SERPONG, ULTIMAGZ.com – Pernahkah Anda menyadari perbedaan harga antara pembeli pria dan perempuan saat membeli jenis barang yang sama? Tidak bisa dipungkiri bahwa produk dan layanan perempuan lebih mahal dibandingkan dengan pria. Adanya perbedaan harga berbasis gender sering kali menjadi isu karena merujuk pada diskriminasi.
Studi pada 2015 dari Departemen Urusan Konsumen Kota New York mengkaji permasalahan ini. Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui perbedaan harga pada produk identik yang dipasarkan ke konsumen laki-laki dan perempuan.
Setelah menganalisis harga hampir 800 produk, hasil menunjukkan bahwa perbedaan harga berbasis gender tidak hanya berlaku untuk produk kebersihan, tetapi juga untuk hampir semua produk, mulai dari pakaian bayi hingga barang perawatan kesehatan di rumah. Studi tersebut menemukan bahwa bila dirata-rata seumur hidup, perempuan membayar 7% lebih banyak daripada pria untuk produk yang sebanding.
Frasa dari ketidaksetaraan ini dikenal sebagai Pink Tax.
Membedah Definisi Pink Tax dan Awal Mulanya
Pink Tax adalah penetapan harga berdasarkan gender, di mana perempuan membayar lebih untuk barang yang dipasarkan. Sementara, produk yang sebanding yang dijual untuk pria sering kali lebih murah.
Namun, Pink Tax tidak selalu mengacu pada pajak aktual yang dibebankan pada produk perempuan. Terlepas dari namanya, Pink Tax mengacu pada perbedaan harga yang lebih tinggi yang harus dibayar oleh sebagian besar perempuan daripada pria saat membeli barang atau jasa.
Banyak asumsi mengenai Pink Tax yang dikira merupakan pajak yang sah, sehingga dianggap sebagai kebijakan pemerintah. Sebenarnya, Pink Tax bukanlah retribusi resmi atas produk perempuan. Pink Tax adalah biaya tambahan yang ditambahkan pengecer, produsen, dan merek ke produk yang dipasarkan kepada perempuan.
Munculnya Pink Tax bermula dari kebutuhan angka penjualan yang tinggi terhadap suatu produk. Perempuan telah lama dipandang sebagai pembeli utama rumah tangga, maka mereka telah menjadi target utama kampanye iklan selama beberapa dekade. Mengutip dari thekzooindex.com, perempuan membuat lebih dari 85% pembelian konsumen dan memengaruhi lebih dari 95% dari total barang dan jasa yang dibeli. Maka sebab itu, pasar menciptakan produk yang lebih berbeda untuk dipilih perempuan, mengetahui bahwa mereka adalah konsumen utama untuk barang perawatan pribadi.
Dilansir dari rockethq.com, Profesor Sosiologi di University of Central Florida Liz Grauerholz mengatakan bahwa kesenjangan harga berbasis gender ini kemungkinan besar disebabkan oleh pengaruh ekonomi dan budaya. Menurutnya, Pink Tax adalah cerminan dari cara masyarakat membesarkan anak perempuan versus cara masyarakat membesarkan anak laki-laki. Norma gender yang ditanamkan secara budaya dan pemasaran telah bekerja sama untuk secara artifisial menguntungkan bisnis.
“Terlepas dari kenyataan bahwa, sebagai manusia, pria dan perempuan jauh lebih mirip daripada berbeda, budaya kita terlalu menekankan perbedaan dan bahkan menciptakan perbedaan ketika perbedaan itu tidak ada. Karena gender sangat penting bagi identitas dan peran budaya kita, sebagian besar dari kita berinvestasi dalam mengabadikan mitos perbedaan untuk membenarkan perlakuan yang berbeda, dan karena itu membeli tanpa ragu produk yang dipasarkan sesuai jenis kelamin kita,” jelas Grauerholz.
Dampak Pink Tax bagi Perempuan
Pink Tax memaksa perempuan untuk merogoh kocek lebih banyak untuk kebutuhan sehari-hari, menimbulkan sebuah diskriminasi harga berbasis gender yang tidak adil karena membuat sebagian besar produk yang ditujukan untuk perempuan menjadi lebih mahal daripada produk yang ditargetkan untuk pria. Penetapan harga yang tidak seimbang ini menempatkan beban yang signifikan pada perempuan.
Selain itu, Kantor Statistik Nasional menyatakan 60% dari mereka yang digaji rendah adalah perempuan, dan 54% pekerja dengan kontrak tanpa jam kerja adalah perempuan. Fakta ini memperkeruh kenyataan bahwa kesenjangan upah berbasis gender harus dibuntuti kesenjangan gender lainnya yaitu harga produk.
Statistik di atas menunjukkan bahwa Pink Tax itu nyata, tetapi tidak ada alasan yang jelas mengapa perempuan harus membayar lebih untuk barang dan layanan serupa. Sering kali produk-produk tersebut sama kecuali warna dan kemasannya.
Lalu, produk sanitasi seperti pembalut dan tampon yang sejatinya adalah produk wajib untuk menstruasi bulanan, masuk ke dalam sub kategori Pink Tax. Hal ini menyiratkan bahwa menggunakan produk menstruasi adalah kemewahan, bukan kebutuhan. Siapa pun yang mengalami menstruasi harus membeli produk ini setiap bulan, dan tetap tidak dibebaskan dari pajak sebagaimana mestinya.
Jennifer Weiss-Wolf, seorang pengacara dan wakil presiden untuk Brennan School of Justice di NYU School Law, pernah mengatakan bahwa Pink Tax menghasilkan pendapatan bagi perusahaan swasta yang menemukan cara untuk membuat produk mereka terlihat lebih terarah atau lebih sesuai untuk populasi dan melihatnya sebagai penghasil uang.
“Saya pikir motivasi seputar Pink Tax datang lebih eksplisit dari sikap kapitalis klasik. Jika Anda dapat menghasilkan uang darinya, Anda harus melakukannya,” ujar Weiss-Wolf sebagaimana dilansir dari healthline.com.
Dapat dikatakan, hal ini dimanfaatkan untuk keuntungan bisnis. Pasar membuat produk sanitasi mahal karena mereka tahu bahwa perempuan mutlak harus memilikinya. Produk-produk tersebut adalah salah satu kebutuhan yang tak terhindarkan dalam kehidupan setiap perempuan.
Belanja Strategis, Cara Rasional Memutus Rantai Pink Tax
Salah satu cara untuk menghindari Pink Tax adalah berbelanja secara strategis. Jika melihat perbedaan harga yang sangat besar antara produk yang dipasarkan untuk pria dan yang dipasarkan untuk perempuan, sebaiknya cari dan selidiki merek lain.
Cara lain yang bisa dilakukan adalah tidak membeli atau mengurangi pembelian produk yang dipasarkan untuk perempuan. Sebagai gantinya, membeli produk pria atau yang netral gender.
Pink Tax terhubung dengan kualitas hidup karena ada perenggutan kesempatan untuk melakukan hal-hal lain dengan uang hilang yang dibayarkan perempuan untuk Pink Tax. Ada banyak pola pikir dan perilaku dalam masyarakat yang harus diubah untuk mencapai kesetaraan gender. Memastikan bahwa perempuan tidak perlu membayar lebih untuk sesuatu yang tidak dapat mereka bantu adalah langkah pertama yang sangat baik.
Penulis: Alycia Catelyn, Mahasiswa Jurnalistik 2020 UMN
Editor: Andi Annisa Ivana Putri
Foto: 9 Magazine
Sumber: fool.com, healthline.com, rockethq.com, theguardian.com, thekzooindex.com
👍🏻👍🏻