SERPONG, ULTIMAGZ.com – Media sosial dihebohkan dengan banjiran gambar Garuda Pancasila dengan latar biru tua yang dibubuhi kalimat “Peringatan Darurat” pada Rabu (21/06/24). Sebenarnya apa maksud dari unggahan itu? Apa yang sedang terjadi?
Melansir dari narasi.tv, poster “Peringatan Darurat” bersumber dari video akun YouTube The Emergency Alert System (EAS) Indonesia Concept yang diunggah pada 22 Oktober 2022 silam. EAS Indonesia ini terinspirasi dari suatu sistem peringatan darurat nasional yang dimiliki Amerika Serikat, berfungsi sebagai media untuk pesan darurat yang disampaikan melalui siaran radio atau televisi.
Baca juga: Aktivisme Performatif: Ketika Tragedi Dijadikan Tren Instagram Story
Konten EAS Indonesia Concept berisikan video horor fiktif atau analog horor. Video tersebut biasanya digunakan juga dalam video content creator untuk memberikan peringatan kepada seluruh warga Indonesia jika ada bahaya ancaman supaya tetap berlindung di dalam rumah.
Korelasinya dengan situasi saat ini adalah sebagai unjuk rasa, bentuk perasaan sepenanggungan, atau peringatan atas kacaunya kondisi politik pada masa-masa menuju Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024.
Unggahan “Peringatan Darurat” ini semakin masif setelah Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menyelenggarakan rapat untuk membahas Rancangan Undang-undang (RUU) Pilkada pada Rabu (21/08/24) siang.
Rapat tersebut merumuskan syarat dan aturan pencalonan kepala daerah dalam Pilkada Serentak pada November 2024 mendatang. Namun, RUU Pilkada dinilai terlalu tergesa-tergesa untuk dirumuskan. Hal itu sejalan pula dengan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menerima gugatan tentang syarat pencalonan kepala daerah dalam UU Pilkada pada Selasa (20/08/24).
Melansir dari cnnindonesia.com, berdasarkan putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, MK telah mengubah keputusan ambang batas (threshold) terhadap diperbolehkannya pencalonan kepada daerah dan wakil kepala daerah meski partai politik pengusung tidak memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Dalam putusan tersebut, MK menetapkan bahwa partai politik atau koalisi partai politik tetap dapat mendaftarkan calon gubernur dan wakil gubernur meskipun tidak memiliki kursi di DPRD. Namun, partai atau koalisi tersebut perlu memenuhi perolehan suara yang telah ditetapkan MK. Terdapat empat klasifikasi besaran suara sah, yaitu 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen, dan 6,5 persen sesuai dengan besaran Daftar Pemilihan Tetap (DPT) di daerah terkait.
Sebagai perbandingan, threshold pencalonan kepala daerah sebelumnya adalah 25 persen dari perolehan suara partai atau koalisi partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD, dilansir dari nasional.kompas.com.
Meskipun demikian, melansir dari tempo.co, Baleg DPR RI menyepakati penurunan syarat ambang batas Pilkada hanya berlaku bagi partai yang tak memiliki kursi DPRD. Dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang sebagaimana dalam rapat Panja RUU Pilkada, parpol yang mendapatkan kursi di parlemen daerah, akan tetap menggunakan syarat lama ambang batas (threshold) Pilkada.
Tidak hanya permasalahan threshold saja, syarat minimal usia pencalonan kepala daerah pun diubah. RUU Pilkada mengatakan syarat minimal usia pencalonan kepala daerah tingkat provinsi adalah 30 tahun, sedangkan tingkat kota 25 tahun terhitung saat pelantikan. Sebelumnya, batas usia untuk calon kepala daerah terhitung sejak calon tersebut ditetapkan.
Hal yang menjadi sorotan adalah keputusan DPR RI yang alih-alih mematuhi Putusan MK, justru memilih mengikuti Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23P/HUM/2024 yang menyebut batas usia tersebut diubah menjadi berlaku saat pelantikan kepala daerah terpilih.
Sebagai badan legislatif, DPR RI telah mengupayakan penganuliran keputusan MK sebagai badan yudikatif negara. Meskipun tidak ada perubahan, telah terjadi penambahan narasi sehingga arti dari putusan MK telah berubah dari yang sebenarnya.
Keputusan DPR RI ini dirasa terlalu buru-buru dan berseberangan dengan MK sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kebingungan dalam penyelenggaraan Pilkada mendatang. Kebingungan bisa berdampak pada lembaga negara seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena membutuhkan kepastian mengenai putusan mana yang harus digunakan dalam penyelenggaraan pesta demokrasi.
Padahal, seharusnya keputusan yang telah ditetapkan MK berlaku final dan tidak dapat diubah karena bersifat mengikat. Melanggar putusan MK berarti melanggar konstitusi yang ditetapkan di Indonesia.
Lebih PENTING dari yang Diduga
Sebagai penerus bangsa, penting bagi mahasiswa untuk ikut andil dan peduli terhadap keadaan politik yang terjadi. Lebih genting dan dekat dari yang diperkirakan, aspek politik sebenarnya sangat melekat dengan kehidupan sehari-hari semua warga negara.
Dalam keseharian, politik mempengaruhi berjalannya seluruh kegiatan mulai dari jual beli makan siang sampai kegiatan tersier seperti menonton konser. Semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan pada akhirnya akan menjadi bagian dari hidup masyarakat di bawahnya.
Salah satu contohnya yaitu kebijakan batas usia pelamar kerja 25 tahun yang mencekik dan membebani masyarakat. Padahal, kebutuhan hidup tidak berhenti pada usia yang ditetapkan.
Sayangnya hal ini masih kurang disadari oleh mahasiswa dan beberapa orang yang apatis. Sikap apatis dan ‘buta politik’ biasanya terjadi karena kurangnya perasaan relevansi akan isu yang terjadi.
Dalam PDF ULTIMAGZ edisi 33 yang dirilis Februari 2024 lalu, ULTIMAGZ mengangkat topik politik dan membahas sikap apatis mahasiswa dalam salah satu rubrik berjudul ‘Apatis dengan Politik Kampus, Ada Apa dengan Mahasiswa UMN?.’ Di dalamnya, ULTIMAGZ menuliskan bahwa sikap apatis muncul karena kurangnya dukungan mengenai literasi politik yang baik dari latar belakang ataupun dari kampus sebagai information enabler.
Selain itu, mengutip dari kompas.id, generasi muda kini dianggap sebagai cyberetic person, yakni orang-orang yang pandai menggunakan teknologi, tetapi hanya untuk tujuan pribadi. Misalnya, demi kesenangan dan keuntungan diri sendiri.
Pada situasi Peringatan Darurat ini, peran dan kepekaan mahasiswa serta masyarakat dibutuhkan. Mahasiswa harus menyadari bahwa mudahnya perubahan hukum yang terjadi seperti saat ini mampu mengancam keberlangsungan demokrasi Indonesia di masa mendatang. Khawatirnya jika dibiarkan, entah berapa lama lagi sampai semua aturan Undang Undang Dasar 1945 yang menjadi dasar negara, dapat dipermainkan untuk keuntungan pihak tertentu.
Baca juga: Media Kampus, Sumbangan Mahasiswa untuk Mengawal Jalannya Kontrol Sosial di Kampus
Sikap apatis harus dilawan karena akan mempengaruhi cara pandang seseorang dan menimbulkan perasaan acuh tak acuh pada berbagai hal. Banyak yang mengira perpolitikan tidak memengaruhi kehidupan sehari-hari. Padahal, hal sekecil urusan kuota internet diatur.
Maka dari itu, ULTIMAGZ turut mengajak Ultimates untuk terus meningkatkan kepedulian terhadap dunia politik. Sebagai generasi penerus bangsa, mahasiswa tidak boleh tutup mata ketika ada sesuatu yang mengancam demokrasi di Indonesia.
Tulisan ini dibuat oleh jajaran Badan Pengurus Harian (BPH) dan Kepala Divisi (Kadiv) ULTIMAGZ.
Terus #KawalPutusanMK #Kawal24Jam #TolakPolitikDinasti
Penulis: Abigail Vianita, Alyssa, Aqeela Ara, Chavia Viriela, Keizya Ham, Mahdi Husein Punca, Margaretha Netha, Theresia Vania, Rizky Azzahra
Editor: Cheryl Natalia, Jessie Valencia, Josephine Arella
Foto: YouTube/@easindonesiaconcept
Sumber: narasi.tv, nasional.kompas.com, kompas.id, cnnindonesia.com, tempo.co
Real fantastic info can be found on web blog.