SERPONG, ULTIMAGZ.com — Bermula dari pernyataan influencer Gita Savitri, childfree kini tidak asing lagi diperbincangkan. Pernyataan Gita dan suaminya yang memutuskan menjadi pasangan childfree menuai pro dan kontra dari netizen Indonesia. Ada yang menganggap baik, ada juga yang menuduh pasangan tersebut egois.
“Banyak anak, banyak rezeki” merupakan ungkapan yang cukup terkenal sejak dulu. Keberadaan anak kerap kali dijadikan standar kebahagiaan ataupun kesuksesan sebuah keluarga.
Namun, berdasarkan Profil Generasi Milenial yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018, angka fertilitas di Indonesia diketahui mengalami penurunan. Pada 1971, Total Fertility Rate (TFR) mencapai angka 6 yang artinya wanita diperkirakan melahirkan total 6 anak di usia produktifnya. Lalu, total angka tersebut terus berkurang menjadi sekitar 2,59 pada 1999, 2,44 pada 2012, dan 2,33 pada 2017 sampai akhirnya keputusan tidak mempunyai anak atau childfree tak lagi tabu sekarang ini.
Menurut Agrillo & Nelini (2008), childfree merujuk pada keputusan untuk tidak berencana atau tidak mau punya anak, baik anak kandung maupun adopsi. Tentu, pilihan ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Hidup tanpa memiliki anak berarti tidak memiliki beban finansial maupun aspek sosial lainnya karena anak. Dengan begitu, pasangan childfree dapat lebih fokus kepada dirinya sendiri.
Namun, childfree juga memiliki konsekuensi, antara lain tidak memiliki keturunan, memungkinkan menghabiskan masa tua sendirian, dan bukan hanya dianggap egois, melainkan juga aneh karena tidak sesuai dengan norma sosial pada umumnya. Lalu, mengapa ada pasangan yang memilih childfree?
Motif childfree bukan sekadar bagi kepentingan pribadi
Agrillo & Nelini (2008) mengumpulkan berbagai alasan kenapa seorang memilih untuk tidak punya anak dan membaginya ke dalam empat kategori sebagai berikut.
- Kurangnya keinginan untuk menjadi orang tua
Mereka yang memutuskan untuk childfree bisa jadi memiliki masalah dengan masa kecilnya, seperti ketakutan untuk menjadi orang tua yang sama seperti orang tua mereka dan memaksa anak untuk merasakan pengalaman buruk.
Selain itu, kecenderungan tidak menyukai anak-anak dan melihat langsung dampak negatif anak pada sebuah pernikahan juga dapat membuat seseorang tidak ingin menjadi orang tua.
2. Ingin mengembangkan diri sendiri
Pasangan childfree dengan alasan kategori inilah yang dianggap egois oleh orang sekitarnya karena menganggap adanya anak akan mengganggu privasi, keintiman, dan ruang pribadi dengan pasangan.
Keputusan childfree juga bisa berdasar dari karir yang sudah stabil dan tidak ingin karirnya terhambat. Childfree juga dianggap membebaskan pasangan dari beban finansial membesarkan anak.
3. Kekhawatiran fisik dan mental
Kategori ini menjelaskan kekhawatiran akan risiko kondisi medis yang diderita oleh suami atau istri dapat mempengaruhi perawatan anak dan masa depannya. Kekhawatiran bahwa anak akan mewarisi penyakit keturunan juga menjadi alasan untuk childfree, meskipun tidak banyak yang memilih alasan ini.
4. Kepercayaan bahwa tidak menghadirkan satu orang lagi di dunia adalah tindakan mulia
Pemikiran ini berdasar pada populasi bumi yang saat ini sudah mencapai 7,8 miliar orang. Juga, sudah banyak sekali masalah di bumi yang disebabkan manusia, seperti emanasan global, perubahan iklim, pencemaran lingkungan, dan konsumsi hasil bumi berlebih.
Dari berbagai alasan yang telah dipaparkan Agrillo & Nelini (2008), pilihan childfree tidak didasarkan pada keegoisan semata. Faktor psikologis, fisik, dan ideologis turut andil dalam keputusan pasangan tidak memiliki momongan.
Egois atau tidak, bukan urusan orang
Anak memang menjadi warisan paling berharga bagi orang tua. Namun, sebenarnya pilihan hidup manusia ada di tangannya sendiri. Orang tidak bisa memaksakan kehendak kepada yang lain, termasuk kepada sebuah pasangan untuk memiliki atau tidak memiliki anak.
Mengutip cnnindonesia.com, psikolog anak dan remaja, Gisella Tani Pratiwi mengatakan bahwa sebelum memutuskan untuk punya anak, pasutri perlu mengukur kesiapan mereka mulai dari mental hingga finansial. Jika kesiapan belum diraih, Gisella mengatakan bahwa tidak ada yang salah dengan pasangan childfree selama keputusan tersebut disetujui kedua pihak.
Tim ULTIMAGZ juga melakukan wawancara untuk mengetahui pendapat Ultimates mengenai childfree.
“Kalau memang ternyata enggak siap punya anak, tapi malah maksa punya anak cuma karena ‘tuntutan’ atau ‘omongan orang’, yang ada nanti hubungan sama anaknya malah jadi toxic. Ya, karena dia sendiri ternyata enggak siap punya anak,” ujar mahasiswa Jurnalistik 2019 UMN, Nabila Ramadhanty Putri Darmadi kepada ULTIMAGZ.
Tentunya keputusan untuk tak memiliki anak tidak jadi dalam semalam. Ada banyak pertimbangan dan perdebatan antara suami dan istri sebelum mencapai kesepakatan. Sebelum menikah atau saat masih pacaran, kesempatan ini bisa digunakan untuk berdiskusi.
“Di sana (sebelum menikah) diomongin, kalau mau nikah, siap punya anak, enggak? Mau punya anak berapa? Bahkan, sekarang ada perjanjian pranikah dan medical check up sebelum nikah,” ujar mahasiswa Jurnalistik angkatan 2018, Crysania Suhartanto.
Bagaimanapun juga, pilihan childfree ada di tangan sang pasutri. Di luar nilai, norma, dan kepercayaan masyarakat tentang anak, pasutri tetap harus mengambil keputusan realistis dalam menambahkan satu anggota keluarga baru.
“Kenapa dibilang egois jika keputusan childfree menyangkut tubuh dan kehidupan diri dia seorang? Apakah jika seseorang memutuskan untuk punya anak, segala kebutuhan dan keinginan dari anak tersebut disediakan orang lain selain suami dan istri?” ujar mahasiswa Strategic Communication 2019, Virino Nino.
Penulis: Jessica Elisabeth Gunawan, Vellanda Verenna
Editor: Maria Helen Oktavia
Foto: unsplash.com
Sumber: cnnindonesia.com, tabloidbintang.com,
Agrillo, C., & Nelini, C. (2008). Childfree by choice: a review. Journal Of Cultural Geography, 25(3), 347-363.
Badan Pusat Statistik. (2018). Statistik Gender Tematik: Profil Generasi Milenial Indonesia. KPPPA RI.