dan sebaliknya. Hal ini seolah menjadi angin segar bagi masyarakat Indonesia. Salah satunya kesempatan merasakan atmosfer kerja yang beda dari sebelumnya, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ibarat bumerang, Indonesia “melempar” barang dan jasa, serta tenaga kerja yang terampil ke luar negeri dan siap “menangkap”nya kembali dengan profit.
MEA memiliki empat karakteristik utama, yaitu;
- Pasar dan basis produksi tunggal,
- Kawasan ekonomi yang kompetitif,
- Wilayah pembangunan ekonomi yang merata, dan
- Daerah terintegrasi penuh dengan ekonomi global.
Melihat dari sisi ekonomi, MEA memberi kesempatan yang baik karena hambatan perdagangan cenderung berkurang, bahkan menjadi tidak ada. Hal ini akan berdampak pada peningkatan ekspor Indonesia, terutama bagi pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM). Praktis, Gross Domestic Product (GDP) atau pendapatan kotor suatu negara akan bertambah.
Contohnya, Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa ia melihat Indonesia punya potensi yang baik dalam hal ekspor barang. Keripik asal Indonesia sudah masuk Korea, dan sarung khas Indonesia sudah diekspor ke beberapa negara besar.
Selain itu, sejak diadakan Peraturan Menteri No.2/2015 tentang larangan penggunaan pukat hela dan pukat tarik oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti beberapa waktu lalu, membuat kapal asing tidak bisa seenaknya mengambil ikan di perairan Indonesia. Hal ini membuat harga ikan menjadi mahal untuk diekspor, dan otomatis memberi untung lebih untuk nelayan lokal.
Namun dengan adanya MEA pula, muncul resiko baru yakni berkompetisi dengan pendatang dari luar negeri. Karena hambatan ekspor tidak ada, otomatis Indonesia juga meringankan hambatan impor barang. Efeknya, bila kualitas dalam negeri tidak dijaga dan diawasi dengan serius, barang-barang impor yang umumnya jauh lebih berkualitas akan mengancam industri lokal.
Dengan terbukanya kompetisi di pasar, para investor akan melirik negara-negara dengan prospek cerah untuk menanam modalnya. Di satu sisi, investasi akan membantu Indonesia membenahi segala hal yang diperlukan untuk bisa bersaing di MEA. Namun, lemahnya penegakan hukum di Indonesia dikhawatirkan akan merugikan masyarakat.
Sebagai contoh, PT. Freeport Indonesia yang sudah lama bercokol di Papua sejak tahun 1967. Indonesia yang memiliki sumber daya alam, namun dikelola oleh Amerika Serikat, dan mereka pula yang menikmati sebagian besar hasilnya. Tentunya, masyarakat Indonesia yang baik tidak akan mau bila ada ‘Freeport’ lainnya. Investasi yang bersifat “menyetir” ini yang kerap dikhawatirkan.
Melihat dari perspektif ketenagakerjaan, ada rasa semangat untuk menjajal pekerjaan di negeri lain. ASEAN yang terdiri dari 10 negara dengan total penduduk sekitar 600juta jiwa, tentunya memiliki lapangan kerja yang beragam. Tapi, hal ini bisa menimbulkan resiko yang cukup serius di Indonesia.
Berdasarkan data dari Republika Online pada tahun 2013, kualitas pendidikan dan produktivitas Indonesia berada di peringkat empat di ASEAN, di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Dalam riset yang lain diungkapkan hingga Febuari 2014, jumlah pekerja berpendidikan SMP ke bawah ada 76,4juta orang, atau sekitar 64 persen dari total 118juta pekerja di Indonesia.
Kelemahan Sumber Daya Manusia (SDM) ini yang menempatkan Indonesia di peringkat 87 dalam Indeks Inovasi Global yang dirilis oleh Cornell University, sekolah bisnis INSEAD, dan Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO) PBB. Bahkan, Indonesia kalah dari negara tetangga seperti Singapura di peringkat 7, Malaysia di peringkat 33, Thailand di peringkat 48, dan Vietnam di peringkat 71.
Oleh karena itu, dibutuhkan kepekaan dari calon tenaga kerja untuk melihat jauh ke depan, bahwa persaingan di dunia kerja bukan sekadar antar kampus, daerah, bahkan negara. Mereka harus mau dan mampu mengalahkan jutaan calon pekerja lainnya.
Inovasi juga menjadi salah satu kunci untuk menghadapi persaingan di MEA. Namun berdasarkan riset Center of Innovation and Collaboration (CIC) PPM Manajemen pada November 2014, hanya sekitar 50 persen perusahaan di Indonesia yang siap melakukan inovasi. Dalam penelitiannya, mereka melihat tiga aspek yaitu budaya organisasi, lingkungan perusahaan, dan sumber daya yang dimiliki. Sebagian besar perusahaan jatuh nilainya pada aspek sumber daya.
Perusahaan yang mencari karyawan hendaknya juga peduli dengan hal ini. Salah satunya berusaha selektif memilih kualitas lulusan yang baik. Dengan adanya kualifikasi tinggi, para mahasiswa diharap berusaha menjadi yang terbaik.
Pada akhirnya, seluruh lapisan masyarakat harus bersatu dan bahu-membahu membangun Indonesia di tengah kesempatan yang sedang terbuka. Pemerintah harus menegakkan regulasi yang berlaku, dan memperhatikan infrastruktur yang membantu masyarakat agar bisa bersaing.
Para pelajar harus melihat visi ke depan, dan meningkatkan kualitas diri agar layak bersaing. Dan para pekerja baiknya meningkatkan kualitas barang dan jasa agar tidak kalah bersaing.
Jangan sampai kesempatan meningkatkan kesejahteraan ini berbalik menyulitkan semua pihak di Indonesia, bagai bumerang yang tak mampu ditangkap dengan baik.
Penulis: Theofilus Ifan Sucipto
Editor: Alif Gusti Mahardika
Sumber: pengertian.website, crmsindonesia.org, seputarpengertian.blogspot.co.id, bintang.com, bisnis.liputan6.com, katadata.co.id
Foto: senyumperawat.com