SERPONG, ULTIMAGZ.com – Gelombang demonstrasi kembali menghiasi jalanan Indonesia, salah satunya di depan Patung Kuda, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, pada Senin (17/2/2025). Ratusan mahasiswa menyuarakan aspirasi mereka terhadap kebijakan pemerintah yang terlihat tidak lagi mementingkan kepentingan masyarakat Indonesia. Aksi yang dilakukan menunjukkan bahwa mahasiswa memainkan peran penting dalam demokrasi Indonesia, sekaligus menjadi harapan pelopor perubahan sosial. Namun, apakah perjuangan mereka menjadi harapan bagi demokrasi Indonesia yang gelap?
Aksi unjuk rasa bertajuk “Indonesia Gelap” merupakan bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai semakin jauh dari prinsip keadilan sosial, demokrasi, hingga kesejahteraan rakyat. Mahasiswa dengan tegas menolak revisi Undang-Undang (UU) Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dan Kejaksaan. Tak hanya itu, mahasiswa juga menolak sejumlah kebijakan, salah satunya pemotongan anggaran pendidikan.
Baca Juga: Efisiensi Anggaran Pendidikan: Sudah Efisien atau Sekadar Pemangkasan?
Revisi UU TNI, Polri, dan Kejaksaan: Ancaman bagi Demokrasi?
Melansir kompas.id, meskipun ditentang oleh mahasiswa, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah tetap melanjutkan pembahasan revisi UU Nomor 34 tahun 2004 mengenai kebijakan TNI. Rapat ini dipimpin oleh Wakil Ketua DPR dari fraksi Partai Golkar, Adies Kadir, pada Rapat Paripurna Masa Persidangan II tahun sidang 2024-2025 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (18/2/2025).
Pada rapat tersebut, ketentuan Pasal 47 Ayat 2 diubah agar prajurit aktif mendapatkan kesempatan untuk menduduki jabatan kantor yang membidangi bidang politik dan keamanan negara. Beberapa jabatan seperti sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, dewan pertahanan nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, dan Mahkamah Agung (MA) dapat diduduki oleh prajurit aktif semasa jabatannya berlangsung.
Selain itu, revisi UU Polri juga tercantum dalam rancangan Undang-Undang perubahan ketiga atas UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Beberapa isi draf revisi UU Polri memicu perdebatan, seperti Polri memiliki kewenangan penindakan, pemblokiran, dan pemutusan dalam upaya perlambatan akses ruang siber.
Polri juga memiliki kewenangan untuk berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan terkait bidang komunikasi dan informatika penyelenggara jasa telekomunikasi, dilansir dari kompas.com. Melihat dari beberapa isi draf tersebut, Polri memiliki kewenangan lebih luas dari yang seharusnya. Hal ini bertentangan dengan UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi yang seharusnya tidak memberikan kewenangan bagi kepolisian untuk memiliki kendali pada ruang siber.
Tidak hanya itu, revisi UU lainnya yang menimbulkan pertentangan terdapat pada revisi UU Kejaksaan, di mana jaksa menjadi terhalang untuk menyentuh hukum. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 8 Ayat 5 yang tertulis bahwa upaya hukum terhadap jaksa, baik itu pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahan hanya dapat dilakukan atas seizin Jaksa Agung. Menurut Ibnu Syamsu Hidayat, Advokat Themis Indonesia, kewenangan yang luas itu berpotensi untuk disalahgunakan, dilansir dari cnnindonesia.com.
Mahasiswa menolak dengan keras revisi UU TNI, Polri, dan Kejaksaan karena dinilai akan mengancam kehidupan demokrasi dan hak asasi manusia. “Dalam revisi UU Polri, Polisi ingin memperluas kewenangan lebih agar dapat melakukan kontrol terhadap konten-konten dalam media sosial. Sementara dalam rencana revisi UU Kejaksaan, Jaksa ingin memperkuat hak imunitasnya,” ujar Koordinator Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Kerakyatan, Satria.
“Rencana revisi terhadap berbagai UU tersebut berbahaya dan menyimpang dari prinsip persamaan di hadapan hukum karena harusnya semua warga dan aparat negara tidak boleh mendapatkan imunitas itu.” ujarnya kembali mengenai ancaman atas perubahan UU yang terjadi, dilansir dari news.detik.com.
Revisi UU TNI, Polri, dan Kejaksaan menimbulkan polemik perdebatan atas prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Demokrasi di Indonesia terlihat sedang di ujung tanduk, kepentingan politik menjadi sebatas permainan golongan eksklusif yang ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya. Dengan begitu muncul satu pertanyaan, apakah aksi mahasiswa turun ke jalan bisa menyelamatkan demokrasi Indonesia dari ambang keterpurukan?
Mahasiswa Sebagai Pilar Demokrasi
Melihat dari sejarah demokrasi Indonesia, mahasiswa menjadi peran penting dalam menegakkan demokrasi yang berkelanjutan. Salah satu bukti utama terdapat pada gerakan reformasi 1998 dalam upaya menggulingkan Orde Baru yang mengakhiri dominasi 32 tahun pemerintahan Presiden Soeharto.
Tidak hanya menggulingkan Orde Baru, reformasi turut memberikan transformasi menuju pemerintahan yang lebih demokratis. Kebebasan berpendapat, pemilu multipartai, reformasi bidang hukum, dan penurunan dwi fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menjadi hasil manis dari penggulingan yang terjadi, dilansir dari kompas.id.
Demonstrasi mahasiswa selalu menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan. Mereka bertindak sebagai pilar demokrasi yang menjaga akuntabilitas pemerintah terhadap kebijakan yang berdampak langsung kepada rakyat. Aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa mencerminkan semangat kebebasan dalam berdemokrasi, di mana mereka menyuarakan aspirasi walau dengan goncangan represif.
Akademisi dan sejarawan, Andi Achdian, memberikan pendapat bahwa gerakan-gerakan demonstrasi mahasiswa sejak 1998, hingga sekarang memiliki pijakan yang sama. Mahasiswa mengoreksi keputusan pemerintah yang terlihat merugikan masyarakat. “Jadi secara historis mahasiswa tidak berubah. Masih sama sejak dulu, landasan korektif terhadap pemerintah, bukan mengubah rezim.” ujar Andi, dilansir dari bbc.com.
Mahasiswa akan selalu menjadi pemain kunci untuk menegakkan demokrasi yang diharapkan. Dengan semangat kritis dan keberanian menyuarakan aspirasi, mereka menjadi agen perubahan yang mampu menekankan pemerintah agar tetap berpihak pada kepentingan rakyat.
Peran masyarakat juga dibutuhkan untuk mendukung aksi mahasiswa, karena aksi yang mereka lakukan adalah suara aspirasi cerminan kegelisahan rakyat Indonesia. Dengan memegang teguh satu suara yang sama, diharapkan pemerintah menanggapi aspirasi rakyat Indonesia dengan terbuka dan dialogis. Ini bisa menjadi momentum kepercayaan masyarakat bahwa demokrasi Indonesia masih memiliki harapan di tengah kegelapan.
Harapan bagi Demokrasi Indonesia yang Gelap
Seorang jurnalis dan pengamat politik asal Amerika Serikat, Fareed Zakaria, mengkritik sebuah fenomena demokrasi tanpa kebebasan sipil dalam bukunya The Future of Freedom: Illiberal Democracy. Fenomena yang dimaksud merupakan situasi di mana negara memiliki pemilihan umum (pemilu), tetapi tidak menjamin kebebasan dan supremasi hukum.
Zakaria dalam bukunya menekankan bahwa untuk menegakkan sistem demokrasi yang sebenar-benarnya, perlu ada keselarasan dan faktor-faktor yang mendukung tidak hanya mengandalkan pemilu, perlindungan terhadap hak-hak individu, kebebasan pers, dan kebijakan yang mementingkan kesejahteraan masyarakat turut menjadi kunci dalam membuka kunci demokrasi. Demokrasi berkelanjutan harus datang dari rakyat, untuk rakyat, dan kesejahteraan rakyat.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan/Presidential Communication Office (PCO) Hasan Nasbi mengatakan bahwa pemerintah menjamin kebebasan berpendapat. “Pesan yang mungkin harus kita sampaikan adalah kita menjamin kebebasan berpendapat. Demokrasi di negara kita ini sangat terbuka,” ungkapnya, dilansir dari tempo.co.
Baca Juga: Kenaikan PPN 12 Persen Hanya Ditunda, Akankah Jadi Ancaman bagi Generasi Muda?
Maka dari itu, selama mahasiswa masih diperkenankan oleh hukum untuk turun ke jalan dan menyampaikan aspirasi mereka, Indonesia masih memiliki harapan untuk mempertahankan demokrasi yang berkelanjutan. Aksi mahasiswa ini adalah sebuah pengingat bahwa demokrasi bukan hanya memilih pemimpin, tetapi juga tentang partisipasi aktif dalam mengawal jalannya pemerintah.
Namun, jika pemerintah tetap mengabaikan suara mahasiswa, demokrasi bisa berada dalam ancaman. Apalagi jika aksi demonstrasi justru dihadapi dengan represi, hal ini dapat mempersempit ruang kebebasan berpendapat. Pemerintah seharusnya melihat demonstrasi sebagai bagian dari mekanisme demokrasi yang berkelanjutan, bukan ancaman yang harus dibungkam.
Penulis: Reza Farwan (Komunikasi Strategis, 2023)
Editor: Kezia Laurencia
Foto: wanheartnews.com
Sumber : kompas.id, cnnindonesia.com, news.detik.com, bbc.com, tempo.co
На сайте https://dolgam.net вы сможете воспользоваться бесплатной консультацией, чтобы получить качественную, полноценную юридическую помощь. Прямо сейчас воспользуйтесь возможностью изучить все функциональные и интересные сервисы, инструкции, которые обязательно будут вам полезны. Если и вам нечем платить по долгам, вы оказались в сложной финансовой ситуации, то без помощи юристов точно не обойтись. На этом сервисе получите ее абсолютно бесплатно. Здесь также представлены и самые разные информативные материалы.
you are actually a good webmaster. The web site loading speed is amazing. It seems that you’re doing any distinctive trick. Also, The contents are masterwork. you have performed a fantastic activity on this matter!
Thanks for sharing excellent informations. Your web-site is very cool. I am impressed by the details that you¦ve on this website. It reveals how nicely you perceive this subject. Bookmarked this website page, will come back for extra articles. You, my pal, ROCK! I found simply the info I already searched everywhere and just couldn’t come across. What an ideal web-site.