SERPONG, ULTIMAGZ.com – Isu hoaks tidak dapat dipisahkan dengan adanya penemuan internet dan berkembangnya teknologi komunikasi yang diam-diam mematikan, sebut saja media sosial.
Menurut data wearesocial.com, pada Januari 2017, jumlah masyarakat Indonesia mencapai 262 juta orang dan 106 juta diantaranya merupakan pengguna aktif media sosial . Dengan demikian, tampak bahwa pengguna aktif media sosial meningkat pesat bila dibandingkan pada data November 2015 dengan 79 juta masyarakat pengguna.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa berita atau isu hoaks tidak bisa dipisahkan dengan media sosial, isu hoaks meningkat tajam pada tahun 2016-2017. Di tahun 2016 sekiranya ada 7-8 berita hoaks, seperti, isu Pokemon Go yang diklaim memiliki arti “Aku Yahudi”, tenaga kerja asal Tiongkok yang masuk ke Indonesia mencapai puluhan juta dan gambar Palu Arit di uang rupiah tahun emisi 2016.
Dilansir dari CNNIndonesia.com, menurut Plt Kepala Biro Humas Kominfo Noor Izza, pengaduan adanya konten berbau hoaks berjumlah 5070 dan mencapai puncaknya pada masa Pilkada DKI Jakarta lalu. Selain itu, konten-konten negatif (hoaks, pornografi, hate speech) dinilai lebih sering muncul di aplikasi Telegram (93,3%) dibandingkan media sosial lainnya.
Pada akhir Agustus lalu, datang berita heboh yaitu terungkapnya sindikat Saracen Indonesia, yang mana Saracen merupakan kelompok penyebar berita hoaks dan ujaran kebencian. Sungguh miris ketika hal-hal seperti ini ternyata bisa dijadikan sebuah bisnis di negara ini. Ditambah lagi bayaran yang mahal, yaitu sekitar 75-100 juta rupiah, tidak menghalangi individu atau kelompok yang memiliki niat untuk mememecah belah Indonesia. Omsetnya bahkan mencapai ratusan miliaran dan hingga kini belum ditemukan tersangka atau klien yang memakai jasa Saracen. Namun sebenarnya, Saracen hanyalah ‘bagian kecil’ dari semua konten negatif yang terjadi di Indonesia.
Pada 17 September 2017, muncul kasus kontroversial lagi yang diakibatkan karena berita hoaks, yaitu pengepungan kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta oleh berbagai organisasi masyarakat (ormas) anti-PKI. Awalnya dikarenakan bahwa berbagai ormas tersebut mendapat informasi adanya seminar terkait PKI di gedung YLBHI. Sayangnya kebenaran informasi tersebut tidak diverifikasi dahulu. Beberapa ormas bahkan ada yang langsung melempari batu ke Gedung LBH.
Masyarakat Indonesia sebenarnya bukan hanya krisis demokrasi tetapi juga krisis pikiran kritis. Hal ini juga membuktikan bahwa kita sudah memasuki era post-truth, di mana keyakinan pribadi dan ketertarikan emosional lebih membentuk opini publik dibanding fakta-fakta yang memang terjadi.
Dalam kejadian ini, aliansi mahasiswa juga turut ikut dalam pengepungan di Gedung LBH. Sungguh disayangkan, ketika mahasiswa yang notabene sering disebut sebagai masyarakat intelektual ternyata tidak menutup kemungkinan untuk tersulut berita hoaks. Bahkan, tidah hanya terprovokasi, tetapi juga ikut menyebarkan ke ormas-ormas lain.
Mahasiswa sebagai insan terdidik seharusnya lebih bijak dalam menanggapi informasi yang beredar, terutama bila informasi itu kontroversial. Zaman ini, teknologi telah memberikan kemudahan terhadap akses informasi yang ingin didapatkan. Belum lagi di ponsel pintar juga banyak menyediakan aplikasi-aplikasi media massa berbasis online.
Di era ini, cara sederhana membela negara Indonesia adalah banyak-banyak membaca. Banyak membaca informasi dari media-media massa yang terpercaya akan menambah wawasan. Selain itu, verifikasi juga bukan lagi hanya menjadi kewajiban wartawan tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia. Dengan demikian masyarakat tidak mudah untuk dibodohi oleh pihak-pihak yang ingin memecah belah NKRI.
“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
– Ir. Soekarno
Penulis: Harvey Darian, mahasiswa Jurnalistik UMN angkatan 2015
Editor: Clara Rosa Cindy
Foto: CNN Indonesia
Sumber: CNNIndonesia.com, Tirto.id, kumparan.com, wearesocial.com, isipii.com, vice.com