SERPONG, ULTIMAGZ.com – Tagar #KaburAjaDulu menjadi ekspresi kekecewaan yang nyata oleh anak bangsa terhadap Indonesia dalam dunia digital. Lantas, apa yang menimbulkan kekecewaan para anak muda?
Melansir dari merdeka.com, #KaburAjaDulu sesungguhnya sudah muncul sejak 2023, tetapi semakin viral sejak Februari 2025 di berbagai platform media sosial seperti X dan Instagram. Tren ini awalnya bertujuan untuk mengkritik kebijakan pemerintahan. Namun, seiring waktu kebijakan Indonesia bertambah, tagar ini juga menjadi wadah refleksi dari kekhawatiran masa depan anak bangsa terhadap kebijakan-kebijakan yang ada, seperti pemangkasan dana pendidikan dan peningkatan angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Kefrustasian juga terlihat dari pengesahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dalam pasal 154A ayat (1), yang mana pemutusan hubungan pekerjaan dapat terjadi untuk penggabungan perusahaan, upaya efisiensi antara lain mengurangi biaya operasional, perusahaan dihadapkan dengan kerugian, serta kondisi lainnya.
Baca juga: Mahasiswa Turun ke Jalan: Harapan bagi Demokrasi Indonesia yang Gelap
Melalui kebijakan yang tertera pada hukum tersebut, maka ketidakpastian akan kestabilan kerja menjadi ancaman bagi seluruh pekerja kantor. Tidak ada yang mengetahui kapan pekerja akan dipecat karena nasib mereka bergantung pada keputusan pihak berwenang.
Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit untuk analisis analisis sentimen, emosi, dan demografi, mengatakan bahwa penggunaan tagar ini didominasi oleh 50,81 persen kelompok usia 19-29 tahun. Data tersebut mencerminkan bagaimana anak bangsa hendak menunjukkan aksi protesnya melalui tagar ini, dilansir dari merdeka.com.
Keterpurukan ini membentuk sebuah persepsi baru oleh warganet, yakni kabur untuk mendapatkan kesempatan belajar, bekerja, bahkan tinggal di luar negeri, dilansir dari kompas.com. Suara ini bukan sekadar kemauan untuk lari, tetapi keinginan agar pemerintah menaruh perhatiannya pada permasalahan ini dan turun tangan mengatasi ketidakstabilan nasib mereka.
Menurut Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Oki Sutopo, tagar yang diunggah oleh anak bangsa merupakan bentuk ekspresi kecewa terhadap kebijakan yang disahkan oleh pemerintah.
“Mungkin lebih sebagai bentuk kesadaran bahwa ada kesenjangan global dan sebenarnya mereka sedang mencoba mencari cara untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik”, jelas Oki kepada Kompas.com, Selasa (04/02/25).
Kondisi masyarakat Indonesia saat ini, terutama generasi Z dihimpit oleh situasi ekonomi yang berat. Melansir dari dataindonesia.id, generasi ini diapit oleh tanggung jawab ekonomi yang kompleks, mulai dari memenuhi kebutuhan diri sendiri, orang tua, hingga anak dalam waktu bersamaan.
Hal ini pun berpotensi berdampak pada kondisi kesehatan mental para gen Z. Menurut survei yang dilakukan oleh dataindonesia.id, sebagian besar gen Z jatuh dalam perasaan bersalah karena tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga, kemudian merasa khawatir dengan masa depannya sendiri, dan dihadapkan dengan kesulitan untuk memiliki tabungan pribadi.
Situasi diperparah ketika perusahaan menerapkan kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak. Kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan menjadi sulit, disebabkan adanya kualifikasi yang harus dipenuhi. Persaingan yang ketat dan minimnya kesempatan kerja membuat tingkat pengangguran di Indonesia terus meningkat, mencapai 7,2 juta orang per Februari 2024 dari sebelumnya 6,93 juta orang pada tahun 2023, dilansir dari katadata.co.id.
Generasi Muda: Bertahan dengan Krisis atau Pergi Mencari Harapan?
Fenomena #KaburAjaDulu ternyata bukan sekadar tren sesaat. Melansir dari bbc.com, gagasan untuk meninggalkan Indonesia demi masa depan yang lebih baik sudah dilakukan oleh sejumlah anak muda, salah satunya Fajar Zakri. Fajar memutuskan pindah ke Amerika Serikat demi memperjuangkan kehidupannya yang lebih layak. Di negeri asing, ia berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai penulis musik di salah satu majalah daring yang diprakarsai oleh komunitas warga hitam.
Langkah yang diambil Fajar bukan semata-mata mengejar ambisi pribadi. Ia harus menopang kebutuhan ekonomi keluarga sekaligus dirinya sendiri. Realitas ini membuatnya merasa tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya apabila tetap bekerja di Indonesia.
“Aku kasih ke keluarga itu sekitar 20 juta rupiah setiap bulannya. Penghasilan aku di sini setiap bulannya sekitar 40 juta rupiah. Terdengar fantastis dalam konteks rupiah, tapi dalam konteks dolar Amerika Serikat, itu biasa saja”, jelas Fajar yang juga bekerja sebagai pramusaji di sebuah restoran, dikutip dari bbc.com.
Adapun kisah lain dialami oleh Bima Yudho Saputro. Kreator konten TikTok yang sempat viral karena mengkritik Lampung pada 2023 lalu dan saat ini tinggal di Australia. Keputusan Bima untuk mengambil visa Australia pada saat itu juga merupakan ekspresi kekecewaannya karena Lampung tidak kunjung maju, dilansir dari detik.com.
“Sebenarnya gua di sini aman-aman, tidak ada yang toxic di lingkungan dan saya hidup damai. Hanya di media sosial marah-marah karena tiap pulang kok Lampung tidak kunjung maju dan lebih kesal lagi karena SDM-nya (sumber daya manusia) tidak sadar dan malah mengkasuskan kritik gua”, ungkapnya melalui akun TikToknya @awbimaxreborn.
Selain itu, salah satu warga Indonesia yang merupakan kelahiran Surabaya kini menetap di Jenewa, Swiss, Didik Siswantoyo. Ia merupakan lulusan University of Applied Sciences Northwestern Switzerland tahun 2016. Ia menyempatkan waktunya untuk kembali ke Indonesia untuk melanjutkan pendidikannya, tetapi Didik merasa bahwa di Indonesia kurang memadai, dilansir dari tempo.com.
“Saya tidak bisa secara optimal menerapkan ilmu yang saya dapatkan di Swiss untuk perusahaan Indonesia”, ujar Didik pada Selasa (25/02/25) melalui telepon kepada tim redaksi Tempo.
Pernyataan ini berangkat dari pengalamannya setelah melamar pekerjaan di beberapa perusahaan perbankan di Surabaya dan Jakarta. Namun, kesempatan yang diharapkan tidak kunjung datang.
Perasaan tidak dihargai membuat Didik memilih kembali ke Swiss, tempat di mana ia menyelesaikan pendidikannya. Kini, ia bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berfokus membantu perekonomian rakyat kecil di Indonesia dari kejauhan.
Berbagai pengalaman tersebut menggambarkan kenyataan pahit bahwa kesejahteraan masyarakat Indonesia lebih terjamin di luar negeri dibandingkan di tanah airnya sendiri. Mereka meninggalkan Indonesia bukanlah bentuk pengkhianatan, melainkan upaya mencari kehidupan lebih baik yang selama ini sulit mereka raih di negeri sendiri.
Setelah melihat maraknya tagar ini di dunia maya sampai ke telinga berbagai pihak, termasuk pemerintah sendiri. Lalu, bagaimana respons pemerintah dalam menanggapi gejolak sosial ini?
Respons Para Menteri terhadap #KaburAjaDulu
Melansir dari kompas.com, Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer menanggapi fenomena #KaburAjaDulu dengan pernyataan yang menuai kontroversi. Ia menganggap tren ini tidak perlu dipikirkan terlalu dalam
“Mau pergi ya, silakan saja. Kalau memang tidak ingin kembali, juga tidak masalah, hi hi hi”, ucapnya dengan santai di Kantor Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Senin, (17/02/25).
Melanjutkan ujaran sebelumnya, ia juga menjelaskan bahwa masyarakat sebenarnya memiliki peluang untuk mengasah kemampuannya di luar negeri dan dapat kembali ke Indonesia untuk membangun negara ini menjadi lebih baik.
Tidak hanya Wamenaker yang menyampaikan opininya terkait dengan fenomena ini, beberapa pihak lain seperti Menteri Agraria dan Tata Ruang/Pertanahan Nasional Nusron Wahid ikut menanggapi permasalahan ini.
“Begini ya, kalau ada #KaburAjaDulu itu kan, dia ini warga negara Indonesia apa tidak? Kalau kita ini patriotik sejati, kalau memang ada masalah kita selesaikan bersama, kalau kemudian hopeless gitu, seakan-akan kabur saja dulu, itu menandakan, ya mohon maaf, kurang cinta terhadap Tanah Air”, ujar Nusron Wahid di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (17/02/25), dilansir dari detik.com.
Di sisi lain, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) memberikan tanggapan yang berbeda. Ia justru menganggap keputusan anak bangsa untuk mencari peluang kerja di luar negeri sebagai bentuk kritik terhadap pemerintah.
“Ayok pemerintah create better jobs, itu yang akan menjadi catatan dan concern kami”, jelas Yassierli di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (17/02/25), dilansir dari beritasatu.com.
Ironi: Ketika Keluh Kesah Didengar oleh Negeri Asing
Pada akhirnya, keluh kesah anak bangsa tidak ditindaklanjuti dan dicap sebagai tidak cinta tanah air. Mirisnya, keluh kesah ini justru didengarkan oleh pihak luar negeri. Melansir dari cnnindonesia.com, Duta besar Jepang, Masaki Yasushi, mengundang para tenaga kerja untuk bekerja di Jepang.
“Di Jepang kita menghadapi masalah demografi. Jadi, kita menyambut pekerja yang punya keahlian dari banyak negara”, ucap Masaki pada acara peringatan Ulang Tahun Kaisar Jepang di St. Regis, Jakarta Selatan, Kamis (20/02/25). Pernyataannya pun sejalan dengan Chief Executive Officer (CEO) KapanJepan, Kaiji Wada, sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang pencarian lowongan kerja. Kaiji menyampaikan bahwa Jepang selalu terbuka dengan pekerja baru termasuk Indonesia.
Baca Juga: Garuda Pancasila Berlatar Biru, Peringatan Darurat Demokrasi Indonesia
Melihat keterbukaan lapang dada dari masyarakat luar negeri, warganet menemukan adanya sebuah ironi dalam negaranya sendiri. Negara lain melihat kesempatan untuk mendapatkan tenaga kerja yang memadai dari Indonesia, sedangkan negara sendiri tidak mengambil tindakan lebih lanjut terkait dengan permasalahan tersebut. #KaburAjaDulu menjadi sebuah bentuk protes dan ironi pada tahun ini.
Masyarakat Indonesia berada di tengah krisis, di mana pemerintah belum mampu memberikan kepastian kesejahteraan, sementara negara lain justru membuka peluang bagi mereka yang ingin meraih kestabilan ekonomi. Lantas, siapa yang seharusnya dipersalahkan? Apakah rakyat yang memiliki pergi demi masa depan yang lebih baik, ataukah pemerintah yang belum menciptakan ‘rumah’ untuk mereka? Pada akhirnya, mereka yang ‘kabur’ bukanlah pengkhianat, melainkan individu yang berjuang untuk bertahan hidup.
Penulis: Victoria Nadine Gunawan (Komunikasi Strategis, 2023)
Editor: Jessie Valencia Tannuwijaya
Foto: freepik.com
Sumber: merdeka.com, kompas.com, dataindonesia.com, katadata.co.id, bbc.com, detik.com, tempo.com, beritasatu.com, cnnindonesia.com,
I was just seeking this information for a while. After 6 hours of continuous Googleing, finally I got it in your web site. I wonder what’s the lack of Google strategy that do not rank this type of informative sites in top of the list. Normally the top websites are full of garbage.
This is the right blog for anyone who wants to find out about this topic. You realize so much its almost hard to argue with you (not that I actually would want…HaHa). You definitely put a new spin on a topic thats been written about for years. Great stuff, just great!
I¦ve recently started a website, the information you offer on this web site has helped me greatly. Thanks for all of your time & work.