SERPONG, ULTIMAGZ.com – Masih teringat di benak kita tentang insiden Bendera Merah Putih tercetak terbalik di buku panduan Sea Games ke-29 di Malaysia. Peristiwa tersebut pertama diketahui oleh Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, yang kemudan mem-posting-nya ke media sosial Twitter.
Pembukaan #SEAgame2017 yg bagus tapi tercederai dg keteledoran fatal yg amat menyakitkan. Bendera kita….Merah Putih. Astaghfirullaah… pic.twitter.com/k92SlDdBqB
— Imam Nahrawi (@imam_nahrawi) August 19, 2017
Dalam sekejap, postingan ini viral dan menyulut kemarahan masyarakat Indonesia yang merasa dihina negara tetangga.
Bukan hanya kali ini Malaysia menyulut kemarahan masyarakat Indonesia. Masih teringat jelas ketika batik dan Reog Ponorogo diklaim sebagai milik Malaysia.
Kembali pada insiden bendera terbalik, berbagai spekulasi pun ramai bermunculan. Sebab, letak Malaysia sebagai negara tetangga, hubungan yang terjalin puluhan tahun, dan motif bendera Indonesia yang sederhana, dirasa tak dapat menjadi alasan hingga bendera Indonesia bisa dicetak terbalik.
Media sosial pun berubah menjadi arena bertemunya warganet kedua negara. Ejekan, cacian, makian, hingga ancaman pun bermunculan. Tagar #ShameOnYouMalaysia pun menghiasi sosial media, juga sebagai bentuk kekecewaan atas terselenggaranya Sea Games tahun ini yang dirasa hanya menguntungkan pihak tuan rumah. Pernyataan “Ganyang Malaysia” yang pernah dilontarkan Soekarno pun ramai digaungkan. Seolah, perang antara dua negara sahabat ini ingin dijadikan.
Dampak positifnya, segala cacian yang ditujukan pada Malaysia dapat dikatakan sebagai wujud semangat nasionalisme masyarakat Indonesia. Tidak penting kasar atau tidak, NKRI harga mati. Semangat nasionalisme ini bak bangkit kembali dari tidur lelap masyarakat yang sibuk dengan urusannya masing-masing.
Namun kenyataannya, nasionalisme kita berada jauh di bawah rata-rata jika tidak ada insiden semacam ini. Persis seperti ketika kesenian daerah kita diakui negara tersebut. Kita seperti kebakaran jenggot.
Insiden-insiden serupa akhirnya hanya melahirkan nasionalisme dadakan, menggebu, dan berapi-api yang bersifat sesaat. Kala masalah selesai, semangat tersebut pun padam lagi. Akankah kita sebagai agen perubahan akan terus memelihara nasionalisme dadakan seperti ini?
Contohnya simpel. Batik adalah khas Indonesia yang seharusnya kita banggakan. Akan tetapi, pakaian bermotif batik hanya dipakai kala menghadiri pernikahan kerabat atau bekerja di hari Jumat.
Saat seseorang memakai batik di hari biasa, anggapan lucu atau ledekan “mirip Ketua RT” pun dilontarkan. Kalau sudah begini, bukan tidak mungkin batik akan kembali diakui bangsa lain.
Hal serupa juga terjadi pada Reog Ponorogo. Dari namanya saja kita sudah tahu bahwa kesenian ini berasal dari Ponorogo, Jawa Timur. Tapi kesenian tradisional semacam Reog ini malah dianggap kuno. Padahal, minat anak muda seperti kitalah yang seharusnya bisa menjaga kesenian semacam ini agar tidak punah atau diambil bangsa lain. Dengan belajar dan ikut melestarikan adalah satu wujud semangat nasionalisme yang nyata, dibanding hanya bercaci maki di media sosial.
Nasionalisme tidak seharusnya pernah padam dalam diri kita. Semangat tersebut tidak ditunjukkan dengan mengunggah Bendera Merah Putih atau mem-posting kutipan yang membakar semangat kemerdekaan setiap hari.
Hal-hal seperti menjadi pengajar relawan di sekolah terpencil, membantu pengadaan akses ke desa, atau membeli produk asli Indonesia adalah wujud nasionalisme muda yang bisa kita lakukan. Dengan begitu, Indonesia tidak akan pernah kehilangan semangat nasionalismenya, dan nasionalisme dadakan tidak perlu lagi ada.
Penulis: Fadillah Satrio Pradhana, mahasiswa Public Relations UMN 2014
Editor: Clara Rosa Cindy
Foto: jawapos.com