SERPONG, ULTIMAGZ.com — Kasus kematian Munir telah lama dinyatakan sebagai kasus pembunuhan. Dirinya diracun ketika berada di pesawat menuju Belanda.
Semasa hidupnya, Munir merupakan seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang vokal. Tahun ini, tepat pada 7 September, merupakan peringatan 21 tahun sang aktivis dibunuh.
Baca juga: September Hitam, Berita Kehilangan, dan Janji-Janji yang Tak Ditepati
“Aku harus bersikap tenang walaupun takut, untuk membuat semua orang tidak takut.”
Bernama lengkap Munir Said Thalib, Munir merupakan seseorang kelahiran Malang, Jawa Timur. Semenjak duduk di bangku perkuliahan, dirinya sudah aktif berorganisasi, baik internal maupun eksternal kampus.
Berkuliah di Universitas Brawijaya dengan jurusan hukum, terdapat beberapa organisasi yang diikuti Munir. Di antaranya adalah Asosiasi Mahasiswa Hukum Indonesia, Forum Studi Mahasiswa untuk Pengembangan Berpikir, dan Himpunan Mahasiswa Islam, dikutip dari kompas.com, serta menjadi Ketua Senat Mahasiswa Hukum Universitas Brawijaya pada 1988, dikutip dari tempo.co.
Mengutip kompas.com, setelah lulus pada 1989, Munir menjadi relawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya selama dua tahun. Ia kemudian kembali ke Malang dan menjadi kepala pos LBH di sana. Munir juga sempat menjadi Wakil Ketua Bidang Operasional Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YBLHI).
Pada 1998, Munir ikut serta dalam pendirian Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), yang kemudian menjabat sebagai Koordinator Badan Pekerja. Awalnya, KontraS berfokus menangani kasus orang hilang semasa Orde Baru, termasuk penghilangan dan penculikan aktivis HAM 1997-1998, dikutip dari tempo.co. Namun, seiring berkembang, KontraS juga menangani berbagai korban atas konflik kekerasan di berbagai daerah.
Ada beberapa penegakan HAM lain yang diperjuangkan Munir, seperti Tragedi Tanjung Priok (1984), kasus Talangsari (1989), serta pembunuhan buruh Marsinah (1993). Munir juga merupakan satu dari 18 aktivis HAM yang membentuk Imparsial, lembaga untuk menyikapi praktik-praktik represif negara, pada Juni 2002
Mengutip detik.com, advokasi Munir melalui KontraS sangat berdampak pada politik dan militer Indonesia pada saat itu. Atas terungkapnya kasus penculikan aktivis dan mahasiswa, tiga perwira penting Komando Pasukan Khusus (Kopassus) berhasil dilengserkan, yaitu Letnan Jenderal (Letjen) Prabowo Subianto, Mayor Jenderal (Mayjen) Muchdi PR, dan Kolonel Chairawan.
Dari Jakarta ke Amsterdam, Diracun di Udara
Pada 6 September 2004, Munir terbang ke Negeri Kincir Angin untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Utrecht. Dengan maskapai Garuda GA-974, pesawat melakukan transit di Bandara Changi, Singapura, pukul 00.40 WIB, dilansir dari kompas.com.
Munir sempat duduk di kafe The Coffee Bean dan kembali lepas landas dari Bandara Changi menuju Amsterdam sekitar pukul 01.50 WIB. Saat di pesawat, menurut beberapa kesaksian, Munir sudah merasa kesakitan dan terlihat beberapa kali pergi ke toilet.
Mengutip tempo.co, Munir juga sempat mendapatkan pertolongan dari penumpang lain yang kebetulan berprofesi dokter. Namun, upayanya tidak menolong dan Munir dinyatakan meninggal dunia dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam, tepat saat pesawat berada di ketinggian 40.000 kaki di atas Rumania. Munir kemudian dinyatakan meninggal pada 7 September 2005.
Selang dua bulan kemudian, kepolisian Belanda menyatakan hasil forensik adanya kandungan arsenik di tubuh Munir yang melebihi kadar normal. Senyawa tersebut ditemukan di air seni, darah, serta jantung, dikutip dari tempo.co.
Sempat Diusut, Tetapi Tidak Tuntas
Mengutip tempo.co, Presiden Republik Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono sempat mengusut kasus Munir dengan membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) lewat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 111 Tahun 2004. TPF menduga adanya pemalsuan surat tugas pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto, yang terbang bersama Munir.
TPF juga menduga terdapat campur tangan antara pihak Garuda Indonesia dengan Badan Intelijen Negara (BIN), diketahui lewat ditemukannya hasil percakapan antara Pollycarpus dan Muchdi PR, sebelum dan sesudah kematian Munir.
Baca juga: Mengenang 32 Tahun Kematian Marsinah Lewat Aksi Kamisan Ke-860
Pollycarpus kemudian menjadi tersangka dan divonis 14 tahun penjara pada 20 Desember 2005, dikutip dari kompas.com. Namun, Pollycarpus mendapatkan beberapa potongan hukuman sehingga ia bebas murni pada Agustus 2018, dikutip dari tempo.co.
Tanggal kematian Munir kemudian ditetapkan sebagai Hari Pembela HAM Indonesia oleh para aktivis HAM, setahun setelah kematiannya, dilansir dari tempo.co. Hingga hari ini, terhitung 21 tahun, kejelasan kasusnya masih abu-abu, secara masih belum diketahui siapa pelaku akarnya.
Penulis: Jesslyn Gunawan Wijaya
Editor: Kezia Laurencia
Foto: TEMPO/Lorentius EP
Sumber: kompas.com, tempo.co, detik.com