SERPONG, ULTIMAGZ.com – Komisi Pemilihan Umum Universitas Multimedia Nusantara (KPU UMN) baru saja menuntaskan puncak tugas mereka yakni election week pada pekan lalu. Namun dalam prosesnya, ada banyak tindakan KPU yang memaksa otak berpikir lebih keras untuk menemukan esensi dari berbagai tindakan tak masuk akalnya.
Tahun ini, KPU UMN turut mengembangkan berbagai cara untuk merangsang pertumbuhan kepekaan mahasiswa UMN perihal para calon organisator dan hak pilih. Beberapa yang paling menonjol adalah Panggung Demokrasi dan tes kesehatan tiap-tiap pasangan calon.
Dari namanya mungkin terlihat program pada umumnya, bahkan cenderung bermakna positif. Sayangnya, proses pelaksanaannya penuh dengan aturan tidak masuk akal dan membuat dahi langsung berkernyit.
Panggung “Ring Tinju” Demokrasi
Panggung Demokrasi sejatinya merupakan panggung tempat para calon ketua himpunan akan berorasi di depan publik. Lucunya, panggung demokrasi ini didekorasi layaknya arena ring tinju. Pemilihan ini sungguh ceroboh sebab pada umumnya ring tinju digunakan para petinju untuk adu jotos alias berkelahi untuk bisa menentukan siapa pemenangnya.
Namun, apakah mahasiswa sebagai insan intelek juga harus diibaratkan sebagai petinju yang harus berkelahi terlebih dahulu baru mampu mendapatkan kursi kemenangan? Tentu tidak.
Pemilihan penggambaran dalam sebuah program harusnya bisa lebih bijak dan mempertimbangkan esensi yang ingin disampaikan melalui pilihan tersebut. Layaknya bermain catur, setiap langkah harus bisa diperhitungkan KPU termasuk penggambaran panggung demokrasi itu sendiri.
Tak hanya dari dekorasi, aturan main KPU dalam Panggung Demokrasi juga sukses membuat gagal paham. Berdasarkan informasi dari salah satu paslon partisipan Panggung Demokrasi yang menolak disebutkan namanya, orasi para calon ketua himpunan tadinya memiliki aturan-aturan aneh yakni adanya imbauan untuk battle rap.
Di dalam sesi battle rap ini, para paslon akan mengambil sebuah barang yang disediakan KPU UMN dalam sebuah kotak. Lalu, barang apapun yang didapatkan paslon harus dikaitkan dengan proker masing-masing yang disampaikan dengan cara rap.
Lantas, apa relevansinya battle rap dengan orasi kepemimpinan? Cara orasi yang dibatasi hanya mempersempit kreativitas para pasangan calon untuk mendekati mahasiswa. Terlebih bagi para paslon yang mungkin tak memiliki kapabilitas di bidang seni tarik suara atau rap, fokus mahasiswa yang mendengar orasi tersebut pasti akan buyar dari proker yang ditawarkan ke nyanyian sang paslon yang tak jelas.
Dengan adanya aturan tersebut, adu argumen para calon ketua himpunan justru jadi terkesan receh dan kekanak-kanakan. Padahal, organisator terlebih ketua himpunan didapuk memiliki kharisma sosok pemimpin yang mampu membawa himpunannya menjadi lebih berwibawa lewat berbagai program kerja.
Perumpamaan yang Meleset
Kemudian, KPU dalam sebuah unggahannya pernah menjabarkan alasan-alasan mengapa para mahasiswa harus memilih. Terlampir pada gambar di bawah, empat alasan yang diberikan KPU untuk mendongkrak jumlah pemilih. Poin keempat bertuliskan ‘Menghindarkan orang jahat memimpin organisasi kita’.
Pemilihan kata sungguh patut diperhatikan lembaga sekelas KPU, diksi ‘orang jahat’ sangat tidak relevan. Kata-kata jahat lekat kaitannya dengan kriminalitas, padahal justru calon organisator merupakan orang-orang yang telah rela mengorbankan waktunya untuk mengabdi pada almamater, persada dan sesama.
Lantas, frasa ini juga dapat menimbulkan makna ganda yakni yang terpilih adalah orang baik dan paslon yang tidak terpilih adalah orang jahat.
Dalam akun Instagram resmi KPU, kata ‘jahat’ telah diganti ‘orang yang melakukan kecurangan’. Meski pemilihan kata sudah lebih baik, namun tak ada penjelasan lebih lanjut mengenai kecurangan yang dimaksud, entah kecurangan akademis, kecurangan di pemilu, atau bisa saja kecurangan dalam bermain sepak bola, sungguh abu-abu.
Sebagai penyelenggara pesta demokrasi mahasiswa UMN, KPU semestinya paham bahwa tindakan dan ucapannya menjadi sorotan banyak pihak. Tindakan tanpa pertimbangan yang matang harus dihindari demi menjaga harga diri dan citra KPU di mata mahasiswa UMN.
Inovasi memang menjadi pelumas bagi perkembangan setiap organisasi atau lembaga, tetapi harus memiliki dasar dan esensi yang kuat sehingga tak terkesan ‘yang penting berbeda dari tahun lalu’. Nalar KPU UMN harus segera bangkit.
Penulis: Diana Valencia, mahasiswi Jurnalistik 2015
Editor: Ivan Jonathan
Foto: Dokumentasi Ultimagz