JAKARTA, ULTIMAGZ.com — Sudah lama bergaung di mana-mana, namun masih sering disalahartikan. Itulah yang menggambarkan feminisme, sebuah gerakan dan ideologi perjuangan kesetaraan atau emansipasi hak bagi perempuan dalam segala aspek.
Tokoh yang menyuarakan gerakan ini disebut feminis. Dan wartawan media The Jakarta Post Evi Mariani adalah salah satu dari sekian banyak feminis yang bercerita tentang ide bahwa feminisme dapat diaplikasikan dalam pengasuhan anak.
“Saya punya anak cowok,” cerita Evi di sela panel diskusi dalam Festival Pekerja yang diselenggarakan di LBH Jakarta, Jakarta Pusat, pada Sabtu (21/04/18) lalu. “Dan saya bersama suami sepakat anak saya bakal feminis.”
Orang awam sering memandang feminisme sebagai gerakan yang dikhususkan untuk perempuan semata. Padahal, gerakan ini juga perlu dukungan dari seluruh pihak, tidak memandang jenis kelamin apa pun.
Evi pun bercerita sedikit soal ide feminisme yang ia tanamkan pada anaknya.
“Anak saya main Little Pony, ya gak jadi masalah,” tuturnya. “Karena gender stereotyping yang telah dibentuk sama masyarakat itu, akan saya runtuhkan tembok-temboknya.”
Penilaian Evi, persoalan gender stereotyping yang dibentuk masyarakat telah menjadi tembok pelarangan. Contohnya, anak laki-laki hanya diperbolehkan untuk main mobil-mobilan, sebaliknya anak perempuan main boneka. Hal itu menjadi doktrin yang tertanam di segala lapisan masyarakat.
Keinginannya gigih untuk meruntuhkan tembok-tembok pelarangan semacam itu. Evi bersikap wajar dan memberolehkan anak laki-lakinya untuk main apa saja, tanpa batasan apa lagi melirik jenis kelamin.
Tembok Konsepsi Kuat Buatan Masyarakat
Berbicara masalah gender memang sangat luas. Masyarakat dan lingkungan menjadi faktor paling besar yang mempengaruhi pembentukan konsep mengenai sifat suatu golongan berdasarkan pada prasangka yang subjektif dan tidak tepat.
“Laki-laki harus jadi kepala rumah tangga. Perempuan di dapur saja.”
Kalimat itu sering kita dengar, mengingat betapa kejamnya prasangka yang dilontarkan dan pembentukan tembok-tembok buatan masyarakat saat ini.
“Pernah satu kesempatan kita jalan, pakein dia baju warna pink. Mau dilihat orang dan dikatain, ya kita berusaha gak peduli, bodo amat,” tutur Evi.
Berbicara tentang tembok stereotip, Evi mempertegas harapannya bahwa ia ingin generasi muda penerus, termasuk anaknya kelak, mampu meruntuhkan segala jenis tembok yang telah diciptakan masyarakat.
“Harapan saya (melakukan ini) juga untuk para generasi muda penerus agar dapat meruntuhkan tembok-tembok yang telah dibentuk masyarakat,” ujarnya.
Tantangan dari Masyarakat Patriarki
Semua perlakuan, baik tindakan kecil hingga besar, pasti memiliki tantangan tersendiri. Evi mengaku keinginan untuk meruntuhkan tembok stereotip menjadi hal yang terbilang sulit, dikarenakan lawannya adalah sejumlah besar masyarakat patriarki.
Patriarki sendiri adalah perilaku yang mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Ini adalah tsunami bagi kelompok feminis.
“Tapi memang tantangannya datang dari masyarakat yang kebanyakan patriarki,” tuturnya. “Saya pun masih mendengar soal tetangga (tanggapi) kok cowok main ini sih, dan lain-lain. Tapi, ya itu tadi, kita tidak perlu laden.”
Ide feminis ini akan dikenal baik apabila ada pengertian yang dijelaskan secara positif tanpa merendahkan pihak mana pun. Persoalan patriarki pun menjadi terangkat dengan elegan saat kembali menempatkan posisi bahwa laki-laki harus atau dituntut secara demikian.
Dengan begitu, didikan ide feminisme ini akan menghasilkan sekiranya ekspektasi bahwa anak atau generasi penerus dapat masuk sebagai kaum toleran dengan menjunjung tinggi nilai kesetaraan.
Penulis: Felix
Editor: Hilel Hodawya
Foto: Felix