SERPONG, ULTIMAGZ.com – Hingga kini, pendidikan di Indonesia masih menjadi salah satu tugas pemerintah yang masih terus dicari jalan keluarnya. Tidak hanya di pelosok negeri, bahkan di beberapa daerah di ibukota pun masih memiliki kendala dalam hal pendidikan.
Begitulah keadaan yang diceritakan dalam film Stip & Pensil. Berbalut canda dan sedikit romantisme, film yang disutradarai oleh Ardy Octaviand dan diproduksi oleh MD Pictures ini digarap sebagai kritik sosial terhadap pendidikan di Indonesia.
Bermula dari empat murid SMA yaitu Toni (Ernest Prakasa), Saras (Indah Permatasari), Bubu (Tatjana Saphira), dan Aghi (Ardit Erwandha) yang dianggap sombong karena mereka adalah anak orang kaya. Mereka kerap kali menjadi korban bullying dan dianggap tidak mau berteman dengan murid lainnya. Bullying tersebut juga memacu mereka untuk membalas hal yang setimpal.
Suatu ketika, salah satu guru mereka yaitu Pak Adam (Pandji Pragiwaksono) meminta murid-muridnya untuk menulis esai tentang masalah sosial di sekitar mereka. Dua esai terbaik akan diikutkan dalam lomba esai tingkat nasional. Toni, Saras, Bubu, dan Aghi berusaha mendapat ide terbaik demi membuktikan bahwa mereka tidak sekadar anak orang kaya manja, tetapi memiliki kepedulian kepada sesama.
Pertemuan Toni dan kawan-kawan dengan Ucok, seorang pengamen jalanan, menghasilkan ide untuk menulis esai tentang masalah pendidikan di tempat tinggal Ucok. Ucok tinggal di suatu daerah kumuh di Jakarta dan tidak ada anak yang bersekolah di daerah tersebut.
Keprihatinan dari Toni dan kawan-kawan muncul hingga mereka ingin mewujudkan sekolah sederhana untuk Ucok dan anak-anak lainnya yang tinggal di daerah tersebut. Awalnya, Toni dan kawan-kawan berpikir membangun sekolah akan sangat mudah, apalagi mereka memiliki banyak uang. Pak Toro (Arie Kriting) yang adalah kepala suku pemulung juga setuju dengan ide mereka.
Ternyata banyak masalah yang harus dilalui Toni dan kawan-kawan. Mulai dari masalah perizinan, barang-barang di sekolah yang justru diambil pemulung, hingga anak-anak yang tidak mau sekolah. Bahkan, pada awal sekolah dibangun, anak-anak tersebut perlu dibayar untuk mau diajar.
Naskah rapi garapan Joko Anwar ini mampu membawa penonton hanyut dalam kondisi sosial masyarakat Indonesia yang selama ini tak terlihat. Mirisnya, banyak orang tua berpikir pendidikan tidaklah penting. Hal ini mencerminkan pikiran masyarakat pinggiran yang tidak sadar bahwa sesungguhnya pendidikan mampu mengubah status sosial mereka menjadi lebih baik.
Akankah Toni dan kawan-kawan mampu memperbaiki kondisi sosial, terutama pendidikan, di daerah tempat tinggal Ucok?
Penulis: Geofanni Nerissa Arviana
Editor: Kezia Maharani Sutikno
Foto: jawapos.com